12

1.2K 61 1
                                    

5 November, Jakarta

Hari telah berganti dan datanglah Minggu. Hari yang selalu ditunggu setiap orang, baik muda maupun tua. Minggu berarti rehat sebentar dari padatnya aktifitas, namun Minggu Risha kali ini penuh dengan kegelisahan.

Sejak kemarin Ibunya sudah membersihkan seisi rumah. Barra diminta membelikan berbagai makanan ringan dan juga bunga potong untuk mengisi ruang tamu. Barra tak bisa menolak walaupun semua itu ia lakukan dengan setengah hati. Risha sendiri hanya bisa menatap Barra kasihan, adiknya itu jelas-jelas tidak setuju dengan perjodohan ini.

Sedangkan Risha sendiri masih diam, ia belum menemukan jawaban atas kegelisahannya. Akan ada dua keluarga yang dihadapinya nanti. Risha sudah memikirkan berbagai penolakan yang akan ia lakukan.

Namun, saat berhadapan dengan Ibu dan Ayahnya kata-kata penolakan itu tak mampu ia ucapkan. Alhasil beberapa hari terakhir ini ia menghindari mereka. Ia sudah melakukan sholat istikharah, tapi jawaban tak kunjung ia dapatkan. Mungkin karena waktunya terlalu singkat dan do’a nya terlalu tergesa-gesa.

Risha diminta memakai gamis berwarna hijau daun yang baru dia beli bulan lalu. Wajah bulatnya dibalut jilbab yang berwarna lebih tua. Seperti biasa hanya lipbalm yang ia gunakan di bibirnya, tak ada sentuhan make up lainnya. Bukan karena ia merasa menggunakan make up itu salah, tapi karena ia tak bisa mengaplikasikan benda-benda itu di wajahnya.

Dari jendela kamarnya ia melihat sebuah sedan berhenti di pekarangan rumahnya. Risha melihat jam dinding yang ada di kamarnya, tepat jam sembilan seperti yang dijanjikan. Tak lama Barra membuka pintu kamarnya.

“Mbak ayo, udah datang orangnya.” Risha berdiri dan berjalan menuju ruang tamu bersama dengan Barra.

Saat sampai di ruang tamu orang tuanya sedang berbincang dengan tamu mereka. Tampak seorang wanita dan pria paruh baya yang masih terlihat cantik dan tampan di usianya. Dan satu orang lagi yang ada di sana, orang terakhir di dunia ini yang ada di pikirannya ketika membayangkan pernikahan.

“Mas, Mas Faiz?”

“Risha?” seru Faiz tak kalah terkejutnya dengan Risha.

“Loh, kalian sudah kenal ya?” tanya wanita yang duduk di samping Faiz.

“Kok kebetulan banget Risha udah kenal sama anakmu. Risha salaman dulu sama tante Tsani dan om Ramdhan,” pinta sang Ibu pada Risha.

Risha masih menatap Faiz yang juga menatapnya, sebelum menghampiri ibu dan ayah pria itu untuk bersalaman. Setelah menyalami kedua orang itu, Risha duduk di tempat kosong samping Ibunya.

“Kalau begitu tidak perlu ditunda-tunda lagi niat baik kita, berhubung mereka berdua sudah saling kenal.” Justru niat itu tak boleh terjadi, batin Risha mendengar ucapan dari ayah Faiz.

“Kalian kenalnya gimana?” tanya Tsani pada kedua anak manusia yang sekarang sedang menyelami pikiran masing-masing. Mendengar pertanyaan itu Risha kembali menatap Faiz.

“Kita kenal lewat teman Ma,” jawaban Faiz jelas tak disetujui Risha. Ia menunjukkan tatapan bertanya pada pria itu. Apa yang sedang pria ini pikirkan?

“Emm, sebelumnya boleh saya bicara sebentar dengan Risha?” lanjut Faiz meminta persetujuan orang-orang yang ada di sana.

“Wah boleh dong. Sana Ris,” jawab Ratri.

“Biar aku temani,” seru Barra sambil berdiri dari tempatnya duduk.

Mereka bertiga keluar dari ruang tamu dan menuju teras. Risha meminta Barra untuk menunggu di teras. Sedangkan ia mengajak Faiz ke halaman depan, di sana terdapat sebuah kursi panjang yang berhadapan dengan dua kursi kecil. Mereka tak mungkin membicarakan masalah ini dengan ada Barra di sana.

Risha duduk di kursi panjang diikuti Faiz yang duduk di hadapannya. Faiz menundukkan kepalanya, menatap rumput hijau yang tumbuh di halaman. Lelaki itu tak kunjung bersuara hingga Risha membuka suaranya lebih dulu.

“Kemarin aku bertemu mbak Ega,” mendengar itu Faiz menyimpulkan Ega sudah menceritakan yang dialaminya pada Risha.

“Bagaimana keadaannya?”

“Buruk,” jawab Risha sambil mengingat bagaimana  Ega menangis tersedu-sedu dan tak kunjung berhenti sebelum suara adzan berkumandang.

“Maafkan aku,” balas lelaki itu.

“Mas, tak pernah terpikirkan olehku bahwa putra dari teman baik ibuku adalah dirimu.”

“Ya, aku pun tak tahu,” ucap Faiz dengan pasrah, ia juga tak pernah memikirkan kemungkinan ini untuk terjadi. “Mengapa kamu melakukannya Mas?” Faiz masih tertunduk diam bingung harus menjawab apa.

Gadis itu melanjutkan ucapannya, “Kalian saling menyakiti, aku tahu betapa kamu mencintai Mbak Ega. Ibumu orang baik, dia pasti memahaminya jika kalian menceritakannya.”

“Tidak Ris. Aku tak bisa mengecewakannya. Mama, dia begitu bahagia ketika menyampaikan pertemuannya dengan ibumu dan perjodohan kita. Melihat senyumnya, aku tak tega jika harus membuat itu hilang dari wajahnya.”

“Kebahagiaanmu tak akan menyurutkan bahagianya Mas!” seru Risha sebelum Faiz berkata lirih.

“Mama sakit.”

“Ya?” Keterkejutan tergambar jelas di wajah manis Risha.

“Jantungnya lemah Ris. Terkadang sedikit syok bisa membuatnya pingsan. Melihatnya kembali terbaring di ranjang rumah sakit adalah hal terakhir yang ku inginkan.”

“A-aku tidak tahu ini serumit itu.”

“Rumit bukan? Aku sempat berpikir untuk meminta pendapat Ega, tapi ia bersedia melepasku.”

“Dia hanya menginginkan yang terbaik untukmu. Kamu juga tidak memintanya untuk mempertahankanmu Mas, dia tak bisa egois kecuali kau memintanya.”

“Kau benar, aku juga tidak tahu cara menolak keinginan Mamaku. Jadi, kumohon padamu... terimalah niat baik dari keluargaku untuk menjadikanmu sebagi menantunya,” tutur Faiz. Lelaki itu mengatupkan kedua tangannya dan membawanya sejajar dengan wajah tampannya.

Risha menatap nanar pemandangan di hadapannya, sebelumnya ia bahkan sudah memutuskan untuk menolak siapapun itu. Apalagi mengetahui lelaki itu Faiz membuat penolakan di hatinya lebih kuat dari sebelumnya.

Tetapi masalah ini menjadi lebih lebar dari yang ia kira. Logika mengarahkannya untuk memilih keputusan paling rasional dan meninggalkan urusan hati yang tak pasti. Nanti hati mungkin bisa berubah tapi keadaan sekarang tidak bisa membiarkannya ceroboh.

“Jangan libatkan aku dalam skenario terburuk ini Mas.”

“Kumohon Ris.” Ya Allah,  mengapa Mama Mas Faiz harus sakit?

Dari teras Barra memanggilnya, “Mbak jangan lama-lama!”

“Kumohon padamu Risha,” sekali lagi Faiz memohon.

“Baiklah,” dan kali ini Risha menyerah pada logika.

---------
Tbc.

Assalamualaikum...
Maaf kalau jadi kayak sinetron,  eaaa... 

AZALEATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang