Chapter 21

208 17 4
                                    

"gue mohon jauhin Safa."

Alden yang mendengar kalimat itu rasanya menyesakkan di hati. Seperti di hujami beribu-ribu jarum. Ia tersenyum miris, matanya memandang wajah Aden yang kusut. Ia tahu, Aden takut Safa akan di rebut.
Alden mengangguk-anggukkan kepala, ia paham. Kali ini ia mengalah.

"Oke, gue ngelakuin itu buat Lo." Ucapnya dengan nada rendah dan bergetar.

Aden terkejut. Memandang tidak percaya, awalnya ia takut Alden tidak mau. Ia menampilkan wajah terbaiknya, lalu segera memeluk erat tubuh adiknya dan mengucapkan kata terima kasih beberapa kali.

Alden tersenyum meski batinnya sakit. "Iya sama-sama." Segera Alden melepaskan pelukannya.

Ia bangkit berdiri meninggalkan Aden yang sedang bahagia. Alden mengambil jaket dan kunci motor yang tersampir. Ia kembali turun, ruapanya Aden masih senang.

"Bang gue pergi dulu. Baek-baek Lo di rumah. Gue udah ngalah nih. Sebelumnya maaf ya."

"Lo mau kemana?"

"Pergi."

"Kemana."

"Nenangin diri."

Setelah mengucapkan itu Alden pergi, ia ke garasi untuk mengambil motornya. Alden membawa motornya keluar gerbang, ia mengendarai dengan kecepatan tinggi. Tidak peduli bahwa ia akan mati sekarang.

Dibenaknya hanya ada suara Aden yang berkali-kali bilang 'jauhin Safa' Alden menggeleng

"Jauhin Safa."

Alden menggeleng berusaha menghilangkan suara kakaknya.

"Gue mohon."

"Jauhin Safa."

Alden menitihkan satu air mata. Hatinya terasa sakit. Mengapa ini semua terjadi padanya.

"Jauhin Safa."

Terdengar lagi, Alden menambah kecepatan lebih tinggi. Di tikungan ia hendak berbelok tetapi sorot lampu yang mampu membuat matanya menyipit datang dari arah berlawanan. Alden hendak membanting stirnya tetapi semua terlambat, truck itu semakin mendekat dan menghantam keras tubuhnya sampai terlempar beberapa meter.

Napasnya tersendat-sendat. Matanya setengah terbuka, apakah ini akhir dari hidupnya? Ia memandang banyak orang yang mengerubunginya. Alden merasakan semua tubuhnya mati rasa. Ia tersenyum dan mengucapkan sesuatu sebelum matanya benar-benar terpejam.

"Mama maafin Alden."

*****

Aden sibuk membuat teh hangat untuk menemaninya menonton televisi. Ia tersenyum senang dari tadi sejak Alden mengatakan hal itu.

Segera saja Aden kembali duduk tenang menonton televisi. Duduk manis sambil membawa ponsel, ia sedang chat bersama Safa.

Deg!

Saat ia asik tertawa, Aden meringis kesakitan, mengapa dadanya tiba-tiba terasa nyeri dan sakit. Perasaannya tidak tenang, seperti ada yang menganggal. Buru-buru Aden menghubungi Alden di sela-sela ia kesakitan. Nyeri di dadanya belum juga selesai, mengapa dadanya sesak. Dan ingin menangis.

Tidak lama kemudian telepon rumah berbunyi nyaring. Dengan cepat Aden menghampiri lalu mengangkatnya.

"Halo?"

"Iya, halo?"

"Apa benar ini kediaman bapak Vando?"

"Iya benar, ada apa ya pak?"

"Anak bapak kecelakaan, ada di rumah sakit Citra."

Detik itu juga genggaman telepon jatuh melayang bersamaan dengan tubuh Aden yang jatuh limbung. Aden menangis, ternyata ia salah. Andai saja ia tidak menyuruh Alden untuk mengalah, andai saja ia sebagai kakak tidak begitu. Aden segera menghubungi mama papanya dan menangis sekeras mungkin.

Aden mengambil kunci mobil, tidak peduli dengan wajahnya yang sangat kusut. Ia menyetir sambil menggigit-gigit jarinya.

"Gue minta maaf den."

"Gue minta maaf."

"Gue salah."

"Gue kakak yang jahat."

Berkali-kali Aden menggumamkan kata-kata itu. Ia juga berdoa. Aden menarik gas lebih cepat agar ia cepat sampai.

BRAKK

Perkiraannya salah, ia tidak sengaja menabrak pembatas jalan yang membuat mobilnya berputar-putar sehingga mobilnya membentur pohon besar dengan keras.

Aden melirik samping kiri. "Maafin gue." Membayangkan seolah-olah disampingnya ada Alden.

Lalu matanya terpejam dengan sempurna.

Kali ini dalam satu hari mereka berdua mengalami hal yang sama.

Bad TwinsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang