Gemerlap Cahaya (2)

275 9 0
                                    

Hawa tersadar. Dirinya masih ada diruangan yang sama beberapa waktu lalu. Tapi ada suatu kejanggalan dalam dirinya. Dia terduduk. Tali tanktop nya telah turun satu. Tubuhnya berantakan. Ada bercak dari disamping dirinya. Wajahnya pucat. Namun, kepalanya pusing. Diluar masih ramai. Dia mencoba bangkit dengan sisa tenaga yang ada, tulangnya terasa sangat ngilu dan lemah sekali. Dia mencari-cari sesuatu yang bisa menutupi tubuhnya. Sedikit Ia merapikan rambutnya yang menggulung-gulung.

Pandangannya kabur. Tapi Ia berusaha menggapai pintu keluar. Badannya bertubrukan sampai gelas-gelas pengunjung yang berisi alkohol tumpah ke badan mulusnya. Rasanya sedikit panas. Cahaya lampu dari luar menyegarkan pandangannya. Dia merogoh saku belakangnya. Pukul 02.03 sudah sangat larut.

Hawa mencari mobil Zahra. Tapi tidak ada. Hawa menguatkan dirinya. Hawa berjalan menyusuri jalanan.

"Gua harus pulang! Gua gak boleh pingsan dalam keadaan konyol kayak gini. Tapi gua harus naik apa? Gak mungkin ada taksi disekitar sini. Hhhhhh." napasnya tersengal. Hawa membuka ponsel mencari-cari kontak yang bisa dihubunginya. Vano, sahabatnya sejak SMA. Hawa memegang dadanya, kelihatan sesak. Tapi dia berusaha terus berusaha mencoba bernapas normal.

Tuttttuuuuut
Bunyi nada tersambung.
"Van, angkat please. Bantu gua. Hahhhhhhh."

........

Drrttt... Drrrtttt.
Getar sebuah ponsel terdengar keras sedari tadi. Seorang lelaki tengah membalut badan dengan selimug disampingnya. Vano memaksa matanya untuk membuka. Tapi tak berhasil. Vano meraba ke meja disampingnya. Memang benar ponselnya berdering.

"Perasaan gua gak pasang alarm." Vano mengintip sedikit. Ternyata itu telpon. Tapi vano tak sempat melihat siapa itu.
"Iya halo? Siapa ya?" tiba-tiba Vano membelalak dan terduduk.
"Sumpah? Lo ngapain disana Wa? Oke oke tunggu disitu duduk dimana gitu sembunyi. Gua langsung kesana. Tunggu ya?" Vano langsung membanting ponselnya dikasur. Dia melesat cepat ke arah bagasi. Mengeluarkan mobil van miliknya keluar dari tempatnya. Vano gemetar. Dengan mantap dia menancap gasnya dengan tergesa. Sampai mobilnya membelok tak tentu arah.

Vano mencoba menenangkan dirinya. Matanya padahal ngantuk sekali. Tapi hasrat dalam dirinya benar-benar membunuh kantuknya itu. Vano melirik kiri kanan. Jalanan sudah sepi. Hanya ada beberapa pemuda pemudi sedang bergelayut diluar. Pemandangan biasa. Vano hampir mencapai tujuannya. Dia melihat sekeliling. Dan segera turun dari mobil.

"WA!? HAWA? LO DIMANA?" teriak Vano. Vano kini sudah berada di diskotik tempat Hawa pergi. Vano berlari kesana kemari mencari Hawa. Vano menelpon ke ponsel Hawa.

*nada dering*
Terdengar nada panggilan masuk. Vano segera mencari arah suara ponsel itu.
"Astaga. HAWA!!!!" betapa kagetnya Vano mendapati Hawa telah tergeletak pingsan disamping gerobak sampah tak jauh dari mobilnya. Vano langsung mengangkat Hawa. Hati Vano terpukul sekali. Menemukan sahabat terkasihnya dalam keadaan menghawatirkan. Vano membopong Hawa kedalam mobil.

"Wa?! Hei? Lo denger gua gak?" tak ada jawaban. Bergerak pun tidak. Vano menghidupkan mesin mobilnya.
"Astaga Wa."
Melesatlah mobil Vano di tengah jalanan yang sudah sepi dari kendaraan.

...........

Vano membawa Hawa pulang kerumah.

Titttt.... Titt..... Titttt

Bunyi klakson mobil memecah heningnya komplek perumahan Hawa. Vano turun dan memencet bel.
Maya keluar dengan wajah penuh kepanikan. Mungkin Maya sudah tau siapa yang dibawa oleh sahabat kakak tirinya ini.

Maya membukakan pagar. Sementara Vano sibuk mengangkut tubuh Hawa.

"Astagfirullah kakak. Ketemu dimana Mas?" Maya terisak sedih melihat keadaan kakaknya.
"Nanti aku ceritain. Kita bawa masuk dulu. Kamu gantiin bajunya. Kalau perlu dilap sekali."
Maya manggut tanda paham. Dan segera membereskan kakaknya. Bau menyengat dari badan kakaknya menyakiti hidung Maya. Tetesan airmata mulai membasahi pipi Maya. Tapi gerakan tangannya tak berhenti membersihkan tubuh kakaknya yang lusuh itu.

Tak lama setelahnya, Maya keluar menemui Vano yang berdiri didepan pintu masuk.
"Gimana? Udah selesai?" tanya Vano
"Udah kok. Mas? Kakak kok bisa sampai kayak gitu?"
"Aku juga gak tau May. Dia tiba-tiba nelpon aku. Dan ya aku buru-buru jemput dia. Pas aku jumpa malah gini keadaannya."
"Ya Allah. Emang kakak ketemu dimana?" pertanyaan Maya membuat Vano menelan ludah.
"Diskotik May."

Blstttttt. Maya terdiam. Dia tertunduk lemas. Kenapa bisa kakaknya seperti itu jadinya?

"May? Aku rasa ada yang aneh. Gak mungkin dia kesana sendirian. Aku ngerasa ada yang ga bener. Kamu jangan bahas ini dulu ya besok? Aku akan tanyak ke teman-temannya. Ya May?"
Maya hanya memanggut lemas. Airmatanya jatuh lagi. Pundaknya dielus oleh Vano. Vano berusaha menenangkan.

"Yaudah May. Kamu jagain kakak kamu. Aku pamit ya? Gak enak aku kerumah perempuan subuh-subuh gini. Malam May."
"Iya Mas. Selamat malam. Makasih udah nolongin kakak lagi." Vano tersenyum dan berlalu meninggalkan Maya.

Bersama Allah, dan Tanpa 'Dia' [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang