Selamat Jalan, Hawa

388 13 0
                                    

PLAK!!

Tamparan keras melayang ke pipi Vano dengan penuh emosi. Maya benci sekali. Selama ini Maya telah kebingungan setengah mati memikirkan keadaan kakaknya. Begitu pula Rama yang mengangkat kera Vano. Vano hanya pasrah. Karena dia tau dia salah.

"SAHABAT MACAM APA MAS INI HAH?" Teriak Maya.
"Ini juga kemauan Hawa. Gua gak bakalan gini, gua juga gak mau nyembunyiin apapun."
"BOHONG! TETAP AJA MAS ITU JAHAT!!! JAHAT!!" Bantah Maya lagi.
"Lo mau ngambil kesempatan hah Van? Lo mau jadi pindahan hatinya? GITU?" timpa Rama.

Vano menghempas tangan Rama.
"Dengar kalian berdua. Hawa begini juga karena mereka gak mau merepotkan kalian. Dia begini karena dia sayang sama kalian. Dan untuk lo Ram, denger gua! Gak akan mungkin Hawa kepincut sama gua. Gua cuma lumut di hidup dia. Bukan, hidup KALIAN! Hidup kalian yang bebas, yang gua susah untuk kejar. Dia udah cinta mati sama lo. Dia hanya gak mau lo diminta tanggung jawab. Please! Gak ada niatan gua buat gini. PAHAM?!" Jelas Vano. Suasana jadi hening. Maya menggenggam tangan kakaknya. Menangis seduh. Dan Rama rubuh diatas kursi ruangan.

Tiba-tiba genggaman tangan Maya dibalas. Hawa telah sadar. Dengan mata yang sembab seperti habis nangis.

"K.. KAKAK!!" Maya benar-benar bahagia. Dia memeluk erat kakaknya.
"May.. Ram? Apa yang dibilang Vano itu benar. Jangan salahkan dia. Sama sekali dia gak nyembunyiin kakak... Hhhh. Kakak hanya mohon setelah ini kalian rukun. Hahhhhhhhh. Setidaknya... Kalian kerjasama untuk merawat anakku.... Ahhh." disetiap sela perkataan Hawa terdengar seperti berat.
"Kakk? Kenapa?" Semua orang merapat ke arah Hawa.
"Mas panggil dokter!!!" teriak Maya. Dengan secepat kilat Rama berlari mencari dokter.

"M.. May...." bisik Hawa sambil menarik badan Maya.
"Namai dia.... Jaga.. Kan dia.. Dan jangan.. Musuhi Vano. Kalau buk.. Bukan Vano.. Mungkin kakak gak bisa ngelahirin ... Bayi ini." airmata mengalir dari pipi Maya.

DRAPP..

Dokter muncul. Dan langsung memeriksa Hawa. Rama, Maya, dan Vano mundur. Rama spontan memeluk Maya yang terseduh. Dan Vano hanya mengelus pundak Maya. Kemudian tangan Hawa menggapai-gapai ke arah mereka semua. Serentak semuanya mengambil posisi. Menggenggam tangan Hawa tanpa berkata-kata. Dokter pun sudah mundur.

Maya tertunduk sejenak. Dia tahu apa yang harus dia lakukan. Tapi dia takut. Dia memandang wajah kakaknya yang sudah mengerang-ngerang.

"Kak... Ayo kubantu. Lailaha ilallah. Ayo kak.. Pelan pelan."
"Laila... Haaa ilallah.."
"terus kak. Lailaha ilallah." air mata Maya tumpah habis disamping kakaknya yang terus mengucap. Rama dan Vano hanya mampu menatap sakaratul maut orang terkasih mereka itu.

"Aku... Sayang... Kali..an semua.... Hhhhhh." genggaman tangan Hawa melemah. Badannya yang semula tegang langsung melemas. Maya mundur perlahan dan dokter langsung menangani Hawa. Dan menyatakan bahwa Hawa telah meninggal dunia.

...

Gundukan tanah basa beraroma kembang menghiasi lahan baru di pemakaman. Tertulis nama Hawa disana. Maya bangkit dari duduknya dengan wajah yang sangat sembab. Seakan masih tak percaya dia ditinggal keluarga satu-satunya secepat ini.

"Kak ku namakan putera kakak Anugerah. Semoga kakak senang. Assalamu'alaikum kak." Rama dan Vano menunggu di depan. Kini mereka telah berjanji akan menjaga Anugerah bersama-sama.

Satu-satunya kenangan terindah Hawa adalah puteranya. Tenanglah Hawa.

--TAMAT--

Bersama Allah, dan Tanpa 'Dia' [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang