Dua Puluh

36.1K 2.5K 36
                                    

Adeline menegakkan tubuhnya. Ia berdiri, kemudian mundur beberapa langkah.

Gadis itu keluar dari persembunyiannya. Wajahnya tak secantik ketika Adeline biasa melihat gadis itu dari balik tirai.

Liza melangkah perlahan. Sorot matanya begitu tajam. Setajam pisau yang melukai lengan Adeline, bahkan lebih tajam dari itu!

Baju Seragam yang dikenakan Liza sungguh lusuh. Darah kering seperti cat yang sudah mengeras terdapat disebagian baju seragamnya.
Liza terus berjalan, melangkah mendekati Adeline. Ditangannya, ia menggenggam sebuah harmonika.

"Ya Tuhan... Jadi... Jadi benar kau yang melakukannya, Liza?" tanya Adeline dengan mata basah.

Ia mundur, bersamaan dengan Liza yang terus maju.
Liza tak bergeming. Ia melangkah dan terus menatap Adeline.

"Liza, aku tahu kau manusia sepertiku. Jangan bunuh aku, Liza. Aku mohon jangan lakukan apapun padaku..." pinta Adeline, ketika tubuhnya sudah benar-benar berada dibatas dinding.

Liza berdiri tepat di depan Adeline. Hidungnya dengan hidung Adeline berhadapan. Sehingga bau amis dan sebagainya tercium sangat pekat oleh Adeline. Ia hampir saja muntah karenanya, namun Adeline berusaha sekuat mungkin menahannya.

Liza juga mencengkeram kerah baju seragam Adeline.
Adeline memejamkan mata, kali ini, ia pasrah pada apapun yang akan menimpanya.

*

"Kakak macam apa kau ini?! Tidak berguna! Kau terlalu sibuk mengurusi dirimu sendiri, bahkan kau tidak mengerti pertanda-pertanda yang dikirim oleh adik semata wayangmu," ujar Liza. Dingin, datar, namun sangat tajam.

Adeline membuka matanya perlahan. Liza berbicara tanpa sedikitpun merubah gerak tangan dan ekspresi diwajahnya. Dingin dan datar. Hanya itu, yang nampak dimata Adeline.

"A apa maksudmu, Liza?" tanya Adeline.

Liza menghempaskan tubuh Adeline keras sekali. Membuat gadis kecil itu terjembab sangat kencang.
Adeline menjerit, ia menatap liza yang berdiri menatapnya.

Liza tertawa. Tertawa sangat keras sekali. Sementara itu, tubuh Adeline bergetar kian hebat. Ia merasa, ini adalah puncak dari segala ketakutannya.

"Mereka menangkapku! Mereka mengatakan bahwa aku adalah pembunuh! Mereka menjebloskanku kedalam ruang isolasi itu! Hahahaha tapi aku bahagia, Adeline! Aku bahagia karena akhirnya aku bebas!" Liza menceracau, sambil terus tertawa.

"Apa benar kau memang melakukan pembunuhan itu, Liza?" tanya Adeline. Ia menelan bulat-bulat segala ketakutannya.

Wajah Liza berubah marah. Ia kembali mendekati Adeline dan berjongkok. Hingga keduanya kembali berhadapan.

"Apa kau melihat aku seperti pembunuh?!" seru Liza. Adeline diam.

"Jawab!" teriak Liza lagi.
Adeline membalas tatapan Liza. Diaa...

Mata itu?

*

"Katakan padaku, Adelin! Apa aku terlihat seperti pembunuh?!" teriak Liza sekali lagi.

Adeline mengangguk ragu. Ia harus berkata jujur, bahwa apa yang ada dalam tubuh Liza memang mengarah pada praduga itu.
Liza tertawa kembali. Kali ini, lebih keras dari yang sudah-sudah tadi.

"Aku adalah apa yang ada dalam pikiranmu, Adeline! Jika kau menganggapku begitu, maka, begitulah aku selamanya dalam pikiranmu!" Liza terbahak. Tapi kemudian diam.

Adeline diam, ia tak tahu harus berbuat apa kecuali mendengarkan setiap ocehan dari mulut Liza.

"Bagaimana kau bisa keluar dari Runah Sakit Jiwa, Liza?" tanya Adeline akhirnya.

Liza tersenyum.

"Dia adalah malaikat..." jawabnya pelan.

"Apa kau yang menerorku, Liza? Jika iya, katakan padaku mengapa kau melakukannya? Apa salahku? Siapa aku untukmu? Aku tak mengenalmu!" lanjut Adeline.

"Apa yang lebih penting dari itu? Rio, atau..." liza menghentikan ucapannya.

Ia berbalik. Kemudian berlari meninggalkan Adeline.
Adeline mengedarkan pandangan.

Apa yang membuat Liza pergi?!

*

Adeline tak melihat apapun atau siapapun. Namun yang jelas, Liza seperti ketakutan sesaat sebelum ia meninggalkan Adeline.

Adeline berdiri, ia melangkah pergi dengan tubuh yang kepayahan.
Ia duduk di atas trotoar jalan. Adeline tak ingin kembali kerumah. Tl

Tapi kemana? Sementara pagi sebentar lagi tiba.

*

"Adeline! Adeline kau kenapa?! Apa yang terjadi padamu, Adeline?!"
Rossiana merangkul tubuh Adeline yang terkapar di depan pintu rumahnya.

Rossi membantu gadis itu untuk berdiri. Kemudian membawanya masuk dan menyuruhnya untuk duduk.

Rossi kembali membawa secangkir teh hangat. Ia memberikannya pada Adeline. Adeline tak berkata apapun, ia meneguk habis teh yang diberikan Rossi.

RUMAH SEBERANG JALANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang