17

169 9 0
                                    

Happy reading and don't be silent readers 🙏
---------
Dua tahun kemudian, Angga lulus dari kampusnya, begitu juga dengan Naura.

Angga ditemani Lena lagi di acara wisudanya, bersama kedua orangtuanya. Orangtua Angga senang karena anaknya mendapat predikat sebagai cumlaude.

Sampai saat ini, Lena dan Angga masih berteman dekat. Hanya sebagai teman curhat, tanpa perasaan apapun. Lena sudah ikhlas jika Angga memang masih menyayangi Naura.

Sebagai langkah awal memulai hidup, Angga masih bekerja sambilan di Bandung. Sembari menabung untuk mewujudkan impian nya, membangun cafe sendiri.

Sedangkan Naura, ia sedang mencoba menulis buku. Memulai langkah awalnya sebagai penulis. Impian Naura setelah lulus kuliah ini, ia akan mencari Angga.

Esoknya, Naura berangkat ke Bandung dari Jogja. Sambil mencari Angga, ia juga melanjutkan menulis buku di Bandung. Tetapi yang ia bingung sekarang, ia harus memulai dari mana.

Untunglah, ponsel Naura masih menyimpan nomor Angga. Naura mencoba menelpon Angga dengan nomor itu. Apa daya, nomornya sudah tak aktif lagi.

Perjalanan seakan begitu cepat. Naura sampai di Stasiun Bandung. Dengan santai ia turun dari kereta. Rupanya sudah banyak taksi yang berjejeran. Naura segera memilih salah satu taksi.

Naura meminta pak sopir untuk mengantarnya ke tempat penginapan yang sudah ia pesan sebelumnya. Taksi tancap gas. Melaju dengan kecepatan sedang ke tempat tujuan.

Naura telah sampai di sebuah penginapan. Ia sudah ditunggu oleh temannya yang tinggal di Bandung. Namanya Alden. Ia teman Naura semasa SMP. Tubuhnya tinggi, jauh melebihi Naura.  Wajahnya blasteran indo-eropa. Pekerjaannya sebagai pemandu wisata. Tetapi kali ini ia sedang libur.

"Hai, Alden!" sapa Naura, begitu turun dari taksi. Naura terlihat keberatan menggendong tas nya yang penuh pakaian, buku, dan laptop.

"Hai, Ra. Sudah daritadi aku tunggu disini," balas Alden.

Naura menghampiri Alden yang berada di halaman penginapan, "Kamu bakal jadi guide aku di Bandung, kan?"

"Aku gak bakal disini kalau gak jadi guide kamu," jawab Alden, sambil tersenyum.

"Bisa aja, deh. Ayo temenin aku masuk," ucap Naura, kemudian.

Alden menenani Naura memasuki penginapan. Penginapan itu sederhana. Meja resepsionis berada di sebelah kanan, di dekat pintu. Beberapa meter di depan meja resepsionis, terdapat empat bangku.

Setelah berbicara dengan resepsionis, Naura mendapatkan kunci kamarnya yang terletak di lantai dua. Alden menemani Naura ke kamarnya.

"Kamu juga nginep disini, Al?" tanya Naura, sembari mereka berjalan menuju lantai dua.

"Iya. Biar dekat, jadinya kalau kita ketemuan tinggal disini. Daripada nunggu lama-lama," jawab Alden.

"Oh gitu. Udah punya pacar?"

"Apa? Pacar? Hahaha. Aku gak pernah pacaran, Ra. Single. Lebih baik aku langsung menikah saja," sahut Alden. Terlihat bangga menyebut dirinya seorang single.

"Wahh jomblo dari lahir ternyata. Eh, kamar aku yang ini, kan?" tanya Naura, sambil menunjuk ke arah pintu bernomor 12.

"Iya, yang ini. Gue balik dulu ya, Ra. Kamar gue di lantai bawah," pamit Alden.

"Oke, Alden. Jangan lupa besok, ya,"

Alden mengacungkan jempolnya kepada Naura, lalu berjalan menuju tangga.

Naura memasukkan kuncinya ke lobang kunci dan memutarnya. Kamarnya begitu sederhana, tetapi menarik. Di dekat kasur, terdapat lemari tinggi dan televisi kecil diatasnya.

Di kamar inilah semua dimulai

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di kamar inilah semua dimulai. Ia akan mencari Angga, menagih janjinya. Menanyakan apakah ia masih ada tempat di hatinya saat ini.
----------

Angga berangkat pagi-pagi dari kost-annya menuju cafe, tempat kerja sambilan nya. Ia sudah menabung rutin sejak kuliah untuk mewujudkan impiannya, yaitu membuat cafe atau restoran sendiri. Entah kenapa Angga memilih pekerjaan yang menyimpang dari jurusan kuliahnya.

20 menit perjalanan menggunakan motor, Angga telah sampai di cafe. Ia turun dari motor, kemudian melepas jaket hitam dan helmnya. Menapaki jalan berbatu yang mengarah tepat ke pintu cafe.

Cafe masih sepi. Tulisan closed masih tergantung di kaca. Baru tiga orang yang datang, empat dengan Angga. Seperti biasa, Angga berjalan menuju dapur. Menggantungkan tasnya di gantungan belakang pintu. Memakai celemek yang sudah ada.

"Ini masih pagi, bray. Nanti aja pakai celemeknya. Kita pergi-pergi dulu," sapa rekan Angga, Theo.

"Terserah gue mau gimana," jawab Angga, masih dengan logat Jakarta nya.

"Dasar. Eh gimana cewekmu?"

Angga berhenti mengikat tali celemeknya di pinggang, "Cewek yang mana?"

"Yang kayak bule itu, yang pirang tinggi kayak tante-tante,"

"Itu bukan cewek gue. Dia temen kerja sambilan gue di Jakarta. Gak ada hubungan lebih," jawab Angga, kembali melanjutkan mengikat tali celemeknya.

"Halahh, kalau cinta itu bilang. Gak usah rahasia-rahasiaan." sahut Theo, seolah ingin sekali Angga jadi satu dengan Lena.

Theo dan Angga justru malah asyik mengobrol, sampai tak sadar seluruh karyawan cafe sudah berangkat. Gantungan di kaca sudah dibalik menjadi open. Atasan mereka, yang biasa mereka panggil Big Boss sudah standby di pojok ruangan. Sibuk meneriaki karyawannya agar cepat bekerja.

Satu persatu, pembeli mulai berdatangan. Angga dengan lihai memasak. Berkonsetrasi penuh. Takut ada racikan yang salah. Karena kalau sampai ketahuan Angga salah dalam memasak, si Big Boss bisa marah besar. Menganggap hal itu adalah ancaman bagi dunia bisnisnya.

Entah kebetulan atau bukan, Naura rupanya sedang menulis buku barunya di cafe itu. Tentunya bersama Alden, yang sudah berjanji menemani Naura berkeliling Bandung.

Naura dan Alden duduk di pojok dekat jendela. Saling mengobrol dan sesekali Alden memberikan ide dan inspirasi untuk buku Naura.

"Omong-omong, Ra. Disini adalah cafe paling keren di Bandung. Aku dulu suka sama temen-temen lama aku nongkrong disini. Makannya enak-enak, walaupun cuma cemilan," ucap Alden.

"Iya iya, Al. Kamu mau pesen apa?" tanya Naura kemudian.

"Udah sini aku yang nulis aja," ucap Alden, kemudian menarik buku pesanan dan catatan dari tangan Naura.

Angga dan Naura. Salah satu dari mereka tak menyadari. Mereka berada di atap yang sama. Waktu yang sama. Masih dalam perasaan yang sama.

Angga sibuk mengerjakan masakannya, sehingga ia tak sempat mengintip apapun. Matanya memaksa untuk fokus kepada masakannya. Ia tak pernah tahu bahwa Naura akan sering berada di cafe ini.

Memang, Tuhan mentakdirkan sebuah pertemuan tak terduga.

------------
To Be Continued ^^
°Jangan lupa vote dan comment° 👇
Supaya author merasa terdukung 🙏

Master Malak Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang