24

1.4K 76 5
                                    

6 Januari, Raja Ampat

Selama dua malam El selalu mengakhiri usahanya untuk tidur di ranjang dengan terjaga dan berakhir terlelap di kursi kerja atau ruang baca. Untuk sementara tak ada yang curiga dengan hubungannya dan Risha, bahkan istrinya itu tak pernah mempertanyakan sikapnya. Risha sendiri memilih bungkam dengan alasan masuk akal, baginya tak membebani lelaki itu adalah pilihan terbaik untuk ia lakukan. Ia tak punya tuntutan khusus sebagai istri, yang diinginkannya hanya dapat diberi waktu selama mungkin untuk mencintai El sebagai suaminya.

Tadi malam mereka tiba di Sorong, Papua Barat dan menghabiskan beberapa jam berikutnya untuk sampai di Raja Ampat. Tepatnya di Raja Ampat Dive Lodge, Pulau Mansuar tempat mereka menginap untuk beberapa hari ke depan. Sepanjang perjalanan Risha takjub disuguhi pemandangan pulau dan karang yang indah walau diselimuti gelapnya malam. Masyaallah, begitu banyak keindahan yang Allah ciptakan di bumi ini, sudah sepantasnya jika manusia selalu bersyukur dengan semua pemberian yang begitu berlimpah.

Pulau Mansuar sendiri adalah salah satu dari empat pulau utama Raja Ampat. Pulaunya dikelilingi pantai pasir putih dan menurut penuturan pekerja yang mengantar El dan Risha ke kamar mereka, akan ada pasir timbul saat air laut sedang surut. “Mau lihat besok?” tanya El ketika mendengar info itu, yang dijawab dengan anggukan oleh Risha. Suatu fenomena alam yang terlalu menarik untuk dilewatkan, pikir Risha.

Setelah bangun tidur dan sholat subuh, El benar-benar mengajak Risha melihat pemandangan pasir timbul yang seperti pulau baru dibalut dengan hangatnya mata hari terbit. Sepanjang pagi El menghabiskan waktu untuk snorkelling, sedangkan Risha yang tidak mahir dalam berenang mengamati laut dari atas perahu yang mereka tumpangi. Setelah kembali ke penginapan mereka menghabiskan sisa siang itu dengan berbagi cerita seusai melaksankan dzuhur berjamaah.

“Bagaimana kamu bisa bekerja di tempat Mamanya Ethan?” itu pertanyaan pertama yang diajukan El pada Risha. Istrinya itu menceritakan semua hal yang berkaitan dengan pilihan pekerjaannya sekarang pada El. Kamael bahkan tak tahu jika Risha punya bakat sebagai ilustrator. Ia percaya setelah Risha berupaya membuktikan bakatnya dengan menggambar penginapan mereka di secarik kertas yang dibawanya. Setelah berbagi cerita dengan beberapa hal, Risha merasa hubungan mereka semakin membaik.

Seusai ashar, Risha menikmati pemandangan Raja Ampat di sore hari dengan hembusan angin sepoi-sepoi. Sepinya sore ini, menambah kebahagiaan Risha mengenai perkembangan hubungannya dan Kamael. Setelah kembali dari mencari makanan ringan, El segera menghampiri Risha yang tengah berdiri di jembatan kayu yang membentang sepanjang Dive Lodge. Merasakan kehadiran El di dekatnya, Risha menoleh dan tersenyum pada lelaki itu. “Aku belum pernah melihat yang seperti ini kak,” ungkapnya.

El membalas senyuman itu dan berdiri di samping Risha, sembari merapikan anak rambut yang muncul dari balik hijab istrinya itu. “Kamu belum pernah ke Bali?” Risha menggeleng untuk menjawab, ia tak pernah begitu tertarik untuk pergi ke tempat yang penuh dengan air karena tak handal dalam berenang. Risha juga bukan tipe orang yang gemar bepergian, bisa di bilang ke Jepang adalah pertama kalinya ia keluar dari pulau Jawa. Cukup jauh untuk percobaan pertama.

“Nanti aku ajak kamu ke Bali kalau ada waktu,” ucap El. Risha tersenyum dan menimpali, “Daripada ke Bali, aku lebih pengen umroh sama kak El.” Tangan suaminya membelai hijab Risha yang diterpa angin. Suaranya begitu lembut ketika mengucapkan kesanggupannya, “Itu juga, bukan hanya umroh kalau diberi kesempatan dan rejeki kita haji setelahnya. Mana lagi tempat yang pengen kamu datangi?”

Risha menatap El penuh haru, ia tak menyangka jika El akan menyanggupi permintaannya dan bahkan memikirkan lebih jauh setiap keinginannya. El tersenyum menatap istrinya yang mulai terbawa perasaan, harus diakuinya bahwa Risha termasuk seseorang yang sangat sensitif. Walaupun gadis itu sering menampakkan topeng datarnya ketika belum terbiasa akan sesuatu.

Ibu jari El membelai pipi Risha, memberikan perasaan bahagia sekaligus gugup pada diri wanita itu. “Katakan padaku apa yang kamu inginkan, aku akan berusaha memberikannya padamu Risha.” Seandainya Risha sempat menjawab, maka ia akan menyerukan kata cinta dengan lantang. Tapi ia tak sempat, kecupan lembut di bibirnya membuyarkan semua pikirannya hingga tak tersisa.

Ciuman pertamanya, memberikan desiran menyenangkan yang tak pernah Risha rasakan sebelumnya. Bukan hanya ia, Kamael juga merasakan hal yang sama. Sebuah perasaan baru yang memberinya dorongan untuk memiliki wanita di hadapannya seutuhnya. Wajah El berhenti beberapa senti dari wajah terkejut istrinya. El tersenyum dan kembali mengelus lembut pipi wanita itu. “Kirei...” bisik lelaki itu. Risha mengerti betul arti ungkapan dalam bahasa Jepang itu, cantik. Satu kata yang siap membuatnya terbang melayang.

Wajah Risha memerah sedemikian rupa, ia menatap El dengan tatapan malu yang begitu kentara. Kamael segera menyadari perbuatannya, ia menjauhkan tangannya dan memalingkan wajahnya. Risha mungkin akan tersinggung jika ia tidak melihat telinga lelaki itu yang memerah karena malu. Ia tersenyum menyadari suaminya juga merasakan kegugupan yang sama. Ini momen yang pertama untuk mereka, kenangan menyenangkan yang harus ia rekam baik-baik dalam ingatannya.

El berdehem, “Ehm... kurasa sebaiknya kita masuk buat nunggu adzan maghrib. A-angin, iya anginnya nggak baik buat tubuh. Nanti kamu masuk angin.” Ia gelagapan sendiri ketika mencoba mengalihkan pembicaraan. Risha terkekeh geli, harusnya disini dia yang paling gugup. Tapi dia merasakan kebahagian luar biasa yang menutupi rasa gugupnya. Suaminya sudah sedikit membuka diri padanya, ada kemungkinan baginya untuk bisa menggapai lelaki yang sebelumnya tak terjangkau itu.

“Kak, masih jam lima. Aku mau lihat sunset.” El menyadari alasannya memang tak masuk akal. Tapi Risha seharusnya paham dengan kegugupannya, lagipula seharusnya Risha juga merasakan kecanggungan yang sama. “Sunset itu waktunya dzikir, bukan dilihatin Ris.” Risha menatapnya memelas, “Kan aku belum pernah liat kak... jadi liatnya sambil dzikir ya?”

El menghembuskan nafas dan mengiyakan ajakan Risha untuk mengamati matahari terbenam. “Oke, asalkan kalau udah makin nggak kelihatan mataharinya kita cepet-cepet balik ke kamar.” Risha tersenyum senang, ia tak menyangka El bahkan akan menemaninya. Bukankah itu romantis? Melihat langit senja bersama seseorang yang halal. Tak ada yang lebih menyenangkan dari predikat halal!

Dengan senang Risha menggandeng tangan El dan menyandarkan kepalanya di pundak lelaki itu. Tingginya yang hanya sebatas pundak tak membuat kenyamanan bersandar di sana berkurang. Risha bahkan tak menyadari ketika dengan spontan tubuh suaminya menegang. El membeku, menyadari kedekatannya dengan Risha kembali menimbulkan detak jantung yang lebih cepat. Bahkan sekarang lebih cepat dari sebelumnya. Apa jantungku nggak normal?, pikir El.

Tapi bukannya panik seperti sebelum-sebelumnya, kali ini desiran itu menimbulkan kenyamanan. Tubuh El yang semula kaku, perlahan mulai rileks seiring elusan lembut di lengannya. “Kak terimakasih,” ucap Risha yang mengundang kerutan bingung di kening El.

“Untuk apa?” Risha mendongakkan kepalanya untuk menatap El. Ia tersenyum, “Terimakasih karena sudah memperlakukanku dengan baik.” Kamael tidak bisa membalas senyuman tulus itu. Ia tak cukup baik pada Risha, ia tahu itu. El belum melakukan apa pun, ia bahkan belum bisa membalas perasaan wanita ini. Tapi mengapa Risha begitu pemurah? Apa yang sudah kulakukan hingga layak mendapatkannya Ya Allah?

AZALEATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang