PROLOGUE

54.8K 3.6K 59
                                    

Happy Reading 💜

Aku mengusap dan memijat pelan kening yang terasa semakin penat dan berdenyut karena pembicaraan yang dilakukan saat ini. Sudah sejam berlalu dan aku merasa sudah tidak mampu menahan diri karena emosi yang hendak meledak.

"Aku udah bilang nggak mau," ucapku untuk kesekian kalinya.

"Dan nggak ada alasan untuk kamu bilang begitu," balas Papa yang masih bersikeras dengan tuntutannya.

Tidak hanya Papa, tapi juga Mama yang menjadi lawanku saat ini. Orangtua yang bekerjasama untuk memberi tuntutan kepada anak perempuannya yang malang untuk menikah dengan orang asing dan sama sekali tidak berpikir panjang tentang istilah pernikahan hanya sekali, sementara surga dan neraka tergantung dari bagaimana wanita memilih pria-nya untuk menjalani sisa hidup dalam bahtera rumah tangga.

"Papa nggak bisa maksain aku kayak gini!" seruku histeris.

"Bukan Papa yang maksa tapi kamu sudah setuju soal rencana Papa untuk jodoh kamu," balas papa sambil menunjuk selembar kertas sialan yang sudah lusuh di meja kaca.

Selembar kertas yang adalah surat perjanjian yang terpaksa kulakukan demi memilih jalur yang kuinginkan, yaitu juru masak. Papa sangat menentangku untuk melanjutkan pendidikan ke bidang kuliner yang dianggapnya sudah membuang masa depan.

Dan demi supaya masa depanku tidak sia-sia, juga tidak ingin semakin mematahkan harapannya dalam membuatku menjadi penerus perusahaan keluarga yang sudah dibangun selama tiga generasi, maka Papa menginginkan adanya menantu yang kompeten dalam melanjutkan bisnisnya. Bisa dibilang, aku adalah tumbal di sini. Godamnit.

"Itu udah lama, Pa. Itu nggak bisa dibilang persetujuan dari aku!" ucapkku kesal.

"Kita sama-sama tahu kalau kamu bersedia menerima apapun yang Papa mau untuk mendapatkan penerus usaha. Kamu yang jadi tukang masak nggak akan ngerti gimana caranya bisnis, jadi satu-satunya cara adalah kamu menikah dengan orang pilihan Papa," balas Papa tenang.

"Kamu udah umur dua puluh tiga, Nak. Sudah cukup buat menikah," tambah Mama yang membuat kepalaku semakin pening.

"For Godsake, aku masih terlalu muda untuk menikah, Ma! Aku lulus belum ada dua tahun dan masih meniti karir. Aku masih mau buka restoran sendiri dan..."

"Itu bisa sembari berjalan saat kamu sudah menikah. Calon suamimu cukup independent dalam memberi kebebasan untuk wanita berkarier. Papa sudah kenal baik," sela Papa.

"Papa yang kenal dia, bukan aku!" balasku geram.

"Tapi nanti kamu yang lebih kenal dia dan tahu kebaikannya," sahut Papa lagi.

Oh my God, we're gonna be here all day.

"Aku tandatangan surat itu waktu masih tujuh belas, Pa. Yang artinya aku masih labil dan nggak bisa mikir panjang," tukasku.

"Tapi terbukti kamu konsisten dengan jalur yang kamu pilih dan masih tetap pada pilihan kamu. Papa artikan kalau kamu juga orang yang bisa pegang janji, apalagi ada bukti tertulis seperti ini," ucap Papa dengan nada tidak peduli.

"Aku nggak punya intuisi bisnis yang Papa butuhkan untuk lanjutin usaha Papa."

"Tapi suami kamu bisa."

"Papa!!!!" teriakku histeris saat Papa menyebut kata suami yang terdengar mengerikan.

Papa dan Mama kompak berdiri sambil menatapku dengan ekspresi datar. Hal itu menandakan bahwa aksi protesku sama sekali tidak dipedulikan. Tentu saja, aku sangat sedih, juga marah. Mereka masih menganggapku seperti anak kecil yang perlu diatur dan bukan wanita dewasa yang perlu dihargai oleh keputusannya untuk berkembang tanpa bantuan keluarga.

"Semuanya sudah diputuskan, Chelsea. Nggak ada kata mundur karena Papa sudah berkali-kali mencari dan memanggil kamu, tapi kamu justru selalu kabur dari janji temu yang sudah kita sepakati. Jadi, siapa disini yang nggak bisa pegang omongan dan memaksa kami harus bersikap tegas sama kamu?" ucap Papa tegas.

"Itu berarti aku menolak dan nggak suka dengan cara Papa yang main atur hidup aku kayak gini," balasku sambil mengusap pipiku dengan kasar karena ada airmata sialan yang sudah keluar dari mataku.

"Berhenti menjadi keras kepala, Chelsea. Persiapkan dirimu karena pernikahannya akan dilangsungkan dua minggu lagi," ujar Mama kalem.

"D-Dua minggu?" pekikku kaget dan sukses membuatku terisak karena marah sekarang.

"Dan apapun yang kamu lakukan nggak akan berhasil, jadi jangan bandel, Nak," ucap Papa sambil berlalu, disusul Mama yang mengikutinya untuk keluar dari sebuah restoran yang masih sepi karena masih ditutup untuk umum.

Setelah Papa dan Mama keluar, juga yakin jika hanya diriku sendiri di sini, maka tidak ada yang bisa kulakukan selain meluapkan amarahku dengan jeritan yang memekakkan telinga.

"AAAAAARRRRGGGGHHHHHHHH! FUCK MY LIFE!!!"




🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷




Apa kabarnya hari ini?
Aku berdoa semoga kalian baik2 saja dimanapun kalian berada.

Prolog kurang cukup? Paham.
Nanti maleman aku akan update Adrian ya, mumpung aku rajin banget halunya hari ini. 🤣

Borahae 💜

Buat yang baru baca cerita ini, perkenalkan, ini adalah Om dan daun mudanya. 😝





26.05.22 (16.15 PM)

UNWANTED BRIDE (REVISION)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang