Seminggu kemudian...
TingTong.
Bel rumah Maya berbunyi. Maya sudah bersiap dibalik pintu.
"Loh May? Mau kemana? Kerja?" Tanya Rama
"Enggak Mas. Barusan kak Zahra telpon katanya ada yang mau disampaikan, soal kak Hawa."
"Loh dia juga ngabarin aku. Katanya di taman tempat biasa kami berdua jalan."
"Yaudah kak barengan aja ya?"
"Yuk." Ajak Rama. Setelah pintu rumah terkunci mereka berdua segera beranjak menuju lokasi.Beberapa menit perjalanan, mereka telah sampai ke tempat tujuan. Tampak dari jauh seorang wanita telah duduk di bangku taman. Zahra telah sampai lebih dulu.
Belum berhenti Rama memarkirkan mobilnya, Maya telah melompat keluar sampai gaunnya sobek di bagian lutut. Rama kaget bukan main, dia langsung menyusul membuka pintu dan membantu Maya. Mungkin, karena Maya terlalu bersemangat bertemu dengan Zahra perihal kakaknya.
"May? Gak apa?"
"Enggak kak makasih. Ayok kak cepet." Maya menarik lengan baju Rama dan menggiringnya menuju Zahra. Dari jauh Zahra membalikkan badannya dan melihat dua orang yang berlari ke arahnya dengan tergesa-gesa. Zahra mengelus lengannya. Hatinya deg degan campur iba. Entah apa reaksi mereka ketika mendengar apa yang akan disampaikan olehnya."Ra? Udah lama?" sapa Rama.
"Gak, barusan aja." kemudian pandangan Zahra turun ke bagian bawah baju Maya, terlihat robekan yang cukup besar bercampur bercak merah dan tanah.
"May? Itu kenapa?" tanya Zahra sambil menunjuk ke arah robekan tersebut.
"Gak apa kak, gak penting. Aku aja yang ceroboh. Yang terpenting sekarang, ada kabar apa kak tentang kakak aku?"
Zahra meraih tas yang menjuntai disampingnya, dan merogoh sesuatu didalamnya. Lalu, Zahra menyuguhkannya kepada Maya."Ini apa kak?"
"Kalian pasti tau kalau Hawa beberapa hari yang lalu datang kerumah gua, dan membawa bingkisan. Selain benda itu, yang lainnya gak penting kok. Dia cuma pesan untuk ngasih itu pas gua udah pulang dari Bandung, atau tepatnya..." Zahra menghentikan bicaranya.
"Tepat apanya Ra?" timpal Rama.
"Tepatnya setelah dia sudah sangat jauh dari jangkauan kita." serentak napas Rama dan Maya tertarik dalam dan nyaris tak bisa keluar lagi.
"Ma.. Maksud lo? Dia ... Meninggal gitu??" Rama membelalakkan kedua bola matanya.
"GAK!!! GAK BOLEH!!" pekik Maya histeris yang mulai membendung air mata.
"Jangan nething dulu. Kalau iya dia mati, dia gak mungkin harus persiapan pergi jauh gitu. Buka aja kotak itu. Nanti lo berdua bakalan paham." Rama merampas kotak dari tangan Maya yang lemas itu, dibukanya kasar dan...
"R.. Ra? USG siapa ini?" mendengar itu Maya menenggak dan melihat ke arah foto USG itu dan mengambilnya dari tangan Rama yang bergantian melemas.
"Itu punya Hawa." Maya yang mendengarnya langsung menutup rapat mulutnya dengan telapak tangan dan menumpahkan airmata yang daritadi ditahan olehnya. Lalu Maya melihat ke arah Rama yang juga ikut bengong.
"Mas? Mas yang lakuin ini sama kak Hawa hah?" Maya mengguncang badan Rama yang kaku.
"JAWAB AKU!" bentak Maya.
"May? Aku gak pernah ngapa-ngapain sama Hawa."
"BOHONG!!" Maya kembali panas. Memaksa Rama untuk mengakuinya.
"Karena memang bukan Rama yang buat itu semua May." sahut Zahra setelah melihat luapan Maya yang dahsyat.
"Kalaupun iya memang Rama pelakunya, pasti Hawa langsung minta tanggung jawab. Rama kan kaya, dan pastinya Rama pun bakalan langsung mau kalau disuruh nikahin Hawa. Gak perlu sampai Hawa menggila dan kabur. Dan lagi, gua tau May, Rama itu kayak mana sama Hawa. Nyentuh Hawa aja kadang ragu, cuma Rama pacar Hawa yang paling sopan dan gak berani macam-macam. Lo gak perlu berpikiran Rama bakalan ngelakuin sandiwara malesin ini kalau dia tau Hawa hamil." Jelas Zahra panjang lebar. Sejenak Maya diam, isakan tangisnya mulai bersahut-sahutan.
"Jadi... Siapa orangnya Ra?"
"Tepatnya gua gak tau. Yang jelas, Hawa hamil sejak pesta kelulusan itu. Sama seperti gua."
"Maksud lo? Lo...."
"Iya. Gua juga hamil. But sorry, gua terlalu takut untuk jadi seorang ibu."
"Jadi anak itu.." tambah Maya.
"Gua aborsi. Sehari sebelum Hawa datang kerumah gua." Maya tak menyangka bahwa sahabat terdekat kakaknya akan tega melakukan tindakan pembunuhan itu.
"Lo berdua gak usah mikirin gua. Tenang aja, setidaknya Hawa gak sepengecut gua. Dia lebih tegar dari gua. Dan janin itu masih terus berkembang didalam perut Hawa. Kalau gua hitung, sekarang ini sudah dua bulan lebih. Dan pasti perut dia yang sixpack dan langsing sekarang udah keliatan buncit." Zahra merasa sedih, nada bicaranya terdengar menggetar, bukan atas Hawa melainkan dirinya yang pengecut.Rama lemas. Ia terduduk dan menundukan kepalanya.
"Terus kenapa dia harus pergi kayak gini? Gua sanggup untuk tanggung jawab."
"Untuk jawaban itu, silahkan lo baca ini. Mungkin ada disana." Zahra menyodorkan sepucuk surat, tertanda nama Rama dengan besar bertinta merah."'Rama? Kalau kamu udah buka ini, artinya aku udah jauh dari kehidupan kamu. Zahra udah cerita semuanya kan? Pasti kamu akan marah aku pergi gini. Dan lagi, pasti kamu bertanya kenapa aku tak minta kamu untuk tanggung jawab, ya kan? Ram? Anak ini adalah hasil kebodohanku sendiri. Seharusnya aku memang mendengarkan kamu, tapi aku lebih tergoda bermaksiat. Kamu gak perlu bertanggung jawab atas apapun. Kamu sanggup. Memang kamu sanggup. Tapi aku gak akan memaafkan diri aku, selama aku dan ketika calon anak ini lahir akan memberatkan kehidupan kamu. Keluarga kamu orang baik. Dan aku akan beri penghormatan baik dengan berpisah dari kamu. Aku bisa hidup dengan anak ini. Keadaanku baik. Yang perlu kamu cemaskan setelah ini adalah perasaan kamu, dan keseharian kamu tanpa ada lagi kata kita. Ram? Kalau Tuhan benar menjodohkan kita mungkin benar kita akan dipertemukan kembali. Tapi aku tak tau itu kapan. Aku pamit ya? Aku titip kenangan kita dan adik aku. Aku sayang kamu. ♥️"
- Hawa
Itu benar tulisan tangan Hawa. Hati Rama terpukul. Airmatanya jatuh. Dia mencium sambil meremas kertas itu, hingga tampak bulatan airmata yang jatuh dikertas itu.
"Dan untuk lo May." Zahra menyerahkan satu surat lagi kepada Maya.
'Hai May, Assalamu'alaikum. Aku gak tau gimana nahan rasa malu aku ke kamu. Yaa, selama ini... Aku udah jadi panutan yang salah untuk kamu, tapi kamu selalu memberikan cinta ke aku dengan tulus. May? Terimakasih banyak sudah menjaga aku, sabar dengan aku, mencintai aku walau aku tak pernah nganggap kamu itu ada. Aku gak bisa melakukan hal banyak, sekolah lah dengan tinggi. Jadilah silsilah baik untuk generasi keluarga kita. Aib ini akan ku kubur dalam-dalam bersama dengan diriku. Aku gak akan pergi lama. Tapi tak perlu kalian menunggu kepulanganku. Karena aku tak tau kapan tepatnya aku siap bertemu cinta besar dari kalian berdua. May? Aku titip Rama. Temani dia. Hibur dia. Karena aku sudah tak bisa menjadi bagian dari dirinya lagi. Setelah kejadian ini, aku baru merasakan cinta terhadap saudara itu seperti apa, tapi sayangnya kali ini perasaan itu bercampur tanda penyesalan. Maaf May? Assalamu'alaikum adikku."
- Hawa
"Wa'alaikumsalam kak..." Maya bergetar. Dia tak sanggup membaca pesan terakhir kakaknya. Lalu Maya melirik ke arah Rama. Maya kembali terisak.
Zahra hanya mampu menyaksikan pemandangan menyakitkan itu. Zahra memeluk erat lengannya. Cuaca menjadi dingin. Awan gelap tampak dari kejauhan. Tepat sekali timing nya. Zahra memalingkan badan dan meneteskan airmata.
"Kalau kalian tanyak dia dimana sama gua. Jawaban gua sama dengan Vano. Gua gak tau. Seandainya gua tau itu kali terakhir gua jumpa Hawa. Gua pasti bakalan bersujud sama dia." tampaknya perkataan Zahra hanya angin lalu bagi Rama dan Maya. Mereka masih terbalut duka kehilangan sosok yang sama-sama mereka cintai.
Wa? Tugas gua udah selesai. Dan lo menang, gua gak bisa menahan sedih gua melihat pemandangan ini. Dimanapun elo, jaga diri lo. Mungkin suatu saat nanti gua bisa bertemu lo dan anak lo. Amin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bersama Allah, dan Tanpa 'Dia' [END]
RomanceMenceritakan kisah perjalanan hijrah wanita muda yang tengah berjuang dan mengabdikan dirinya hanya demi Allah SWT. Perubahan yang terjadi setelah dirasakan olehnya hati yang ringkih diikuti dengan fisik yang merintih. Berhasilkah perjalanan Hijrah...