Tiga Puluh

35.7K 2.5K 172
                                    

"Hans, aku pergi dulu. Sampaikan kecupku pada JJ," ujar Audrey.

Hans yang baru turun dari anak tangga mengangguk. Kemudian pria bertatto disekujur tubuhnya itu mengecup pipi dan bibir Audrey. Ia berpaling pada Adeline dan tersenyum. Adeline membalas senyumannya.

Kedua perempuan itu kembali ke jalanan. Untuk melanjutkan kembali 'Game' ke level berikutnya.

Setengah jam kemudian, Audrey menghentikan mobilnya disebuah rumah mewah dengan halaman yang sangat besar.
Seseorang sudah menunggu mereka. Ia berlari begitu melihat Land Rover berhenti tak jauh dari tempatnya duduk menanti.

"Audreey!" serunya. Audrey merenggangkan kedua tangan. Gadis itu menghambur ke dalam pelukannya.

"Aku merindukanmu, Audrey!" jeritnya. Audrey terkekeh.

"Kau sudah benar-benar menjadi gadis dewasa, Firly!" seru Audrey. Gadis itu tertawa.

"Adeline, ini dia temanku. Firly, ini Adeline," ujar Audrey. Adeline mengangguk dan membalas senyum Firly. Dalam hati Adeline berkata,

'Ternyata benar apa yang dikatakan Chua tempo hari, jika Audrey mempunyai teman beraneka ragam hohoho ...'

Firly cekikikan menatap Adeline. Adeline tak menyadari, jika gadis bule itu dapat membaca pikiran Adeline.

"Kau tunggu bersama Firly, Adeline. Ceritakan apapun yang ingin kau ceritakan padanya. Firly, aku titip Adeline beberapa Jam. Okey?!" terang Audrey.
Kedua gadis itu mengangguk. Kemudian pergi setelah Audrey meninggalkan mereka.

*

Di Suatu Tempat

"Kau harus memutar otak, Gabriel! Aku sudah lelah dengan semuanya ini. Lakukan apapun yang bisa kau lakukan, apa kau ingin hidupmu berakhir di neraka secepat itu?!" teriak Isti.

Gabriel menghisap rokok dengan bibirnya yang menghitam. Ia menutup telinganya, menatap hamparan ilalang yang tumbuh kian subur.

"Aku harus bagaimana lagi?! Aku ada ide, bagaimana jika akhiri saja semua ini, Isti? Kita kembali pada kehidupan yang normal?" Isti tertawa keras mendengar ucapan Gabriel.

Sementara itu, Rio terkulai lemas di atas tempat tidurnya yang mengeluarkan aroma bau busuk.

"Itu tidak mungkin, Gabriel! Sudah Dua puluh satu tahun kita mengabdikan diri, dan kau ingin kita mengakhirinya? Dimana otakmu, Gabriel? Dimana?!" pekik Isti.

Rio terjaga, kelopak matanya yang cekung meneteskan air mata lagi dan lahi. Dalam kesakitan, kelaparan dan ketidak berdayaannya, anak kecil itu bergumam.

"Kakak ..."

*

Seorang perawat menghampiri Audrey. Perawat Emma. Perempuan setengah baya dengan rambut yang sebagian sudah beruban itu tersenyum kepada Audrey. Ia sedikit lebih ramah ketimbang dokter yang ditemuinya tadi malam.

"Ikutlah ke ruanganku," ujarnya. Audrey mengangguk, kemudian mengikuti langkahnya.

Audrey meringis miris, ketika ia berpapasan dengan seorang anak kira-kira berusia sebaya Chua, yang tengah didorong dengan kursi roda oleh seorang perawat. Perawat itu melemparkan senyum pada Suster Emma.

'Sekecil itu sudah berada di Rumah Sakit Jiwa. Apa yang terjadi dalam keluarganya ...' bathin Audrey.

*

"Duduklah. Apa yang ingin kau ketahui soal Liza?" tanya Suster Emma.

Audrey duduk berhadapan dengan Suster senior tersebut. Kemudian mengutarakan segala keingintahuannya tentang gadis itu.

"Liza, aku sebetulnya tidak tahu persis siapa Liza, dan dari mana gadis itu berasal. Aku hanya tahu jika Liza, dibawa oleh dokter Gabriel sejak usianya tujuh tahun. Aku merawat Liza dengan baik. Tak ada yang dia katakan selain 'Mama'...

"Bertahun-tahun kemudian keadaan Liza mulai membaik. Ia sudah bisa diajak bicara, bahkan tak lama, ia mengatakan jika dia ingin bersekolah, ingin membeli harmonika, dan mengatakan ingin menjadi seorang pemain harmonika yang dikenal oleh seluruh Dunia..." suster Emma menghentikan ucapannya sejenak. Ia mengusap air matanya yang hampir jatuh.

"Aku meminta dokter Gabriel untuk menyekolahkan Liza. Namun entah apa sebabnya, Dokter tidak setuju akan hal itu. Aku bersikeras untuk membebaskan Liza, dan meminta banyak pihak untuk membantuku...

"Satu tahun kemudian, ketika dokter Gabriel dipindah tugaskan ke luar kota, Liza diperbolehkan keluar dari Rumah Sakit ini. Bahkan, aku sendiri yang merawatnya, menyekolahkannya dan mendatangkan seorang guru Les harmonika untuknya. Liza tumbuh menjadi gadis yang pintar dan riang. Tak ada tanda apapun jika Liza akan mengalami hal serupa,

"Hingga suatu hari... Polisi dan guru tiba-tiba membawanya ke rumah sakit ini. Saat itu, Liza duduk dibangku SMP ..." Suster Emma menangis.

Audrey hanya diam, memberi jeda kepadanya untuk menumpahkan kesedihannya.

"Aku tak percaya! Aku tak percaya jika Liza mampu menghabisi orang lain. Bahkan yang lebih menyakitkan, dokter Gabriel yang sengaja datang untuk menemui Liza, menyatakan jika Liza sudah berada di level Skizofrenia kronis...

"Bagaimana mungkin! Aku yang merawatnya, aku yang mengasuh Liza, aku seorang Suster tapi aku tak tahu jika Liza separah itu! Tapi... Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya seorang suster, keputusan dokter Gabriel tentu saja lebih berkuasa," nada suara suster Emma naik turun.

Audrey berdecak. Ternyata, persoalan Liza serumit itu...

RUMAH SEBERANG JALANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang