23

1.4K 77 0
                                    

4 Januari, Jakarta

Faiz Sahid Ramdhan

Tak seperti dugaanku, Mama dan Papa bukan hanya memaafkanku tetapi juga meminta maaf karena tak memahami perasaanku. Bahkan usai berbicara dengan Risha beberapa hari yang lalu, Mama langsung menangisi kebodohanku. Bukan karena jengkel pada diriku yang tak bisa menunaikan perintahnya, melainkan karena ketidakinginanku membantah perintahnya yang membawa kesedihan untuk diriku sendiri.

Aku ingat betul ekspresi Ega hari itu, ekspresi penuh kesedihan. Ia terlihat rapuh, wajahnya sembab bekas tangisan. Dia mempertanyakan kedatanganku dengan nada yang lembut seperti biasa, tapi dapat kutangkap sorot matanya yang penuh kecurigaan tentang keputusan yang telah kuambil. Saat kuutarakan maksudku, Ega hanya terdiam kaku.

“Apa Risha yang memintamu?” pertanyaan darinya itu kujawab dengan gelengan. Risha hanya memintaku datang, keputusan selalu ada di tanganku. Kukatakan padanya aku tidak akan menikahi Risha, Ega terkejut dan marah padaku. Ia memintaku untuk pergi, tapi aku bersikeras untuk tetap tinggal. Dia membiarkanku tetap tinggal tanpa sepatah kata pun. Ia mendiamkanku walau aku terus berusaha mengajaknya bicara.

Beberapa jam kemudian ayahnya tersadar, saat kondisi sang Ayah mulai membaik aku meminta ijin untuk pulang. Saat itu Tante Rani, Om Aziz, juga El sudah ada di rumahku. Mereka terlibat pembicaraan serius dengan kedua orang tuaku mengenai masalah yang baru saja diketahui Mama dari Risha. Mama dan Papa dengan mudah memaafkanku, menganggap sebagian besar kesalahan terletak pada mereka. Tante Rani malah berterimakasih padaku dan mengatakan keputusanku sudah benar dengan membatahkan pernikahan itu.

Tante Rani seperti sudah mengantisipasi semua hal, dari situ timbul kecurigaanku bahwa El sudah memberitahukan masalahku pada Mamanya. Kala itu tak banyak yang bisa kulakukan, apalagi aku tahu betul dirikulah yang paling bersalah. Tapi El dan perilakunya benar-benar diluar kebiasaan.

Tak pernah terbayangkan olehku untuk melihat sisi lain dari El. Sejauh yang ku ketahui sepupuku itu tak akan pernah begitu larut dalam perasaan emosional semata. Tapi kali ini El menampilkan sisi yang berbeda itu karena seorang wanita. Sesuatu yang tak lazim untuk terjadi menurutku. Dan tanda tanya besar itu sudah terpecahkan ketika aku bertemu dengan Ethan yang menceritakan semua hal di masa lalu.

Aku dan Ethan mengambil kesimpulan yang sama, El jatuh cinta. Tapi lelaki itu tak mengerti dengan perasaannya sendiri. Sampai sekarang aku hanya bisa menatapnya aneh, sepupu yang sudah kukenal sepanjang hidupnya tiba-tiba terasa begitu asing karena seorang wanita. Kuakui Risha memang hebat untuk bisa membuat sisi lain diri El muncul dan membingungkan banyak orang termasuk El sendiri.

Hari ini aku dan keluargaku akan menemui Ega yang masih menjaga ayahnya di rumah sakit. Aku berencana mengungkapkan keinginanku untuk menikahi Ega pada ayah wanita itu. Mama dan Papa sudah mendukung penuh keputusanku. Tinggal nanti, Ega mengiyakan atau tidak.

“Assalamualaikum,” ucapku ketika pintu kamar ayah Ega dirawat terbuka seusai kuketuk. Ega terkejut melihat kedatanganku, ia segera menjawab salam dan mempersilahkan kami masuk. Ayah dan kakak Ega menyambut kedatangan kami dengan baik. Ega memperkenalkanku kepada keluarganya. Kami sempat berbincang sebentar sebelum kuutarakan maksud kedatanganku. “Pak, saya kemari ingin menyatakan keinginan saya untuk meminang putri Bapak.”

Sempat hening beberapa saat usai kuucapkan keinginanku, ayah Ega menatap putrinya yang hanya bisa menunduk. “Terimakasih atas niat baikmu, nak. Hanya Ega yang bisa menjawab keinginanmu, aku akan menerima semua keputusannya.” Penuturan Ayah Ega yang sedikit terbata, membuat Ega meneteskan air matanya.

“Ega, terimalah anakku. Ia amat mencintaimu,” ucap Mama. Ega menatap Mama dengan haru, ia masih membuka dan menutup mulutnya untuk beberapa saat. “Sa-saya tak merasa cukup layak untuk Faiz, saya bukan seseorang yang sempurna untuknya tante,” jawab Ega.

“Tidak ada yang sempurna di dunia ini, tapi kamu lebih dari layak untuk mendampingi putraku, Ega.”

Ega menatapku dan menatap ayahnya bergiliran. “Ega maukah kamu menikah denganku?” tanyaku padanya. Ega menatapku, matanya berkaca-kaca karena sudah tak kuat menahan air mata yang siap untuk jatuh. Ia menarik nafas beberapa saat sebelum tersenyum dan menjawab pertanyaan dariku. “Ya, Faiz.”

--@@--

“Gua mau nikah sama Ega,” ucapku pada El. Kami bertemu di salah satu rumah makan yang dikelola oleh El.

Dia memang sudah merintis usahanya sejak pertama menduduki bangku kuliah, ia bilang dokter itu pekerjaan mulia yang dari sana ia tak boleh mengaharapkan balas jasa jadi ia membuka usaha rumah makan. Dari yang kuketahui omset dari usaha El sangatlah besar, ia bahkan membiayai seluruh uang kuliahnya dari semester satu hingga semester akhir. Bahkan sekarang rumah makannya sudah memiliki banyak cabang di pulau Jawa, itulah yang aku kagumi dari sepupuku ini. Ditengah kesibukannya sebagai dokter ia masih bisa mengelola usaha dengan banyak keuntungan. Sesuatu yang patut untuk dijadikan panutan.

El menaikkan alisnya, “Kapan?” tanyanya. Aku tersenyum, mungkin ini salah satu alasan El sukses. Ia selalu fokus dan tak suka membuang waktu hanya untuk sekedar berbicara. “Nanti habis ayahnya dibolehin pulang, gue bakal ke rumahnya buat ngomongin itu.” Kamael mengangguk, menandakan bahwa ia mengerti. Ia kembali mengotak-atik ponselnya yang menampilkan kolom pencarian di google.

“Lo lagi nyari apaan sih?” tanyaku pada El. Ia sempat mengernyit tak suka dengan pertanyaan penasaranku, tapi dia tetap menjawabnya. “Cincin.” Cincin? Untuk apa El mencari cincin.

“Buat apaan?” El menatapku, mungkin dia berpikir aku terlalu penasaran. Tapi ayolah, akhir-akhir ini sifatnya membuat semua orang penasaran. “Cincin nikah,” jawabnya. Aku mengernyit bingung, seingatku Mama sudah menyerahkan cincin yang dulu dibelinya untukku dan Risha. “Bukannya udah ada?”

“Belum, yang dulu nggak gue kasih ke Risha. Udah gue balikin ke tante,” ungkapnya. Ada apa dengan orang ini?

“Jadi lo nggak kasih tuker cincin? Lo nggak kasih cincin ke Risha pas akad?” Teganya orang ini jika itu yang benar-benar terjadi. Ia malah menyerngit padaku, “Emang nggak, masak gue kasih dia cincin dari lo? Ini gue lagi nyari sendiri!” Risha pasti sudah salah paham dengan perbuatan El. Aku jamin itu, pasti wanita itu sudah berpikir jika El hanya menikahinya untuk sekedar bertanggung jawab.

“Lo udah bilang ke Risha kalau masih nyari cincin?” El menggeleng tak tertarik. “Dia bisa salah paham kalau lo nggak ngasih tahu alasan lo,” lanjutku. El menghentikan gerakan jarinya yang sedang mencari setelah mendengar perkataanku. Ia menatapku, “Kok bisa?” Lah, dia masih bertanya. Kamael benar-benar dungu jika berbicara tentang perasaan, bagaimana dia bisa setidak peka itu.

“Dia pasti mikir lo nggak pengen lanjutin pernikahan dalam waktu dekat karena nggak repot-repot ngasih dia cincin, sebagai tanda pernikahan.” El menelengkan kepalanya, masih mencerna perkataanku. Tangannya menyugar rambutnya yang mulai panjang. “Dia nggak bilang apa-apa ke gue.”

“Hei! Gue pun nggak akan bilang apa-apa kalau dapat perlakuan kayak gitu. Dia pasti takut kalau tanya sesuatu dan malah dapat jawaban yang nggak diinginkan. Lo harusnya jaga perasaan dia.” El menatapku tajam, terlihat jelas kalau dia tak suka dengan penuturanku.

“Nggak lo, nggak Ethan! Selalu nyuruh gue buat jaga dia, padahal gue yang paling paham sama tanggung jawab gue itu!”

Benar kata Ethan, El tak pandai mengungkapkan perasaannya tapi sepertinya dia pandai memperlihatkan satu hal ini.

Cemburu!

AZALEATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang