11

1.3K 65 3
                                    

Sekarang

3 November, Jakarta

Risha menatap lalu lalang kendaraan di jalanan Jakarta yang memadat dari balik jendela TransJakarta yang tengah melaju. Dia bingung, mengapa mereka tak memilih menggunakan transportasi umum yang memiliki jalur khusus dan anti macet. Sesuatu yang tidak efisien menurutnya.

Sayangnya pikiran Risha terlalu kacau untuk sekedar memikirkan sifat warga Jakarta. Sepulang dari Jepang kemarin ia mendapatkan kejutan istimewa dari kedua orang tuanya. Bagaikan tertimpa durian runtuh, Risha mendapat sesuatu yang diinginkannya selain bepergian ke Jepang. Ya, dia dijodohkan.

Ibunya yang anti perjodohan karena takut nasib anaknya seperti Siti Nurbaya, tiba-tiba menjodohkannya dengan salah seorang anak dari sahabatnya. Sesuatu yang selalu diinginkan oleh Risha akhirnya didapatnya. Tapi bukannya bahagia, hatinya malah gundah dan dipenuhi dilema.

Dia tak yakin bahwa hatinya bisa menerima seorang lelaki sebagai pendamping hidupnya, ketika hati itu sudah penuh terisi oleh satu nama. Pantaskah ia yang penuh cela ini untuk seseorang? Ya Allah pantaskah aku untuk orang ini? Bagaimana caraku untuk menghilangkan rasa ini Ya Rabb...

--@@--

Kembali ke aktivitasnya sebagai pekerja kantor yang menghabiskan sebagian besar waktunya duduk di kursi serta mengotak-atik aplikasi di komputer. Bukan karena ia pegawai yang tak kompeten, tapi karena hari ini Risha sedang tak ada pekerjaan. Semua sisa tugasnya ia selesaikan untuk mengalihkan pikirannya yang sedang kacau.

Dering ponsel menghentikan kegiatan jemarinya dari menekan tombol draw dan erase. Risha melihat nama yang tertera pada layar ponselnya, sebelum menekan tombol hijau pada layar itu.

“Hallo, assalamualaikum.” Suara wanita di seberang sana terdengar lemah. Berbeda dari Ega yang biasanya terdengar lembut, kali ini suaranya terdengar rapuh.

“Waalaikumsalam, kenapa Mbak?” nada cemas sangat kentara dari suara Risha.

“Kamu udah pulang dari Jepang kan?”

“Udah mbak, dari tiga hari kemarin.”

“Loh.... Kenapa nggak bilang?”

“Emm, masih banyak kerjaan mbak. Sekarang udah selesai.”

“Ohhh, kalau begitu ayo ketemuan. Ada yang ingin ku ceritakan.”

“Oke mbak, nanti pulang kerja aku ke tempat mbak.”

“Iya, aku tunggu. Ya udah kamu balik lagi kerjanya.”

“Mbak ada masalah? Cerita sekarang aja nggak apa-apa kok.”

“Nggak, nggak apa-apa. Nanti saja aku ceritakan. Gitu aja ya, wassalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

Sambungan telepon terputus dari seberang. Sebenarnya Risha tak yakin dirinya bisa banyak membantu, melihat kekacauan pikirannya saat ini. Tapi ia tak bisa membiarkan Ega sendirian di saat gadis itu membutuhkannya. Memikirkan apa masalah yang sedang dihadapi Ega membuat kepalanya berdenyut.

Denyutan itu mengingatkannya pada Minggu nanti, hari yang ditetapkan sebagai hari lamaran. Dimana calon mempelai pria akan datang bersama anggota keluarganya ke rumah si mempelai wanita. Ia tak sanggup memikirkan betapa cepatnya semua ini terjadi.

Menurut rencana orang tuanya, jika semua berjalan lancar ia akan menikah Januari awal nanti. Dua bulan lagi tahun berganti dan statusnya pun akan berganti. Hatinya juga akan dimiliki. Namun, sanggupkah dia untuk menggati pemilik hatinya?

--@@--

Saat tiba di depan rumah Ega, Risha sudah melihat wanita itu menunggunya teras. Mendengar salam dari Risha, Ega yang semula melamun segera memfokuskan pikirannya dan menjawab salam itu. Ia segera berdiri dari duduknya dan mempersilahkan Risha untuk masuk langsung ke ruang keluarga.

Ega pergi ke dapur terlebih dahulu untuk membawa beberapa minuman dan camilan, meninggalkan Risha sendirian di tengah ruang keluarga yang luas. Risha ingat dulu ada banyak tawa di sini. Kakak dari Ega sekarang sudah menikah dan memutuskan tinggal bersama suaminya yang dinas di luar Jawa. Sedangkan ayah Ega sibuk mengurusi restoran setelah kepergian istrinya.

Risha sering dicurhati Ega betapa keras kepala ayah wanita itu. Ayah Ega tak mau diminta berhenti bekerja, walaupun putrinya mati-matian memintanya berhenti. Risha hanya bisa mendengar dan meminta Ega untuk sabar, ia tahu kehilangan sesuatu yang pernah dimiliki memang sulit.

Dan butuh sesuatu yang menyibukkan sebagai pengalihan dari rasa sedih akibat kehilangan. Risha sudah banyak melihat banyak orang yang berlarut dalm kesedihannya. Ada yang tetap terpuruk dan ada yang memutuskan untuk bangkit. Beruntungnya orang-orang di sekitarnya adalah orang yang kuat dan bersedia untuk bangkit.

Ega datang dengan membawa nampan berisi dua gelas teh dan camilan. Ia duduk di samping Risha setelah nampan di meja. Risha menunggu Ega untuk berbicara, namun bukannya membuka mulut Ega malah menekan tombol power dari remote untuk menyalakan tv di depan mereka.

“Jadi nggak mbak ceritanya?” tanya Risha.

“Hmm... bentar.” Dari sudut matanya Risha melihat mata Ega mulai berair.

“Heh mbak... mbak kenapa?” Risha menghadapkan badannya pada Ega dan memegang lengan wanita itu.

“Ris... Faiz dia, dia akan dijodohkan.”

“Hah? Kok, kok dia mau dijodohin? Dia kan punya janji sama mbak!”

“Aku, aku yang melepasnya.” Risha berdiri dari duduknya. Ia merasakan ketegangan di sekujur tubuhnya, amarah membakarnya melihat orang yang ia sayangi kembali tersakiti.

“Kenapa mbak?! Kenapa mbak mau?” nadanya naik untuk memperingatkan Ega. Sedangkan Ega masih mencoba menahan agar air matanya tak jatuh.

“Dia itu anak yang berbakti. Ibunya inginkan itu, maka itu yang terbaik untuknya.”

“Terbaik apanya! Dia mencintaimu! Bagaimana bisa dia menerima perjodohan dengan wanita lain ketika dia mencintaimu?” Risha tersadar ucapannya itu menampar dirinya sendiri.

Keheningan menyapa mereka saat Risha berusaha mengontrol pikirannya dan Ega yang mencoba mengontrol air matanya. Sayangnya Ega tak berhasil melakukannya tatkala air mata mulai turun ke pipi tirusnya.

“Kalian saling mencintai. Bujuk ibunya, ibunya pasti mengerti bahwa kalian saling mencintai,” lanjut Risha sambil mendekati tempat di samping Ega dan merengkuhnya di sana.

“Aku tak bisa Ris, aku sendiri tak yakin bahwa diriku pantas untuknya. Aku tak memiliki hak untuk memiintanya memilihku dibandingkan melaksanakan permintaan ibunya.”

“Tapi ini salah kak, kalian hanya akan saling menyakiti. Dan akan ada hati lain yang tersakiti dengan keputusan kalian.”

Ega hanya bisa menatap Risha sendu. Air matanya semakin deras seiring waktu berlalu, ia merasa kalah. Ia kalah telak dalam pertarungan ini. Ega terlalu lemah untuk bisa berdiri kokoh dan meminta apa yang dia inginkan.

Mana mungkin dirinya lebih berharga dari seorang ibu yang doanya bisa menembus pintu langit.

Itu tak mungkin, sekarang hanya berserah diri kepada Allah yang bisa dilakukannya. Setiap orang punya jalan tersendiri untuk mencintai. Pengorbanannya adalah bentuk cintanya untuk Faiz, betapa ia ingin lelaki itu mendapat ridha-Nya melalui tangan sang Ibu.

Sedangkan Risha merasa kalah dalam pergolakan batinnya. Ia tak mungkin memaksakan keyakinannya untuk selalu memperjuangkan cinta pada wanita ini. Ega terlalu lembut untuk keras sepertinya.  Tapi ia hanya ingin orang yang disayanginya bahagia. Dipeluknya Ega erat, lebih erat dari sebelumnya. Hal itu membuat isakan Ega semakin kencang. Kekecewaan yang dipendamnya muncul ke permukaan tanpa bisa ia kendalikan.

“Aku kecewa Ris.”

“Iya aku tahu, tak apa kecewa.”

Untuk sekarang Risha akan pendam masalahnya untuk dirinya sendiri. Nanti, nanti jika sudah terasa terlalu berat akan ia ceritakan.

---------------
Tbc.

Selmat membaca (* ̄︶ ̄*)

AZALEATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang