Pamit (2)

231 6 2
                                    

Mereka tiba disebuah taman kecil tak jauh dari rumah Vano. Tempat ini menjadi tempat PDKT-nya Hawa dan Rama. Dan yang menuntunnya adalah Vano alias Mak Comblang. Vano merangkul pundak Hawa. Membopong tubuhnya yang lesu ke kursi tepat didepan danau kecil di taman. Vano mendudukkannya disana. Vano melirik kearah pedagang minuman.

"Tunggu disini. Gua beli minum. Mau cemilan?" Hawa hanya menggeleng. Matanya bengkak, hingga bola matanya hampir tertelan kantung matanya sendiri. Vano bergegas ke arah pedagang itu.
"Pak? Air mineralnya satu dan ..... Ahh itu jus Jeruknya satu gak usah pake susu."
"Oke Mas. Bentar ya?"

Tak lama pesanan Vano pun selesai. Vano langsung menuju ke arah Hawa lagi. Sampai disampingnya, Hawa sudah meremas sebuah amplop. Berkop surat nama rumah sakit yang tadi didatanginya. Vano tak terburu-buru menanyakannya. Vano duduk disamping Hawa.

"Nah minum dulu. Biar enak ceritanya." Hawa meraih minuman itu. Air itu habis separuh oleh Hawa. Mungkin karena terus terusan menangis, Hawa jadi sangat haus. Setelah melihat kondisi Hawa yang sudah lebih tenang, Vano angkat bicara.

"Lo udah bisa mulai cerita sekarang kok Wa." Hawa hanya menyerahkan surat keterangan dari rumah sakit. Vano meraihnya. Dia sampai susah menelan ludah. Vano mencoba tenang.  Dan membukanya dengan senormal mungkin. Dan akhirnya....

"ASTAGA. Wa?? E.. Elo?"
"Gua gak tau harus apa Van. Gua gak mungkin buang anak ini. Gua gak mau. Tapi gua juga gak tau gua bisa apa dengan anak ini. Gua bahkan gak ingat siapa bajingan yang udah lakuin ini ke gua." Hawa bergetar. Airmatanya tak sanggup lagi jatuh. Vano mengepalkan tangannya dia marah. Dia ingat akan Zahra dan yang lainnya yang meninggalkan Hawa. Seandainya tidak, pasti Hawa gak perlu mengalami hal hina seperti ini.
"Gua ini kotor Van. Gua kira cukup dengan apa yang gua lakuin beberapa bulan lalu. Ternyata, gua lebih hina dari itu." Hawa tertunduk badannya semakin melemah.
"Wa? Lo.. Gak boleh nyerah gitu gua akan cari jalan keluar."
"Jalan keluar apa? Nyuruh Rama untuk nikahin gua? Mau di cap apa Rama sama keluarganya? Anaknya aja bukan. Rama kurang ajar sama gua aja gak pernah Van."
"Si.. Siapa tau dia bersedia untuk lo Wa. Kita tanya aja. "
"Please Van. Gua lebih rela Rama ninggalin gua ketimbang dia harus gak dianggap sama satu keluarganya."
"Wa..."
"Apa... Gua harus pergi dari hidup Rama ya Van? Atau bahkan kalau bisa gua menjauh dari semua orang?" pernyataan itu membungkam Vano.
"Termasuk Gua?"
"Van? Thanks banget elo udah jadi pendengar setia gua. Thanks udah menjadi sahabat yang gak FAKE sama gua kayak mereka. Makasih lo siap mendengarkan aib dari gua ini Van."
"Wa? Please! Gak dengan kayak gini lo nyelesaikan masalah."
"Apa Allah itu murka ya sama gua? Gua selama ini gak pernah bantuin apa-apa untuk keluarga gua sendiri. Peduli pun enggak. Gua yang selalu dipeduliin. Dan Allah menguji gua dengan godaan kemaren. Dan yaa that's FINAL. Gua udah terjerumus."
"Waaaa.. Tuhan itu gak pernah murka. Anggap aja itu alasan Tuhan supaya lo kembali datang ke dia."
"Iya ya Van. Seumur hidup gua gak pernah beribadah sekalipun. Dan anak ini...... Mungkin akan jadi ibadah pertama gua sebagai seorang ibu."
"Wa?"
"Van? Lo sahabat gua kan? Bantu gua untuk menyembunyikan ini semua. Gua akan besarin anak ini. Gua gak bisa ketemu orang-orang yang pernah gua sia-siain kebaikannya. Anak ini ..... Akan jadi saksi atas permintaan maaf gua untuk Tuhan."
"Wa? Lo serius? Lo mau tinggal kayak mana? Wa single parents itu sulit Wa! Gua tau gimana beratnya nyokap gua besarin dan sekolahin gua. Dan sekarang.. Lo yang ada di posisi itu. Lo sanggup haah?!"
"Hanya itu yang gua sanggupin dibanding pilihan lain Van. Please. Tolong gua?"

Vano tak bisa berkata apa-apa lagi. Dia pun tak bisa bantu banyak, mengingat dia pun tak bisa bantu biaya sahabatnya ini. Vano meremas pundak Hawa. Menguatkannya, mendoakannya dalam hati. Lalu, mereka berpelukan.

"Apapun perkembangan lo, lo harus kasih tau gua. Hanya itu yang gua minta Wa. Soal keberadaan lo, serahin sama gua. Lu sehat-sehat Wa. Besarkan dia. Jadikan dia seseorang yang hebat seperti lo yang ambil keputusan ini. Gua bangga! Gua akan selalu support lu." Hawa mengangguk, mereka terbendung haru. Diam-diam airmata Vano pecah.

Bersama Allah, dan Tanpa 'Dia' [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang