Dua Puluh Dua

36.8K 2.5K 42
                                    

Selama dalam perjalanan, Adeline diam. Audrey pun tak melontarkan apa-apa pada gadis itu. Ia memberikan waktu pada gadis kecil malang itu untuk menenangkan diri.

"Sebelum ke rumahku, kau ikut aku menjemput anak-anakku ya, Adeline," ujar Audrey. Sambil menghentikan mobilnya di depan sebuah Sekolah Dasar.
Adeline hanya mengangguk, kemudian mengalihkan pandangannya ke luar jendela mobil.

Tak lama, dua orang anak kecil berlari menghampiri mobil yang ditumpangi Adeline.
Audrey terkejut, saat melihat Adeline yang tiba-tiba menangis lagi.

"Hey Adeline, ada apa?" tanya Audrey.

"Aku... Aku teringat Rio, adikku..." jawab Adeline terbata.

"Mommy! Kenapa lama sekali?!" seru seorang gadis dengan rambut ikal dan berponi.

Ia melirik kepada Adeline, kemudian mengernyit.
Hal yang sama dilakukan oleh seorang anak pria sebaya Rio. Yang membuat Adeline menangis tadi.

"Siapa dia?" tanya si pria, sambil menatap Adeline jijik. Karena penampilan Adeline yang teramat kotor.
Audrey tersenyum. Kemudian membukakan pintu untuk keduanya.

*

"Dia ini Adeline. Teman baru Mommy! Adeline, mereka anak-anakku. Chua, dan Jessi," terang Audrey seraya melirik kedua anaknya melalui kaca spion.
Adeline diam, ia hanya tersenyum kecil.

"Aku tak mengerti padamu, Mom. Temanmu itu aneh-aneh semua! Om om, Opa opa, dan sekarang, anak kecil ..." cerocos Chua.

Audrey dan Jessi terkekeh mendengar ucapan Chua. Kecuali Adeline. Gadis itu benar-benar murung, dan berubah menjadi pendiam.

*

"Nah, Adeline, ini rumah kami. Ayo, masuklah." seru Audrey.

Sementara Jessi dan Chua turun tanpa berkata apapun pada Adeline.
Adeline melangkah ragu. Ia mengikuti Audrey dan kedua anaknya memasuki rumah besar yang asri tersebut.

"Ini, lebih baik kau mandi dulu. Aku akan menyiapkan makan siang untuk kita berempat,"

Adeline menggeleng keras. Ia melemparkan handuk yang diberikan Audrey. Sikap Adeline kembali berubah, ia mundur beberapa langkah dengan wajah cemas. Adeline tiba-tiba teringat kejadian tadi pagi di kamar mandi Rossiana.

Audrey mengernyit, ia terkejut melihat sikap Adeline.

"Adeline, hey, apa kau takut sesuatu?" tanya Audrey.
Adeline mengangguk dan terisak.
Sementara itu, Chua dan Jessi menatap aneh pada Adeline dari lantai dua.

"Ayo, biar kutemani di dalam kamar mandi. Kau tak perlu malu, karena kau harus mandi agar pikiranmu tenang. Ayo, tak apa, aku menungguimu hingga selesai mandi," ajak Audrey sembari menuntun lengan Adeline.

Adeline melangkah ragu masuk ke dalam kamar mandi, ia menghentikan langkah dan menatap wajah Audrey.

Ia tak mungkin mandi ditemani seseorang. Tapi untuk pergi ke kamar mandi sendiri, adalah hal yang memang tengah ditakutinya saat ini.

Audrey tersenyum padanya, kemudian menganggukkan kepala.
Adeline akhirnya masuk ke dalam kamar mandi, dan Audrey benar-benar menunggu Adeline mandi dengan pintu kamar mandi yang terbuka lebar.

'Kasihan sekali anak ini ...'  bathin Audrey.

*

Adeline sudah nampak lebih segar. Bahkan kini, ia sudah mulai berani tersenyum.
Jessi menyukai mata Adeline yang bulat, dan itu, diungkapkan gadis kecil lucu itu kepada Adeline secara langsung.

Sementara itu, Audrey masih sibuk menyiapkan masakan untuk makan siang mereka di dapur.

Audrey mendengar Adeline sudah berbicara dengan Jessi dan Chua. Bahkan sesekali, ia mendengar Jessi dan Chua tertawa.

*

"Taraaaa ... Makan siang, ala Cheff Audrey!" seru Audrey.
Yang disambut pekik dan tepuk tangan Jessi. Chua menutup telinga, sembari merengut menatap Jessi.

"Kau itu terlalu berlebihan, Jessi!" serunya. Jessi manyun, Audrey dan Adeline tertawa.

'Hmmm... Berhasil...' bathin Audrey.
Ia bahagia, melihat Adeline yang berangsur tenang.

Perlahan-lahan, Audrey mulai membuka pembicaraan lebih jauh. Tentu saja, dengan cara Audrey melakukan Investigasi.

Adeline menceritakan semuanya dari awal. Entahlah, mengapa bisa Adeline tiba-tiba begitu lugas menceritakan semuanya pada perempuan yang baru dikenalnya itu.
Bahkan Adeline, menceritakan tentang Rio yang menghilang dua hari yang lalu.

*

Sementara itu, dilain tempat ...

"Apa, Adeline tidak masuk sekolah?!" Gabriel Maleka terkejut, mendengar pernyataan seorang murid sekelas Adeline.

"Permisi, aku Rossi. Aku temannya Adeline, Om," Rossiana tiba-tiba muncul ditengah ketegangan.

"Adeline ada dirumahku. Tadi pagi ia datang dan sepertinya... Adel tidak enak badan," lanjut Rossi.

Gabriel menatap Rossi.

"Apa yang kau katakan itu benar?" tanyanya. Rossi mengangguk.

"Baiklah, aku antar kau pulang, Rossi. Sekalian aku ingin menjemput Adeline," jawab Gabriel. Rossiana mengangguk.

*

"Adeline... Adeline!" Rossi mencari Adeline hingga ke lantai dua. Namun ia tak menemukan keberadaan Adeline.

Rossi berlari menuruni anak tangga, dan Gabriel menyambutnya dengan keheranan.

"Apa yang terjadi?!" seru Gabriel.

"Adel ... Adeline tak ada, Om ..." gumam Rossi.

"Apa maksudmu?! Tadi kau bilang Adeline ada di rumahmu!" hardik Gabriel dengan nada kesal. Rossie menatap wajah Ayah dari temannya itu.

"Om, apa kau benar-benar tak tahu apa yang menimpa Adeline saat ini?!" tanya Rossi dengan nada suara tinggi. Gabriel terperanjat mendengar anak kecil itu berteriak padanya.

"Apa maksudmu?!" balasnya. Rossiana menghempaskan tubuhnya di atas sofa.

"Kalian memang orang tua yang tidak pernah peduli pada anaknya sendiri! Om tahu... Selama ini Adeline sedang menanggung beban berat sendirian. Apa Om juga tahu, jika Rio dan Istri Om hilang sejak dua hari yang lalu?!" seru Rossi.

Gabriel mengerang. Ia menatap Rossie, gadis kecil yang tengah menceramahi dirinya.

"Rio tidak hilang. Ia ada bersama kami dan baik-baik saja," jawab Gabriel pelan.

Rossie tersentak kaget. Ia berdiri dan menatap Gabriel tak percaya.

"Apa maksudmu, Om Gabriel? Ada dimana? Bersama siapa? Apa maksudmu melakukan ini? Apa Om tahu, bagaimana perasaan Adeline saat ini? Kenapa Om tak memberi tahu Adeline jika Rio ada bersama kalian? Jangan-jangan..." Rossiana menghentikan ucapannya, dan menatap dengan berani wajah Gabriel Maleka.

RUMAH SEBERANG JALANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang