Aku Janji

219 9 0
                                    

Vano baru saja selesai dari bekerja. Vano bekerja di sebuah kantor sebagai office boy (OB). Dia terpaksa bekerja demi memenuhi kehidupannya dan membayar biaya kuliahnya. Vano bekerja paruh waktu alias hanya setengah dari jam kerja biasanya. Vano hanya bekerja dari jam 3 siang sampai 9 malam.

"Asik, gajian!" seru salah pegawai bernama Rido.
"Ha a. Mak lampir kos-kosan udah nagih gua. Buset dahh." seru lagi salah seorang pegawai bernama Romi.
"Sama. Tapi enak deh Vano gak harus musing mikir kos-kosan."
"Ya meski gitu gua juga stres antara kuliah sama kerja. Gaji gua juga separuh dari kalian. Pendidikan itu mahal bro." Bantah Vano.
"Lah? Dah gitu lo ngapain harus kuliah?" tanya Romi.
"Gua pengen banyak ilmu. Semakin banyak ilmu gua, semakin banyak peluang kerja yang bisa gua ambil. Mungkin setelah gua selesai kuliah gua bisa kerja ditempat yang lebih bagus."
"Caelah. Munak banget sih. Alasan klasik banget. Gak perlu kuliah juga pinter. Bisa kerja. Liat aja pengusaha kaya diluar sana. Rata-rata pada gak kuliah." Sahut Romi lagi.
"Gua pengen perbaiki daftar silsilah keluarga gua. Gua harus jadi sarjana. Gua harus memusnahkan hukum "Miskin Harta, Miskin Ilmu" diluaran sana mungkin sudah banyak yang mematahkannya. Dan gua mau jadi salah satunya. Dan nasib gua bisa aja gak seberuntung orang luar sana kan?"
"Gokil lo Bro. Salut gua. Udah deh Rom, doain aja kali. Gak usah banyak bacot kek orang pinter deh lu." timpal Rido. Romi hanya mendengus sebal.

Sambil terus membereskan barangnya, Vano menyimpulkan senyum tipis.

Karena juga, gua mau tepatin janji sekaligus mewujudkan mimpi tak kesamapaian seseorang.

......

Beberapa bulan sebelumnya.

"Halo?"
"Van? Gua ganggu gak?" tanya Hawa.
"Ya enggak lah. Kenapa? Kangen lo sama gua?" Vano menyengir diujung telpon.
"Ya Allah. Sumpah deh, punya temen GR seangkasa." bantah Hawa.
"Ohh enggak. Yaudah matiin deh."
"Lah lah. Iya deh iya!" Hawa mengakui perasaannya. Vano tertawa geli sekaligus bahagia mendengar jawaban Hawa.
"Lo gimana? Kandungan lo sehat kan?" tanya Vano.
"Alhamdulillah Van, sehat. Gua udah bisa ngerasain pergerakannya, baru kemaren gua ngerasain tendangannya Van. Seru deh." Vano bahagia mendengar Hawa yang justru sangat girang akan kehamilannya. Seakan dia lupa dengan rasa sedihnya  bahwa kehamilannya itu adalah hasil perbuatan zina. Senyum Vano merekah lebar.
"Ya bagus deh. Kerjaan lo gimana? Masih jalan?"
"Masih Van. Cuma udah dua hari ini gua cuti karena gua agak gak enak badan. Gua takut bayi gua kenapa-kenapa. Besok gua udah kerja lagi."
"Jaga kesehatan lo Wa."
"Iya. Btw, lo gimana sekarang? Udah tau hasil SNM lo?"
"Ha? Kuliah maksud lo?"
"Iyalah."
"Gak usah ditanya deh. Rapot gua gak imbang gitu, ngarep-ngarep lulus."
"Yaudah, SBM sana."
"Duh, males gua. Itu tes kan? Lo tau lah gua orang yang tak pernah tuntas ujian. Apalagi SBM yang standarnya tinggi. No!"
"Ya belajar kali. Bimbel kek, beli buku kek. Usaha dong. Masa lo mau dablek muluk."
"Duh Wa? Sekolah 12 tahun aja gua udah mual-mual. Nambah kuliah lagi, bisa melahirkan gua."
"Ngeledek?"
"Eng... Enggak gitu. Bercanda kali. Maaf yaa? Lagian gua gak sanggup Wa mau belajar lagi. Bisa kisut otak gua." Vano menepuk jidatnya karena menyinggung soal kehamilan.
"USAHA REVANO SIMATUPANG! Apasih sulitnya? Van? Kalau lo langsung ngeluh pas baru satu kali jalan, ya Tuhan lo juga bakalan nyerah sama lo. Ayo dong, semangat dikit ngapa buat pinter."
"Ya emang kenapa sih? Lu maksa banget nyuruh gua kuliah."
"Van? Lo masih punya peluang buat kuliah. Meski gua juga tau nilai lo gak pernah ada yang bener. Kalau gak pas ya remed."
"HH. Terus? Ledek aja terus. Bete gua." wajah Vano mengerucut.
"Maaf deh. Bercanda. Peace??" hibur Hawa.
"Yaudah lanjut dah. Asal lo seneng aman deh."
"Oke oke gua serius. Ya gini ya Van? Lo enak bisa nerusin pendidikan. Lah gua? Gak mungkin gua daftar kuliah dikeadaan kayak gini. Kalau pun tahun selanjutnya, gua udah bakal sibuk banting tulang ngasih makan anak gua. Van? Gua iri dengan teman-teman disekolah kita yang udah jebol di ptn atau bisa jadi angkatan dan sebagainya. Sedangkan gua hanya nontonin disini tanpa suara. Van? Gua pengen lo kuliah. Gua pengen lo jadi orang sukses, gak seperti gua."
"....." Vano terdiam. Dia tak tau harus berkata apa. Yang dibilang Hawa ada benarnya. Ada perasaan bersalah mengurung hati Vano.

Beberapa saat mereka diam, Hawa membuka suara lagi.

"Van? Lo mau janji gak?"
"Apa"
"Lo bakal kuliah. Usaha. Kalau lo mau sambilan kerja juga terserah lo. Gua cuma kepengen, pas gua ketemu lo dan anak ini udah gede, gua bisa ngenalin lo sama dia. Dan mengatakan 'Nak? Ini Mas Vano temen ibu yang gak pernah berhasil pas SMA. Sekarang dia udah sukses karena dia usaha. Kamu harus gitu ya? Semangat berusaha dan terutama berdoa. Nanti mana tau, kamu bisa ngalahin Mas Vano'." Hati Vano tersentuh mendengar keinginan Hawa yang berambisi atas Vano.
"Gua janji. Lo tunggu aja beberapa tahun lagi. Gua akan jemput lo dan anak lo. Kita akan ke Jakarta sama-sama. Dan lo bisa hidup baik lagi setelah itu." Hawa memanjangkan garis bibirnya. Dia bahagia. Sangat bahagia.

Bersama Allah, dan Tanpa 'Dia' [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang