Extra Part

3K 96 6
                                    

5 bulan kemudian

7 September, Jakarta

Derap langkah seseorang yang tengah berlari terdengar di lorong rumah sakit. Lelaki yang masih mengenakan seragam bedahnya berlari di sepanjang lorong rumah sakit menuju ke sebuah bangsal yang ada di sana. Keringat dingin membasahi pelipisnya, dengan tergesa-gesa ia menyibak satu persatu tirai yang memisahkan ranjang di ruangan yang ia datangi. Wajahnya mengeras saat menemukan seseorang yang ia cari.

"Astaghfirullah El! Kenapa kamu nak? Keringet kamu sampek sebiji jagung kayak gitu!" seru seorang wanita paruh baya. Seorang lelaki paruh baya yang berdiri di sampingnya berdecak, "Mama ini gimana, udah sewajarnya dia khawatir. Masih untung dia nggak pingsan."

Seorang wanita paruh baya lain terkekeh mendengar candaan besannya, "Nggak apa-apa nak. Wajarlah kalau panik pas kayak gini." Lelaki paruh baya yang berada tak jauh darinya hanya menganggukkan kepala tanda setuju. El masih terdiam di sana, pandangan matanya tertuju pada wanita yang tengah terbaring di ranjang rumah sakit dengan senyum yang ditujukan untuknya.

El berjalan mendekati ranjang untuk melihat lebih dekat keadaan wanita itu. "Aku nggak apa-apa kak, cuma kontraksi biasa. Sekarang udah nggak sakit kok," tutur Risha sambil tersenyum lebar. El menghela nafas lega, ia mengelus lembut kepala istrinya yang berbalut hijab dan memberikan sebuah kecupan di kening wanita itu.

Walau tanpa kata, semua yang ada di ruangan itu tahu betapa khawatirnya El mendengar kabar istrinya dilarikan ke rumah sakit. Sejak beberapa jam yang lalu ia berada di ruangan operasi, keluar ruangan itu dengan rasa syukur karena operasinya berhasil tidak membuatnya lega begitu melihat puluhan panggilan masuk dari istri dan mamanya. Apalagi ketika ia membaca pesan singkat yang dikirimkan mamanya, "Risha perutnya kontraksi, Mama bawa ke rs kamu. Kata dokter nggak ada masalah cuma kontraksi ringan aja."

El bahkan hampir menjatuhkan ponselnya ketika melihat pesan itu, kontraksi ringan bagaimana jika istrinya yang kuat sampai dibawa ke rumah sakit. El yakin pasti Risha benar-benar kesakitan. Rasa khawatir menguasainya hingga membuatnya menggila, tapi detik berikutnya setelah melihat senyum manis yang ada di wajah pucat istrinya, membuat rasa lega muncul dan mengusir segala kekhawatiran yang sebelumnya ia rasakan. El benar-benar bersyukur Allah melindungi orang yang ia cintai.

"El! Habis ini kamu udah free kan? Papa sama Mama mau pulang dulu ini, besok balik lagi. Nanti pastikan kamu bicara lagi sama dokter Rika." El mengangguk menanggapi ucapan Papanya. "Baju gantimu sama punya Risha udah dibawain sama Papa," sambung Mamanya. Mertuanya pun ikut undur diri dan pergi bersamaan dengan kedua orang tuanya meninggalkan dirinya dan Risha sendirian.

El kembali memusatkan perhatiannya pada istrinya yang sekarang tengah menyandarkan punggungnya di kepala ranjang. Ia meletakkan telapak tangannya pada perut Risha yang sudah membuncit. "Anakku tumben kok nyusahin umimu? Kenapa sayang?" Sebuah pergerakan kecil yang terasa di perut Risha membuat dua orang tua baru itu saling menatap. "Mungkin dia pengen bilang kangen abinya, soalnya kemarin cuma denger muratal abi lewat telepon," ujar Risha sambil tertawa kecil.

"Ya udah, nanti abi bacain sepuas kamu deh." Satu pergerakan yang lebih lama membuat mereka tersenyum bahagia. Risha tak habis pikir mengapa tadi dirinya dengan panik menelepon suaminya itu ketika tahu sang Suami sedang memiliki jadwal operasi berturut-turut sedari kemarin. Tapi mau bagaimana lagi ia tadi benar-benar panik ketika perutnya terasa begitu sakit tak seperti biasanya. Ia bahkan hampir menangis saat memanggil mertuanya dari dalam kamar.

Sepanjang perjalanan menuju ke rumah sakit ia hanya bisa berdoa dan sesekali melirik ke arah kakinya, khawatir jika ia mengalami pendarahan. Syukurlah semua itu tidak terjadi, dokter berkata jika itu kontraksi yang terkadang dialami saat kehamilan pertama terutama pada trismester akhir. Risha tak ingat berapa kali ia mengucapkan hamdallah ketika tahu tak terjadi apa-apa dengan putranya.

Sebelumnya ia sudah menyiapkan dirinya jika titipan dari Allah itu diambil kembali oleh Pemiliknya, tapi tetap saja ia tidak bisa membayangkan bagaimana sakitnya jika ia benar-benar kehilangan anaknya bahkan sebelum sempat melihat wajahnya. Hanya dengan melihat ekspresi wajah El, ia tahu lelaki itu mengalami kekhawatiran yang sama. Bodohnya ia jika panggilannya satu jam yang lalu membuat suaminya khawatir dan benar, seperti yang dikatakan mertuanya, suaminya tadi terlihat seperti akan pingsan.

"Beneran sekarang nggak ada yang sakit?" tanya El khawatir. Risha mengangguk sambil tersenyum lebar tapi suaminya itu masih melemparinya dengan tatapan menyelidik. "Kak El, istrimu ini baik-baik saja," ucap Risha dengan lembut. El tersenyum kecil sembari membelai tangan istrinya yang tengah ditancapi jarum infus.

El bangkit dari duduknya, "Aku keluar dulu mau ganti sekalian bicara sama dokter Rika ya?" Risha menggangguk untuk menjawab suaminya. Lima belas menit kemudian El datang dengan wajah ditekuk, Risha bertanya-tanya ada apa dengan suaminya ini. El perlahan menuju ke arah kursi di samping ranjang dan duduk di sana. "Kok kamu nggak bilang kalau harus rawat inap tiga hari ke depan, sama harus bed rest dua minggu penuh? Dan kamu malah bilang itu kontraksi biasa."

Risha terkekeh pelan sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, ia bingung harus menjawab bagaimana. Ia hanya ingin suaminya itu untuk tidak terlalu khawatir. "Kak El marah?" Pertanyaan itu membuat El berdecak kesal, bukan pada Risha tapi pada dirinya sendiri.

"Aku nggak marah, aku khawatir dan aku kesal pada diriku sendiri yang nggak bisa selalu ada waktu kamu kesulitan. Saat aku lihat banyak panggilan tak terjawab dari kamu, firasatku langsung nggak enak. Aku bisa bayangin betapa paniknya kamu saat itu, suami yang seharusnya bisa kamu andalkan bahkan nggak bisa sekedar jawab panggilan kamu. Aku merasa nggak berguna buatmu."

Risha menggeleng dan menangkup wajah suaminya dengan kedua tangan, "Kenapa suamiku ini merasa tidak berguna? Padahal aku selalu merasa kamu luar biasa! Aku tahu kamu sedang membantu orang yang lebih membutuhkan pertolonganmu saat aku meneleponmu, aku hanya terlalu panik saat itu sampai nggak bisa berpikir lebih baik. Kamu selalu aku butuhkan kak, selalu. Kami baik-baik saja karena doamu juga."

"Asalkan kamu tahu Ris, hal seperti ini bisa terulang lagi. Aku mungkin tidak bisa ada di saat kamu lebih membutuhkanku dibandingkan orang lain," tutur El. Risha mencubit hidung mancung suaminya itu, ia gemas sekali dengan wajah melas yang ditunjukkan El saat ini. "Dan saat itu terjadi lagi, aku akan yakin doamu selalu bersamaku!"

El kembali tersenyum, wajahnya menunjukkan senyuman kelegaan. Istrinya benar-benar sosok wanita yang tidak akan ia temui lagi, sungguh beruntungnya ia mendapatkan seseorang sebaik Risha. Keteguhan wanita itu sungguh pasti membuat seseorang luluh dengan semangatnya. Di luar, wanita ini menunjukkan pribadi yang kuat namun di dalam ia adalah wanita lembut dan penyabar. Wanita yang selalu membuatnya kagum setiap harinya.

"Masyaallah, istriku! Cintaku! Kamu nggak boleh menarik kata-katamu, karena aku akan dengan senang hati selalu menjadi pendampingmu, di dunia ini maupun di akhirat nanti."

AZALEATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang