Hari sudah sore, tapi mama belum juga kembali. Adeline membawa Rio keluar dari rumah.
Sore ini, Adeline akan mengunjungi rumah diseberang jalan itu. Ia harus memastikan siapa gadis yang sering dilihatnya. Apakah itu benar-benar Liza atau bukan. Agar ia dapat mengusut satu demi satu masalah apa yang sebenarnya sedang menimpanya.Tok Tok Tok
Sepi.
Tak satupun pertanda seseorang keluar dari rumah itu.
Adeline mengintip melalui kaca, meski itu bukan hal yang patut dilakukan oleh seorang tamu, namun kepenasaranan Adeline mengalahkan aturan yang manapun.Tok Tok Tok
Sekali lagi, Adeline mengetuk pintu rumah itu.
"Kak, aku tahu dimana biasanya kakak itu bersembunyi..." gumam Rio, sambil menarik-narik ujung baju Adeline. Adeline ingin tak percaya, tapi kadang kala, Rio berkata benar.
"Kakak siapa maksudmu, Rio?" tanya Adeline.
"Kakak yang sering mengajakku bermain jika kakak marah padaku," jawabnya.
Adeline terhenyak.
Ternyata, selama ini ia begitu sering menyakiti adik satu-satunya tersebut."Dimana?" Adeline mencoba mengikuti ucapan Rio.
"Sebenarnya... Kak Liza tidak mengijinkanku untuk menceritakan ini pada kakak..."
'Liza?!'
Adeline menyeret lengan Rio, menjauhi rumah tersebut dan kembali ke rumah.
"Apa yang kau katakan, Rio? Liza? Liza yang mana?!" tanya Adeline. Begitu keduanya sampai di depan teras rumah mereka.
"Kak Liza yang baik hati. Dia juga sering memberiku permen. Kak Liza sering senyum, dan mau bermain denganku. Tidak sepertimu ..." gumam Rio dengan polosnya.
"Rio, dengarkan kakak, jawab pertanyaan kakak! Apakah Liza bisa berdiri seperti kita? Seperti ini?" tanya Adeline. Sambil menjejakkan kaki, agar Rio paham dengan maksudnya.
Dengan kata lain, dia manusia atau hantu! Adeline tidak tahu harus mencontohkannya seperti apa kecuali tingkahnya barusan.
Rio terkekeh melihat kelakuan Adeline."Tentu saja! Kak Liza berdiri seperti kita. Dia tidak bisa terbang seperti perempuan jahat itu!" wajah Rio berangsur dingin.
"Perempuan itu? Perempuan mana lagi, Rio?!" seru Adeline.
Ia benar-benar tak menyangka jika adiknya tahu begitu banyak apa yang tidak diketahuinya."Perempuan yang bajunya mirip nenek sihir kak! Matanya hilang satu, terus, apa kaka tahu, air liurnya menetes terus, hiiyyyy geli..." terang Rio, sambil melumat es krim yang tadi dibelikan Adelin, sesaat sebelum mereka kembali dari rumah seberang jalan.
Rio tadi memang memintanya untuk dibelikan es krim, supaya mau bercerita soal Liza."Rio, apa lagi yang kau ketahui? Dimana Liza bersembunyi?" tanya Adeline.
Rio diam sejenak. Ia menempelkan telunjuk dikeningnya."Aku akan berdosa tidak, jika aku mengingkari janji?" tanyanya. Adeline mengembuskan napas panjang.
"Rio, tidak dosa karena ini demi kebaikan kita!" jawab Adeline akhirnya. Ia tak punya jawaban lebih baik dari itu.
"Tapi... Kak Liza juga bilang begitu. Katanya, jangan beritahu siapapun, demi kebaikan aku dan kak Liza..." jawab Pria lugu itu.
"Sudahlah, Rio! Kau lebih percaya aku, atau orang lain?!" Adeline kehabisan kesabaran kali ini, ia mengibaskan tangan lalu berbalik badan.
"Baiklah, aku akan beritahumu. Sini..." Rio menarik ujung baju Adeline, lalu meminta Adeline mendekatkan kuping pada mulutnya. Kemudian ia membisikkan sesuatu padanya. Adeline mengangguk. Kemudian menatap Rio dalam-dalam.
"Kau tidak sedang menipuku 'kan, Rio?" tanyanya.
Rio merengut. Ia memang nakal, tapi Rio bukan pembohong!
"Baiklah-baiklah, aku percaya padamu," lanjut Adeline.
*
Tap Tap Tap
Adeline dan Rio beralih pandangan. Ketika mendengar suara kaki memasuki halaman.
"Papa!" seru Rio. Gabriel tersenyum, kemudian mengecup pipi Rio.
"Kalian sedang apa disini? Mama mana?" tanyanya.
Adeline dan Rio saling pandang.
"Mama pergi sejak pagi!" jawab Adeline sambil menyilang tangan didada.
"Pergi? Kemana?" tanya Papa. Ada segurat gusar terpancar dari wajahnya.
"Entahlah, kami tak tahu!" jawab Adeline ketus. Lalu pergi meninggalkan Papa dan Rio.
Papa da Rio asyik mengobrol, sesekali keduanya tertawa, atau sesekali papa membuat lelucon, kemudian Rio terpingkal-pingkal.
Papa sebetulnya pria yang penuh kasih, tapi sayang waktunya akhir-akhir ini lebih banyak dihabiskan di rumah sakit. Sedangkan mama... Ah akhir-akhir ini mama memang sangat aneh...
KAMU SEDANG MEMBACA
RUMAH SEBERANG JALAN
HorrorKisah ini, berawal dari kepindahan keluarga Maleka ke Kota besar itu. Gabriel Maleka, adalah seorang Dokter Jiwa yang bekerja disebuah Rumah Sakit Jiwa. Beliau adalah seorang Dokter dengan Satu Istri. Satu orang Puteri, dan Satu orang Putera. Puteri...