Sepasang suami istri tergesa-gesa berlari di koridor rumah sakit. Tidak memperdulikan pakaian kusutnya. Nampak pria paruh baya berlari sambil menenangkan istrinya yang sedari tadi menangis bahkan sempat kehilangan sadar beberapa menit. Anak mereka di larikan ke ruang ICU, ia tidak menyangka dua anaknya bisa sama kecelakaan di waktu yang sama tetapi beda tempat.
Dari sini, Vando dan Ani dapat melihat mereka berjuang keras dengan alat-alat yang menempel di tubuh. Semakin tak kuat, isakan Ani terdengar keras. Vando langsung memeluk istrinya mengusap pucuk kepala dengan lembut dan membisikan kata-kata yang mampu membuatnya tenang. Ani menggeleng, di pikirannya saat ini adalah nyawa mereka berdua.
Vando menitihkan air mata, ia mendongak agar air matanya tidak jatuh mengalir. Sebagai laki-laki ia tidak boleh lemah, di sini Vando adalah kepala keluarga. Ia harus menguatkan seluruh keluarganya, ia harus bertanggung jawab. Vando tidak becus, ia merasa tidak becus. Menarik napas dalam-dalam menghilangkan rasa sesak di dalam hatinya.
Vando menuntun Ani untuk duduk. Sempat meronta, tetapi akhirnya pasrah juga. Ia tetap mendekap hangat Ani.
"Mas, anak kita." Ucapnya di sela-sela isakan.
"Iya, aku tahu. Kamu tenang dulu ya." Vando berkata lembut seraya mengecup pucuk kepala Ani.
"Gimana bisa aku tenang, sedangkan anak aku berjuang di dalam!" Dengan sekali hembusan napas Ani memekik.
"Bukan kamu aja yang ngerasa sakit, aku juga." Tidak terasa air matanya jatuh.
Ani menangis diam. Tiba-tiba saja hatinya ikut merasa sakit melihat Vando menangis. Ani mendekap erat Vando.
"Aku merasa nggak becus jadi kepala keluarga, aku nggak becus jadi ayah, aku nggak becus jadi suami kamu." Lirih Vando, saat ini ia lelah. Vando semakin mendekatkan mukanya pada leher Ani.
"Kamu sudah berusaha sayang, ini takdir." Sekarang giliran Ani yang menangkan suaminya.
Empat jam menunggu dokter muda tampan itu akhirnya keluar dengan wajah murung. Ani dan Vando bangkit menghampiri dokter dan menanyakan pertanyaan bertubi-tubi.
"Gimana dok anak saya?"
"Jawab dok."
"Ibu bapak mohon tenang dulu." Dokter muda itu tersenyum manis.
Vando dan Ani diam. "Sebelumnya kondisi salah satu anak ibu dan papa terjadi benturan keras pada kepalanya yang menyebabkan gagar otak dan kedua kaki anak ibu patah.
Ani membekap mulutnya tidak percaya separah itukah?
"Yang ini lebih parah, sepertinya ketika kecelakaan tulang belakangnya terjepit keras sehingga satu ginjalnya rusak. Terjadi benturan di kepala yang tidak terlalu keras ibu. Kondisi anak ibu semakin menurun, kita butuh donor ginjal."
Ani limbung ia tidak sadarkan diri setelah mendengar perkataan dokter. Vando sigap menangkap, ia menatap dokter dengan mohon. "Tolong lakukan yang terbaik buat anak-anak saya dok."
Dokter itu hanya tersenyum.
******
Tiga pemuda tergopoh-gopoh menghampiri Vando yang duduk menunduk sendirian. Gio berhenti mendadak, ia sedih melihat om Vando sedih. Vano menoleh ke arah Gio mengangguk pelan, berusaha meyakinkan Gio. Rio yang sudah sampai duluan akhirnya duduk di samping Vando.
"Gimana keadaan mereka, om." Rio bertanya khawatir di susul anggukan Gio dan Vano.
Vando menggeleng pelan. Vano yang melihatnya curiga. "Jawab om, mereka kenapa?"
Vando menarik napas. "Alden gagar otak." Ia menjeda kalimatnya. "Sedangkan, Aden dia butuh donor ginjal."
Vano limbung, ia jatuh terduduk menatap lantai kosong. Rio mengusap wajahnya, Gio menarik keras rambutnya frustasi. Mengapa harus mereka berdua? Bukan dirinya saja.
Rio bangkit, ia memandang kaca. Disana mereka berdua saling berusaha. "Lo berdua bangun, jangan gini."
Vano ikut menghampiri disusul Gio. Mereka hanya bisa memandang dari kaca transparan ini. "Iya, bangun. Gue traktir sepuasnya deh." Anggukan Gio.
Vano menangis, ia tak sanggup melihat kedua sahabatnya terbaring lemah diatas brankas dengan banyak alat. Gio menenangkan Vano mengelus punggung cowok itu.
Rio kembali menghampiri Vando. "Mana tante Ani om?"
"Tante Ani di rawat. Dia shock denger kabar Alden sama Aden."
Rio menatap iba, ia tidak pernah memandang wajah kusut Vando. Vando yang ia kenal galak dan baik, sekarang lihat sajam. Kancing bajunya terbuka dua. Rambutnya acak-acakan, wajahnya merah, dan mata sembab.
"Om sabar ya, Rio yakin mereka berdua kuat.
Vando mengangguk lemah. "Om sangat yakin."
"Sekarang kita sholat, berdoa sama Allah." Arah Vando.
Mereka berdua mengangguk setuju. Lalu pergi ke musholla berdoa bersama.
Dan memberi jalan petunjuk untuk mereka berdua.
*****
Haeee author back
Lanjut gak?
Coment pendapat kalian tentang salah satu tokoh disini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Twins
Teen FictionSebuah penyesalan yang datang terlambat. Salah satu Sepasang saudara kembar mengilang ditelan tanah yang artinya sudah tiada. Mereka bertengkar Karena Gadis yang sama - sama disukainya. Ah Ralat maksudnya sama - sama dicintai. Akankah salah satu dar...