22

1.4K 86 1
                                    

2 Januari, Jakarta

Hari sudah mulai sore ketika Risha sampai di rumah bersama mertuanya. Tadi, mereka keluar untuk pergi berbelanja bersama dengan kakak ipar Risha yang telah pulang ke rumahnya beberapa saat yang lalu. Sayangnya El memilih untuk tinggal di rumah karena ada beberapa urusan yang harus ia kerjakan.

Awalnya hari ini Risha ingin menjenguk ayah Ega, tetapi saat telfon kemarin Ega mengabarkan bahwa ayahnya sudah siuman dn Risha tak perlu khawatir lagi. Banyak hal yang mereka bicarakan, termasuk permintaan maaf Ega untuk tidak menghadiri pernikahan Risha. Ia juga tak henti-hentinya meminta maaf atas keputusan Faiz yang memilih untuk tidak melanjutkan rencana pernikahannya.

Risha sudah mengatakan berkali-kali pada Ega bahwa ia ikhlas dan bahagia dengan pernikahan ini. Ega bahkan terkejut saat tahu siapa ternyata sepupu Faiz yang menikahi Risha. Ia sama terkejutnya dengan teman-teman Risha yang lain. Tak ada yang menyangka kebetulan seperti ini bisa terjadi. Tetapi, jika Allah sudah berkehendak maka apa yang tidak mungkin?

Setelah meletakkan barang belanjaannya, Risha memutuskan untuk pergi ke kamarnya. Di dalam kamar, El terlihat sibuk dengan laptop di hadapannya. El menatap Risha saat istrinya itu memasuki kamar. "Udah pulang?" tanya lelaki itu. Risha menatap suaminya dan tersenyum, apa salaman dulu sama kak El? pikirnya. Namun niatan itu diurungkannya.

"Iy-iya," jawab Risha gugup. Ia tak tahu mengapa selalu gugup jika berhadapan dengan El. Apa semua orang yang mencintai gugup di hadapan orang yang dicintai?

Risha berjalan ke arah kopernya , di dalam sana ada beberapa buku dan barang lain yang belum ia tata. Salah satunya adalah mahar dari suaminya yang masih ada di dalam koper. Padahal sebelumnya Risha akan mengambil buku yang belum ia baca, namun melihat mahar itu membuatnya kembali memikirkan berbagai pertanyaan yang dia pendam untuk Kamael.

"Kak?" Mendengar panggilan dari istrinya, El menoleh untuk menatap wanita itu. "Kenapa?" El pikir Risha akan bertanya tentang persiapan mereka untuk keberangkatan ke Raja Ampat, tapi ternyata wanita itu menanyakan sesuatu yang membuat El ingin tertawa. "Kak El kenapa kasih aku mahar mahal banget?"

"Kamu nggak suka?" bukannya menjawab El malah balik bertanya pada istrinya yang masih memegangi kotak-kotak beludru berbagai ukuran di kopernya. "Suka, suka banget tapi... apa nggak kebanyakan?" El mendekati istrinya itu.

"Tidak, karena aku memberikannya dengan ikhlas. Seperti yang diajarkan Rosulullah, memberi mahar itu sebanyak yang kita mampu. Aku bekerja dan aku mampu memberimu ini, lalu kenapa tidak? Aku memberikannya padamu, jadi gunakan untuk apa pun yang kau mau." Risha tersenyum mendengar penuturan dari suaminya.

"Daripada memikirkan mahar, kenapa kita nggak bahas masalah liburan nanti?" lanjut El. Risha menepuk jidatnya, baru ingat kalau dua hari lagi ia dan El akan pergi ke Raja Ampat. "Kak El mau emangnya?" tanya Risha dengan nada antusias.

El menaikkan alisnya, "Kenapa enggak?" Risha langsung tersenyum sumringah. "Jadi kak El mau?" El menganggukkan kepala untuk menjawab istrinya itu.

"Kalau begitu aku minta cuti lagi ke kantor!" kata Risha sambil secepatnya mengambil ponsel untuk menghubungi kantor. El duduk di tepian ranjang sambil mengamati istrinya yang sibuk berpikir bagaimana caranya meminta cuti lagi. Istrinya itu sangat lucu ketika sedang berpikir.

Tadi malam ia bahkan tak tega untuk tidur di samping wanita itu. Entah mengapa perasaan itulah yang muncul saat melihat wajah terlelap Risha dan rambut panjang bergelombangnya yang tak tertutupi hijab. Ia tak tega untuk sekedar terlelap di samping wanita itu, saat dirinya sendiri masih bimbang dengan perasaannya.

El sudah mencoba berbaring di samping Risha, namun ia berakhir terjaga menatap wajah istrinya yang terlihat manis saat terlelap. Kala itu detak jantungnya yang berubah tak beraturan, membuatnya semakin gelisah dan berakhir tidur di ruang baca. Tapi tidak mungkin baginya untuk terus menghindari Risha.

Cepat atau lambat ia harus memastikan perasaannya.

--@@--

Seusai isya' Risha menuju kamarnya, di sana ia menyibukkan diri melihat tutorial editing di youtube sambil menunggu El datang. Sebenarnya dia ragu apa suaminya itu mau tidur di kamar atau malah tidur entah dimana seperti kemarin. Menatap layar ponsel selama hampir satu jam membuat matanya lelah.

Diletakkannya benda berbentuk segi empat itu diatas nakas. Risha sudah lelah mencoba menunggu El datang ke kamar mereka, ia memutuskan untuk berbaring dan tidur. Posisinya memunggungi pintu dan pandangannya ia layangkan ke arah rak buku milik El yang sekarang juga terisi beberapa buku miliknya. Matanya enggan untuk terpejam selagi pikirannya berkelana. Apa yang akan terjadi pada kehidupan rumah tangganya kelak?

El terlalu jauh bagi Risha, sesuatu yang tak pernah ia bayangkan dapat dijangkaunya. El adalah cintanya yang penuh harapan, namun telah pupus seiring dengan penolakan. Bagi Risha menikahi pria itu serasa bagai mimpi di tengah tidur panjang yang hampa. Tapi nyatanya Allah pertemukan mereka dalam suatu ikatan, yang bagi Risha pantang untuk diputuskan.

Sudah dua hari ia menyandang status sebagai istri, tapi tak ada tindakannya yang mencerminkan dirinya memiliki status itu. Risha kembali mempertanyakan mengapa lelaki itu menikahinya? Atau pertanyaan lain seperti, apa pria itu sudah berpikir untuk menceraikannya? Atau pun harapan kosong seperti, bagaimana jika sebenarnya Kamael mempunyai perasaan yang sama dengannya?

Sepertinya ia terlalu banyak membaca novel roman dengan akhir bahagia, hingga berharap penolakan lelaki itu dulu sebagai langkah awal bagi Risha untuk memiliki hatinya. Air matanya menolak berkompromi ketika tanpa sadar ada bulir yang menuruni pipinya dan menimbulkan rasa asin ketika berlabuh di bibirnya.

Suara pintu yang terbuka membuatnya memejamkan mata erat tanpa sempat menghapus sebagian air mata yang tersisa di pipinya. Langkah kaki samar mendekati ranjang, seperti kemarin El mencoba untuk berbaring di ranjang yang sama dengan istrinya. Selama ini ranjang itu tak pernah memberikan masalah tidur padanya, namun sejak kemarin semuanya berbeda. Mungkin bukan karena ranjang, tetapi karena ada orang lain yang ikut berbagi tempat berbaring bersamanya.

"Hahh" suara helaan nafas El terdengar di telinga Risha. Kata orang memiliki istri adalah suatu sensasi yang membahagiakan, berbaring bersama orang yang dicintai akan jadi sesuatu yang begitu bermakna. Tapi bagi El itu amat menyiksa, tiap ia berhadapan dengan Risha dadanya terasa berat dan sesak oleh rasa yang bercampur tak sempurna. Banyak sekali rasa tertahan dalam dirinya. Ia tak pernah berhubungan dengan wanita manapun, itulah yang membuatnya sulit memahami setiap perasaan yang begitu asing yang timbul begitu ia mengenal Risha.

Perasaan baru yang berusaha ia tahan untuk menjaga diri, ternyata malah menjadi bumerang untuknya sendiri. Sekarang ia sudah menikahi wanita ini, tapi begitu sulit baginya untuk memahami perasaannya sendiri dan membahagiakan seseorang yang menjadi tanggung jawabnya. Berdosalah ia jika tak berhasil membuat istrinya merasa tentram. Menyikapi sesuatu tidak semudah teori-teori berumah tangga yang selama ini ia pelajari. Dalam dunia medis hal itu juga berlaku, namun tak serumit perasaan. Bukan Risha yang salah, bukan. El tahu betul letak kesalahan ada pada dirinya.

Harusnya ia tak menikahi wanita ini jika tak siap menghadapi resikonya, lagipula agendanya dalam waktu dekat bukanlah menikah tapi membangun rumah sakit gratis untuk masyarakat kurang mampu. Tetapi emosi terlalu menguasainya ketika Faiz menyebutkan nama gadis itu sebagai calon istrinya. Instingnya tak merelakan lelaki lain memiliki wanita itu, seharusnya ia tahu ada alasan khusus dibalik insting yang terkesan primitif itu. Sayangnya El terlalu dungu jika menyangkut sesuatu yang berkaitan dengan perasaan.

Risha yang masih berusaha terlelap dikagetkan dengan sentuhan lembut di kepalanya. Tangan besar El mengelus rambut panjang istrinya, "Maaf." Satu kata dengan sejuta makna yang membuat Risha ingin berbalik dan memeluk lelaki itu. Risha tak perlu permintaan maaf, ia tak butuh itu. Cintanya pada El terlalu besar untuk mengijinkan permintaan maaf keluar dari bibir suaminya itu.

Risha begitu mencintai Kameal, saat itu ia sadar mungkin cintanya saja cukup bagi mereka berdua. Cukup untuk mempertahankan pernikahan ini.

AZALEATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang