"Ma, aku pamit yaaa..." seru Adeline sambil menuruni anak tangga.
"Kau mau kemana, Adeline?" tanya Mama, yang baru keluar dari arah dapur. Ia mengangkat alis melihat Adeline yang sudah rapi dan bersiap pergi.
"Aku mau ketemu Rossi, teman sekelasku. Dah Mama..." jawab Adeline kemudian mengecup pipi Mama nya.
"Jangan lama-lama, Adeline!" seru Mama.
"Iya maaa..." jawab Adeline dari luar rumah.
*
Adeline tiba di kafe sunny beberapa menit kemudian, dan ia mendapati Rossi sudah duduk gelisah menunggunya.
"Maafkan aku sedikit terlambat, Rossi," sapa Adeline. Lalu duduk berhadapan dengan gadis itu. Rossiana mengembuskan napas lega saat melihat Adeline datang, lalu mengangguk dan tersenyum.
"Aku pikir kau tak jadi datang, Adeline..." jawab Rossi.
"Jadi, apa yang ingin kau katakan soal teman sebangkuku itu, Rossi? Kenapa harus disini?" Adeline tidak sabar. Ia bahkan belum sempat memesan apapun, karena rasa penasarannya sudah terlanjur di ubun-ubun, untuk mengetahui soal bangku kosong itu.
Terlihat Rossi menghela napas berat, sebelum menjawab pertanyaan Adeline.
"Adel... Gadis yang duduk dibangku disampingmu, dia... Dia sudah meninggal, Adel ..." jawab Rossi. Adeline mengernyit.
"Sudah meninggal? Memangnya kenapa kalian harus setakut itu? Semua orang pasti akan mati, bukan?" tanya Adeline. Ia merasa jika mereka terlalu berlebihan memperlakukan seseorang yang meninggal.
"Adel, kau tak tahu apa-apa! Armila meninggal dunia karena...
Rossi menghentikan ucapannya. Ia duduk gelisah, antara mengatakan yang sesungguhnya, atau tidak.
Beberapa detik kemudian..."Karena dibunuh seseorang..." bisik Rossi.
"Apa? Dibunuh?!" pekik Adeline. Rossiana mencubit tangan Adeline cukup keras. Sebab beberapa pengunjung, serempak mengalihkan pandangan mereka kepada dua gadis itu.
"Aaauuuwwww ..." jerit Adeline. Ia merasakan sakit ditangannya gara-gara cubitan Rossi.
"Kau serius, Rossi?" bisik Adeline. Ia tak mempedulikan orang-orang disekitarnya.
"Apa aku terlihat sedang bercanda, Adeline?" Rossie bertanya balik, ia masih kesal dengan tingkah Adeline barusan tadi.
"Tapi kenapa? Siapa yang melakukannya?" tanya Adeline lagi. Rossie menghela napas panjang.
"Ceritanya terlalu panjang, Adeline. Tapi yang jelas, kau harus berhati-hati. Bila perlu, minta ke Miss Ira agar kau segera dipindahkan dari bangku itu," jawab Rossiana sambil mengangguk-angguk. Adeline diam sejenak.
"Pantas saja ..." gumamnya.
"Pantas saja apa?" tanya Rossi dengan wajah penasaran.
"Waktu pertama kali aku masuk ke kelas, aku benar-benar melihat gadis itu duduk dibangku tepat di samping bangkuku. Tapi kemudian ketika aku berjalan kesana, dia sudah tak ada. Awalnya, aku pikir dia pindah tempat duduk, sewaktu aku memperkenalkan dihadapan kalian..." terang Adeline. Membuat Rossalina semakin gelisah.
"Adeline, aku rasa itu sebuah firasat tidak baik..." Rossiana nampak cemas. Berkali-kali ia terlihat menggigit-gigit bibirnya.
"Rossalina, ceritakan padaku kejadian yang sebenarnya," pinta Adeline.
"Besok siang aku kerumahmu, ya. Aku akan menceritakan semuanya," jawab Rossi. Adeline mengangguk. Kemudian memberikan alamat rumahnya pada Rossi.
"Ya sudah, ayok pulang. Sudah hampir malam." ujar Adeline. Ia bahkan tak sempat memesan apapun. Karena terlalu tergesa ingin tahu soal bangku kosong itu.
"Tapi ingat, jangan sampai seorangpun tahu jika kau mengetahui segslanya dari aku!" ancam Rossi saat keduanya berjalan keluar dari dalam kafe.
"Iya aku janji," jawab Adelin. Rossi menghentikan langkah, dan Adelin mengikutinya.
"Apa?
"Janji, serius, sumpah ya?" desak Rossi sekali lagi, hanya sekedar untuk meyakinkan dirinya, bahwa Adelin tidak akan mengingkari janji.
"Suer!" Adel mrngangkat jari telunjuk dan tengahnya berbarengan.
Rossi mengangguk percaya, kemudian keduanya melangkah berbarengan meninggalkan kafe.
KAMU SEDANG MEMBACA
RUMAH SEBERANG JALAN
TerrorKisah ini, berawal dari kepindahan keluarga Maleka ke Kota besar itu. Gabriel Maleka, adalah seorang Dokter Jiwa yang bekerja disebuah Rumah Sakit Jiwa. Beliau adalah seorang Dokter dengan Satu Istri. Satu orang Puteri, dan Satu orang Putera. Puteri...