2

2.3K 93 0
                                    

7 Oktober, Kobe

Kamael Zayyan

Sudah hampir enam tahun berada disini membuatku lebih dari sekedar tahu hiruk-pikuk dari salah satu kota di Jepang ini, Kobe tepatnya. Tapi anehnya tempat ini masih terus terasa asing bagiku. Walau masih bisa pulang ke Indonesia saat ada kesempatan, tetap saja membuatku rindu akan suasana hangat tanah air.

Angin musim gugur bertiup, membuatku merasakan hawa dingin yang dibawanya. Entah musim apapun disini, tubuhku tetap saja merasakan hawa dingin. Khususnya saat matahari sudah mulai tenggelam. Namun anehnya aku yang tidak tahan dingin bisa bertahan tanpa pernah demam sekalipun, Subhanallah. Puji syukur atas segala karunia Allah.

Berhubung saat ini sedang malam Minggu, aku dan teman-teman dari Indonesia selalu menyempatkan waktu untuk bersilaturahim. Tapi entah apa yang dibuat Ethan hingga membuatku menunggu di luar ruangan lebih dari sepuluh menit, bukannya alay tapi sungguh aku tidak pernah tahan jika harus berhadapan dengan udara dingin apalagi sekarang sudah hampir jam maghrib.

Akhirnya mobil Ethan datang, dia memperlihatkan cengirannya, menyuruhku agar segera masuk dan menduduki bangku depan disampingnya. Setelah aku masuk, disana sudah ada Rafa dan Crish yang duduk manis di bangku belakang. Pantas saja lama, ternyata dia juga menjemput cecenguk lainnya. Tanpa menunggu lama mobil Ethan segera melesat menuju masjid Kobe, sebelum adzan maghrib berkumandang.

Kami berempat memang anak rantau dari Indonesia, tapi kami sudah kenal dan dekat sejak bangku SMA dan memutuskan melanjutkan S2 di negara yang sama. Entah siapa dan apa yang mengawali terbentuknya empat serangkai ini hingga membuat kami dekat dan susah dipisah, mengingat sifat kami sangatlah berbeda.

Bahkan dulu kami berlima, salah satu dari kami tidak bisa meninggalkan tanah air tercinta. Ia harus meneruskan perusahaan papanya karena sang papa memilih pensiun dini, menemani mamanya dirumah. Mengingat aku sepupunya tentu aku tahu bagaimana dia tidak bisa menolak permintaan papanya jika itu demi kebaikan mamanya.

Sebenarnya aku mendahului mereka dan datang dua tahun lebih awal ke Jepang karena harus melakukan koas di salah satu rumah sakit di sini. Untuk itu kami masih tetap bisa lulus bersama-sama april kemarin, kami berempat sepakat untuk menunda kepulangan sambil menyelesaikan berbagai urusan yang belum ditangani.

Dan urusan yang paling rumit adalah milikku, aku salah satu mahasiswa berprestasi di universitas tempatku melanjutkan progam spesialisasi, jadi pihak universitas masih terus menahanku untuk bekerja di salah satu rumah sakit yang berada dibawah asuhan universitas. Untuk itu butuh waktu sedikit lebih lama bagiku menyelesaikan semua urusan disini.

Setelah sampai di masjid Kobe, aku, Ethan, dan Rafa segera keluar dari mobil dan menuju masjid. Bertepatan dengan suara adzan yang mulai berkumandang. Crish menunggu kami yang didalam mobil, dia seorang yang taat pada agamanya seperti kami yang taat pada agama islam dan kami menghormati pilihannya seperti dia yang selalu menghormati pilihan kami.

Setelah selesai melakukan kewajiban pada Sang Pencipta, akhirnya kami melanjutkan perjalanan menuju salah satu resto yang menyajikan makanan halal di Kobe.

--@@--

Alhamdulillah, kami sampai di tempat tujuan dengan selamat. Hari ini Rafa yang memilih untuk menuju kasir dan memesan makanan, sedangkan kami langsung menuju meja kosong di bagian pojok restoran. Kami bercakap-cakap ringan sebelum Rafa kembali dan memberikan sebuah kabar mengejutkan.

"Gue mau ngomong sesuatu," ujar Rafa sambil menarik kursi untuk diduduki.

"Apaan?" sahut Ethan.

Aku masih diam menunggu kelanjutan dari percakapan teman-temanku sambil menatap Rafa yang akan melanjutkan penjelasannya. Aku memang tidak suka menyela omongan orang dan lebih memilih diam.

AZALEATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang