Tiga Puluh Dua

39.1K 2.7K 138
                                    

Malam menunjukkan pukul Sepuluh. Audrey memutuskan untuk pulang malam ini. Ia butuh kopi, rokok dan tidur!

Ia sudah cukup tenang karena Adeline kini aman bersama Firly.
Kepada gadis itu, Adeline pasti akan lebih jauh terbuka ketimbang padanya.

Audrey memang pakar dalam penyelidikkan kasus, namun ia hampir tak percaya dengan yang namanya hantu. Segala hal yang ia selidiki, selalu dihubungkan dengan nalar dan logikanya. jauh berbeda dengan Hans, yang phobia akan makhluk Astral.
Dan untuk urusan si hantu, makhluk ghaib atau julukan lainnya, Firly adalah jagonya.

*

"Kau sudah siap, Adeline?" tanya Firly sambil mengunyah sebatang coklat. Adeline diam. Bagaimana bisa ia bilang siap. Memang Adeline ketakutan kok.

"Payah!" lanjut Firly. Adeline merengut untuk yang kesekian puluh kalinya.

"Arggghhhh... Ayolah, aku siap! Tapi ingat Firly, kau tak boleh meninggalkan aku!" seru Adeline dengan nada mengancam. Firly terkekeh mendengar ucapan Adeline.

"Tenang saja, aku akan pastikan kau aman," janji Firly.

*

Lampu sudah dimatikan, Firly sudah melihat keberadaan Tie sejak tadi. Hantu dengan mata hilang satu itu sudah berdiri kaku dipojok tempat tidur. Tie sepertinya memang membuntuti kemanapun Adeline pergi, entah apa sebabnya.

Firly juga tahu, bahwa orang yang ingin diajak bicara oleh Tie hanyalah Adeline. Untuk itulah Firly membiarkan Tie diam disana.

Sementara itu, jauh di dalam hatinya, Adeline sebenarnya sudah merasakan aura itu. Namun sekali lagi, setelah ratusan kali di masa-masa kemarin, Adeline selalu menolak keberadaan makhluk-makhluk itu. Perkataan Mama memang luar biasa mendoktrin isi otaknya. Adeline tidak ingin di cap sebagai orang gila.

"Adeline ..." gumam Firly.

"Hhmmm ..." jawaban Adeline membuat Firly terkekeh.

"Kau sakit perut? Hahaha ..." Adeline diam dalam gelap.

"T T Tie ..." gumam Adeline dengan bibir bergetar. Firly tersenyum dalam gelap dan diamnya.

"Adeline ...." suara Tie hampir saja membuat Adeline melompat. Tapi Firly menahannya. Adeline hanya sanggup meremas jemari Firly.

"A A Apa yang... Yang... Yang sebenarnya kau inginkan dariku, Tie? Ke kena kenapa kau me mengi nginkan a aku?" lanjut Adeline.

Hening

*

"Adeline ..."

Firly gemas, pada hantu Tie yang terlalu bertele-tele itu. Tapi ia diam. Biarlah itu urusan Adeline. Tugas Firly hanya menemani Adeline dan menjaganya.

"Tolong aku, Adeline ..." gumam Tie.

Tiba-tiba lampu kamar Firly menyala, kemudian mati lagi. Nyala lagi dan mati lagi. Dalam keadaan nyala sekejap, Adeline hampir berteriak. Karena ternyata, Tie berada begitu dekat dengan wajahnya.
Firly tak diam kali ini.

"Tie, bukan aku mencampuri urusan kalian. Tapi aku mohon menjauhlah. Bicaralah sewajarnya dan jangan membuat Adeline ketakutan. Itupun jika benar kau ingin meminta bantuan padanya!" seru Firly.

Lampu menyala, Adeline membuka matanya perlahan. Hantu Tie kini berada cukup jauh dari wajahnya.

Adeline, masih terus mencoba bersikap tenang. Ia mulai membiasakan diri dengan wajah menyeramkan itu. Meski tangannya bergetar hebat.

"Tolong aku, Adeline ... Kembalikan jasadku ... Kembalikan jasadku ..." ujar Tie lirih.

Adeline beralih kepada Firly, wajahnya cemas.
Firly mengangguk, memberi isyarat agar Adeline melanjutkan apa yang ada dalam pikirannya.

"Apa yang harus aku lakukan? Kenapa kau meminta bantuanku, Tie?" suara Adeline kini terdengar lebih normal.

"Karena hanya kau yang bisa melakukannya, Adeline... Buang jauh-jauh Katherine, bakar dia, musnahkan dia!" seru Tie dengan mata lebih menyala.

"Katherine? Siapa Katherine?" tanya Firly. Adeline terbelalak.

"Tie, apa Katherine yang kau maksud adalah Elmo? Elmo kesayanganku? Ada apa dengan Elmo, Tie?" seru Adeline.

Firly hanya diam, lambat laun ia mulai memahami pembicaraan keduanya.

Tie mengangguk.

"Tapi apa hubungan Elmo denganmu, denganku, Tie?"

"Dia bukan Elmo. Dia Katherine dan kau harus memusnahkan Katherine, Adeline. Agar semua kutukan itu musnah ..." jawab Tie.

"Kutukan? Apa maksudmu, aku tak mengerti, Tie ..." Adeline terisak. Firly menatap wajah Adeline.

"Jangan cengeng! Pahlawan itu tidak ada yang secengeng kau, Adeline! lihat Audrey, kapan kau melihat dia menangis? Bukankah Audrey pernah mengatakannya padamu?!" bentak Firly.

Adeline mengangguk ia menghapus air matanya dengan kasar.

RUMAH SEBERANG JALANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang