18

1.2K 80 7
                                    

31 Desember, Jakarta

Risha dan kedua orang tuanya duduk di karpet yang digelar di ruang tamu. Ruang tamu yang sebelumnya diisi dengan meja dan kursi sekarang sudah tampak lenggang dengan hanya satu meja pendek yang ada di tengahnya, rencananya meja itulah yang akan menjadi saksi bisu akad esok hari. Karpet berwarna merah senada dengan taplak yang menyelimuti meja di ruangan itu membentang dari satu ujung ruangan ke ujung lainnya.

Suasana di ruang tamu tampak tegang, Ibu Risha gelisah menunggu seseorang untuk datang memastikan nasib pernikahan putrinya. Sedangkan ayahnya sempat berang mendengar apa yang terjadi dari Risha. Bagaimana pernikahan dipermainkan begitu saja, ia tak peduli siapa yang salah dalam hal ini. Baginya hanya satu hal yang ia permasalahkan, martabat anak perempuannya sedang dipertaruhkan.

Apa pandangan orang setelah jika seorang wanita gagal melaksanakan pernikahannya saat tinggal menunggu esok hari. Pasti lelaki akan berpikir dua kali untuk meminangnya, bagi ayah Risha saat ini tak ada yang lebih penting dari menyelamatkan status putrinya. Apapun yang dikatakan keluarga Faiz akan ia terima, asalkan putrinya bisa mempertahankan martabatnya di masyarakat.

Tak ada yang berbicara di antara ketiga orang itu, mereka terlarut dalam pikiran masing-masing. Ibunya melarang Barra untuk ikut berada disini, ia tahu betul anak lelakinya itu masih sering terbawa emosi jika menghadapi masalah yang berkaitan dengan kakaknya.

Risha mulai merasa kakinya kesemutan karena terlalu lama duduk dalam keadaan tegang. Perlahan tapi pasti rasa aneh kesemutan merayap dari telapak kakinya menuju betisnya yang diselimuti rok panjang berwarna hitam. Kesemutan itu bertambah parah ketika terdengar suara deru mobil dari halaman depan.

Beberapa saat yang lalu kesemutan Risha menghilang setelah digunakan berdiri untuk menyambut Faiz dan kedua orang tuanya. Namun, kehengingan di ruangan itu tak kunjung menepi walaupun Faiz dan keluarganya telah duduk di hadapan mereka.

Faiz yang pertama kali membuka suara, seperti sebagaimana mestinya."Maafkan saya. Om, tante, saya tidak bisa melanjutakan rencana pernikahan... dengan Risha. Maafkan saya. Saya mencintai orang lain dan wanita itu sedang membutuhkan saya saat ini."

"Risha sudah mengatakan semuanya pada kami. Apa kamu tahu yang kamu lakukan tidak bisa dibenarkan? Kamu mempertaruhkan martabat anakku untuk mendapatkan cintamu!" Wajah Tsani seketika memucat mendengar pernyataan dari suami sahabatnya itu.

"Mas...," Ratri mencoba menenangkan suaminya. Faiz meremas tangannya sendiri, "Perlakuan saya memang salah, untuk itu sekali lagi saya mohon om, tante, dan Risha... saya mohon maafkan saya."

"Aku bisa memaafkanmu nak, tapi bagaimana dengan anakku?" Risha tak berani mengatakan apapun, ia tahu saat ini ayahnya sedang sangat kecewa.

"Maafkan kami, Rat..." ucap Mama Faiz lirih. Wanita itu sudah meneteskan air matanya tanda bahwa dirinya menyesal, "Aku tidak bisa mengerti perasaan putraku sendiri, maafkan aku..." Faiz terenyuh melihat Mamanya kembali menangis, menangis akibat kebodohannya.

Papa Faiz yang berusaha menenangkan istrinya kini ambil suara, "Kami akan menebus kesalahan kami, Risha tak akan kami biarkan kehilangan martabatnya. Keluarga kami akan mengambilnya menjadi menantu."

"Apa maksudmu?" tanya Ibu Risha.

"Kita tak perlu membatalkan pernikahan ini. Jika Risha menyetujuinya, putra dari Rani akan menikahinya," sambung Ramdhan.

Seisi ruangan kembali hening. Ayah dan ibu Risha menatap anak gadis mereka, berharap putri mereka mau melanjutkan pernikahan ini. Risha yang ditatap hanya bisa pasrah, ia sendiri bingung harus bagaimana. "Apa putra kak Rani benar-benar bersedia melakukannya?" tanya Ibu Risha.

"Ya, dia sendiri yang menginginkan pernikahan ini terjadi. Tunggulah sebentar lagi, mereka sedang dalam perjalanan kemari."

--@@--

Setelah menunggu beberapa saat suara mobil kembali terdengar di depan rumah Risha, diikuti dengan dentuman pertanda bahwa pemiliknya keluar dari mobil itu. Jantung Risha berpacu seiring sosok yang ia lihat mendekati pintu rumahnya. Perempuan itu membatu dalam duduknya.

Saat sosok itu tiba dihadapan orang tuanya dan mengucap salam, tak sepatah kata pun Risha ucapkan akibat lidahnya yang kelu. Pandangannya masih terpaku, memorinya kembali terserap di saat terakhir ia melihat pria itu. Pria itu tak banyak berubah, yang ada hanya ia tampak lebih berwibawa.

"Saya Kamael Zayyan, sepupu dari Faiz. Saya datang kemari sebagai bentuk keinginan saya untuk menikahi putri Bapak dan Ibu."

Risha tak percaya pada pendengarannya, ia bahkan tak yakin apakah sekarang ia sedang tertidur dan hanya bermimpi. Tenggorokannya tiba-tiba terasa kering, tak ada kata yang mampu terucap dari bibirnya.

"Apakah kamu serius dengan ucapanmu?" tanya ayah Risha pada lelaki yang ada dihadapannya.

"Saya sangat serius untuk menikahi anak Bapak," tegas El kepada semua ornag yang ada di ruangan itu, terutama pada perempuan yang sekarang tengah duduk tak berkutik di tempatnya.

"Aku mengijinkanmu menikahinya asal kamu berjanji tak akan meninggalkannya."

"Saya tak akan meninggalkan seseorang yang berada dalam tanggung jawab saya," El menatap Risha yang membelalakkan matanya lebar. "Tu-tunggu, ayah, aku... aku..." Risha gelagapan, ia berusaha mengatakan apa yang saat ini ada dalam pikirannya.

"Bisakah saya bicara denganmu sebentar Ris?" Risha dibuat kaget dengan perkataan lembut dari pria itu. "Ya?"

"Bicaralah sebentar dengannya dan putuskan apa yang kamu rasa terbaik untukmu," ujar Ibu Risha pada anaknya.

Risha pergi arah ruang makan diikuti El dibelakangnya. Gadis itu masih berusaha mengumpulkan separuh kesadarannya akibat kejadian mengejutkan yang dialaminya. Mereka berhenti di ruang makan untuk berbicara. Risha menatap El penuh dengan berbagai rasa.

"A- apa yang kakak lakukan disini?" tanya Risha sambil menatap El penuh tanya. "Aku datang untuk memintamu menikahiku."

"Bagaimana bisa? Bagaimana bisa kak El menikahiku? Bu-bukannya kakak di Jepang?" Risha menatap nanar lelaki yang ada di hadapannya. Mata coklat lelaki itu masih terlihat seterang dulu, masih pula sedingin dulu.

"Aku pulang beberapa minggu yang lalu. Dan aku akan menikahimu demi keluargaku. Kamu harus setuju, demi keluarga kita."

"Menikahiku saat kakak tak mencintaiku? Untuk apa kamu melakukannya hanya demi keluargamu?"

"Bagiku tak ada alasan yang lebih baik dari menjaga kehormatan keluargaku. Menikahlah denganku! Itu yang terbaik bagi keluarga kita." Risha tak mengerti mengapa alasan itu begitu menyakitinya.

"Tapi kau tak mencintaiku!" seru Risha pada El.

"Bukankah kamu masih mencintaiku?" pertanyaan El membuat Risha gemetar marah. Apa-apaan lelaki ini, pikirnya. "Lalu apa jika aku masih mencintaimu?"

"Maka itu cukup bagi kita untuk menikah. Aku tak seperti Faiz yang sudah mencintai wanita lain, jadi kau tak perlu memikirkannya." Pernyataan macam apa itu?, batin Risha.

"Kak, kamu tak perlu bertanggung jawab akan pernikahan ini. Sedari awal bukan kamu yang datang untuk melamarku," tutur Risha lemah. Gadis itu sudah terlalu lemah untuk berargumentasi karena hatinya masih terlalu rapuh untuk lelaki ini.

"Jika begitu anggaplah, aku melamarmu melaluinya. Kamu tahu betul yang terbaik untuk keluarga kita. Terimalah aku, menikahlah denganku dan jadilah istriku," tegas El pada perempuan di hadapannya.

El mungkin tak tahu isi hati Risha, tapi wanita itulah yang selalu berdoa dan bermimpi hal ini terjadi. Tak mungkin bagi Risha untuk menolak sesuatu yang selalu ia harapkan. Bagi Risha ajakan El terlalu menggiurkan. Hingga batinnya berkata mungkin memang seperti ini takdir yang telah ditetapkan Allah untuk ia lalui.

"Baiklah, aku terima." Risha hanya perlu kembali berjuang untuk membuat El mencintainya.

Namun tanpa mereka sadari ada sebuah rasa yang mulai tumbuh sejak dahulu. Rasa yang tak disadari pemiliknya sendiri hingga tak terlihat oleh orang lainnya.

AZALEATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang