25

1.5K 76 5
                                    

7 Januari, Raja Ampat

Kamael Zayyan

Aku menatap kotak beludru berwarna merah di tanganku. Aku sedang meragu.

Suara detik jam menyadarkanku dari lamunan kosong, sekarang pukul sepuluh dan Risha sudah tidur satu jam yang lalu. Tidurnya sangat nyenyak, mungkin terlalu lelah karena menghabiskan waktu seharian untuk berlayar mengelilingi Raja Ampat. Wajah tidurnya terlihat cantik, secantik biasanya. Surai panjangnya menutupi mata, membuat jariku spontan berlari kesana. Dia tidur dengan menyisipkan tangan kanannya di antara bantal dan kepala.

Kutatap jari-jari tangan kirinya yang lentik, ia tak membiarkan kukunya tumbuh panjang. Kembali kuamati wajah terlelapnya, menimbulkan rasa bersalah di dadaku. Kenapa wanita ini bisa begitu mencintaiku dan mengumumkannya dengan lantang? Kenapa ia bisa memahami perasaan itu sedangkan aku tidak? Kenapa aku tidak bisa memahami perasaanku sendiri?

Aku memegang kotak beludru di tanganku, membukanya, menatap benda kecil di dalamnya, menutupnya, dan kembali membukanya. Aku membandingkannya dengan logam titanium yang melingkar di tanganku, bentuknya sederhana, hanya ada ukiran nama istriku di sana. Sedangkan yang ada di dalam kotak memiliki mutiara kecil bewarna merah muda, juga ukiran namaku di sana. Setelah membandingkannya, kembali kututup kotak kecil itu.

Masih sama seperti sebelumnya, aku tidak bisa tidur. Otakku terus berpikir keras hingga menyulitkan mataku untuk terpejam. Sebenarnya aku ingin membuktikan teori, dimana cinta pada wanita itu tak kuperlukan. Aku akan menikahi seorang wanita sesuai rencanaku, seseorang yang mengerti benar tentang agama. Sehingga tanpa cinta, kami tetap bisa mengarungi bahtera rumah tangga dengan berpegang pada keimanan dan syariat agama.

Ketika bertemu dengan Risha kupikir dia orang yang baik, melihatnya begitu membahagiakan. Saat dia tersenyum setelah bakti sosial, itulah yang menurutku senyuman tulus yang paling memuaskan. Tapi ketika wanita itu menyatakan perasaannya padaku, semua persepsiku padanya hancur. Dia menjadi wanita dengan urutan terendah yang bisa kubayangkan, seseorang yang tak akan kupilih menjadi pendampingku. Sesekali aku memikirkannya, tapi sayangnya bukan kebaikan, namun keburukan ketika dia melewati batasannya sebagai wanita. Bukan, aku bukan seseorang yang menekankan feminisme, tapi tak terbayangkan olehku seorang wanita mengungkapkan perasaan pada seseorang yang bukan mahromnya. Apa untungnya tindakan itu?

Sekarang aku sadar, betapa sulit mengungkapkan sebuah perasaan. Bahkan untuk memahaminya pun sulit bagiku. Ingin aku memperlakukan Risha sebagai seorang istri yang sesungguhnya, namun seakan ada dinding yang membatasiku untuk melakukannya. Aku tak bisa menembus dinding itu, padahal kupikir melakukan tanggung jawab sebagai suami itu mudah. Begitu mudah hingga kupikir pernikahan tidak memerlukan cinta.

"Lo udah mulai suka sama dia sejak dulu." Kata-kata Ethan terngiang di kepalaku. Atas dasar apa ia mendikte perasaanku, dia tak mengerti. Dulu aku tahu betul, rasa tak menyenangkan setiap mengingat ataupun melihat Risha adalah rasa tidak suka yang berlebihan. Lalu bagaimana jika sekarang rasa itu jadi makin tak menyenangkan dan menyesakkan? Apa artinya aku membenci wanita ini? Wanita yang tengah tertidur pulas setelah menghabiskan hari dengan tertawa bersamaku? Kejam sekali aku jika membenci istriku sendiri!

Kelambu yang meingkupi ranjang bergerak-gerak gelisah akibat tiupan angin laut dari ventilasi. Angin itu mengusik Risha dari tidurnya, ia menggeliat resah. Tak suka melihatnya terganggu, aku mencoba membuatnya tertidur kembali dengan menepuk pelan lengannya. Sayangnya bukannya kembali tertidur wanita itu malah terbangun. Ia mengerjap beberapa kali lalu menatapku sambil menyesuaikan matanya dengan sinar lampu kamar yang temaram. "Kaak, kok belum tidur?" suaranya serak khas orang yang baru bangun tidur. Ia mengucek matanya beberapa kali lalu mencari-cari letak jam dinding di kamar. "Masih jam sepuluh, maaf membangunkanmu. Tidurlah lagi." Aku segera menyembunyikan kotak kecil, yang sedari tadi kuamati, ke saku celanaku.

Masih dengan mengernyitkan dahi, Risha mendudukkan badan dan membuat rambut panjangnya mengayun menutupi sebagian wajahnya. "Kak El... nggak tidur?" tanyanya menatapku bingung. Aku menggeleng pelan bermaksud menyampaikan kegagalan usahaku untuk tertidur. Tapi sorot mata Risha meredup dan dengan lemah ia berkata, "Ya sudah, aku tidur dulu." Melihat kekecewaannya dengan spontan tanganku bergerak untuk menahan lengannya. Ia kembali menatapku dengan tatapan yang berbeda, desiran aneh kurasakan. Aku menyimpulkan kami merasakan hal yang sama dalam situasi ini.

Seketika dorongan untuk menjadikan Risha istriku sepenuhnya menguar. Aku menginginkan wanita ini lebih dari yang aku sadari. Mungkin, mungkin saja jika aku memiliki segala hal tentang dirinya, aku bisa belajar membalas cintanya. Ya, mungkin.

--@@--

Lenganku terasa berat ketika terbangun, spontan aku menolehkan kepala. Sesaat setelah menyesuaikan penglihatanku dengan lampu redup kamar, aku menemukan Risha di sana. Tertidur dengan menjadikan lenganku sebagai bantal. Aku teringat apa yang kami lakukan beberapa jam yang lalu, saling memiliki. Risha sudah menjadi istriku sepenuhnya, aku sudah memiliki dirinya. Lalu mengapa ada sebersit rasa penyesalan dalam hatiku? Atau rasa bersalah?

Seharusnya aku lebih bisa mengendalikan diriku di saat perasaanku sendiri belum bisa kupahami. Aku mengedarkan pandangan untuk melihat jam dinding, jam menunjukkan pukul dua pagi. Aku bangkit dari tidurku pelan-pelan dan segera menuju kamar mandi. Setelah keluar dari kamar mandi, aku segera melaksanakan sholat tahajud. Menumpahkan semua kegelisahanku pada Sang Pencipta adalah cara terbaik untuk mencari jalan keluar.

Aku tidak memahami perasaanku sendiri, tapi malah melakukan sesuatu yang mungkin akan menghancurkan harapan Risha. Sekarang diriku bertanya-tanya, mengapa dulu aku menilai wanita ini begitu buruk hanya karena ia berani mengungkapkan perasaannya? Apakah aku masih layak untuk menjadi suaminya? Apa diriku sendiri sudah cukup baik?

Aku tidak mencintainya, ya, aku tidak mencintai Risha. Lalu apa yang sudah aku lakukan pada wanita itu? Aku menyentuhnya tanpa cinta, sedangkan dia memberikan seluruh cintanya. Rasa bersalah menggelayutiku. Bagaimana aku menebusnya? Haruskah aku mengatakan yang sesungguhnya? Atau membiarkan semuanya tetap seperti ini?

Seusai sholat, berdzikir, dan berdoa aku kembali menuju ke tempat tidur. Kutatap Risha yang masih tertidur pulas, bibirnya terlihat seperti menggumamkan sesuatu lalu tersenyum kecil. Hatiku seperti tercubit, jika aku berterus terang seperti waktu itu apakah dia masih bisa tersenyum. Dia pasti akan sakit hati.

Suara getaran dari atas nakas mengalihkan perhatianku. Aku menyibakkan kelambu untuk mengambil handphoneku yang bergetar beberapa kali. Seperti menjawab pertanyaanku, ada pesan dari rumah sakit masuk. Pemberitahuan tentang majunya hari pertamaku kusambut dengan senang hati. Setelah mulai bekerja aku akan lebih sibuk, itu berarti aku tidak perlu terlalu terlihat menghindari istriku. Ya, aku akan mempunyai waktu lebih banyak untuk bisa memahami perasaan mengganjal yang aku rasakan ini.

AZALEATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang