Kita kembali ke Om Liam dulu.
Hai, apa kabar?
Happy Reading. 💜🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Satu hal yang masih membuat Chelsea geram adalah tidak terima dengan sikap angkuh seorang pria bernama Liam, yang sialnya adalah suaminya sendiri. Bergidik ngeri, Chelsea tidak menyukai kata suami yang terbersit dalam pikirannya. Masih merasa orangtuanya begitu tega telah menjual anak perempuannya sendiri pada pria tua yang sangat angkuh.
Setelah pembicaraannya dengan Liam, Chelsea semakin enggan untuk keluar dari kamarnya, dan menyesali hidupnya seharian itu. Tapi hari ini, Chelsea memutuskan untuk segera keluar dari penjaranya dan memilih untuk bekerja.
Bangun lebih awal, Chelsea berencana untuk membuat menu sarapan yang sudah terbiasa dilakukan sebelum berangkat kerja. Setelah mencuci muka dan menggosok gigi, Chelsea segera keluar dari kamar dan bergegas turun. Dia berjalan berkeliling sambil mempelajari isi rumah yang terdekorasi dengan apik dan rapi.
Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan rumah itu. Desain interiornya terkesan unik mengingatkan Chelsea dengan suasana rumah country khas perkebunan milik Tamara, teman kuliahnya saat di London, saat mengajaknya berlibur dirumah kakeknya di Leeds. Cozy. Menyenangkan. Tenang. Damai. Cantik. Tapi terasa kosong dan dingin. Persis seperti pemiliknya, batin Chelsea sambil merengut.
Demi menjaga ketenangan jiwa yang sudah tidak karuan, Chelsea akan mengalihkan perhatiannya dalam memasak. Melakukan apa yang disukainya adalah terapi untuk dirinya dalam mengalihkan perhatian atau sekedar melarikan diri dari kenyataan.
Masih terlalu pagi, Chelsea tahu itu, tapi jam lima subuh sudah termasuk siang bagi Chelsea yang terbiasa untuk melakukan persiapan sebelum dirinya bekerja. Baru saja hendak memulai, seseorang membuatnya tersentak kaget dari arah belakang.
"Maaf, Nyonya, ada kebutuhan apa datang ke sini?"
Segera berbalik dan mendapati seorang ibu tua yang selalu membawakan makanan ke kamarnya selama tinggal di rumah itu. Mbok Marsih, itu namanya, dan dia adalah asisten rumah tangga yang bekerja di rumah sebesar ini.
"Saya mau buat sarapan," jawab Chelsea sambil menghela napas.
"Maaf, Bu, saya bikin kaget. Ibu mau makan apa? Biar saya buatkan," balas Marsih sambil membungkuk sebagai permintaan maaf.
"Nggak apa-apa, Bu, saya udah biasa masak. Jadi, urusan memasak kasih ke saya aja mulai hari ini," balas Chelsea sambil hendak meraih sesuatu dari meja pantry, tapi Marsih langsung menghalangi.
"Maaf, Bu, saya takut nanti Bapak marah kalau..."
"Kalau dia marah, bilang aja saya yang mau biar Mbok nggak dimarahin," sela Chelsea tegas.
Marsih tertegun, lalu menunduk sambil bergumam maaf, dan menyingkir dari hadapannya. Menghela napas, Chelsea mencoba menenangkan diri untuk tidak tenggelam dalam emosi yang sia-sia dengan kembali pada rencananya untuk membuat sarapan.
Dalam hidup, Chelsea banyak belajar tentang hidup lewat makanan. Lucu, tapi benar adanya. Bahwa makanan harus dihargai karena memiliki nyawa didalamnya, juga dibuat dengan hati dan penuh cinta. Makanan tidak hanya sekedar mengisi perut, tapi juga memberi energi dalam tubuh berupa protein dan vitamin yang terkandung dalam setiap bahannya.
Tentu saja, hal itu membuat Chelsea belajar untuk menghargai mahkluk hidup yang ada di bumi, setidaknya menjadi manfaat untuk orang lain. Dalam hal ini adalah Liam, si pria tua yang angkuh dan menjadi sumber kekesalannya saat ini. Apa yang dilakukan bukan untuk mencari perhatian melainkan demi dirinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNWANTED BRIDE (REVISION)
RomanceThis is Liam's story: "Kita sama-sama merasa sial dan dipaksa, yang artinya kita berdua nggak setuju dengan pernikahan hari ini. Jadi, kita bisa kerja sama untuk kabur sekarang!" ucap Chelsea dengan penuh penekanan. Pria itu tersenyum sinis sambil m...