1 | -MAAF-

1.4K 19 4
                                    

Udara dingin di kota kecil di pegunungan masuk menusuk kulit putih gadis yang sekarang sedang menatap pesawahan hijau dengan sesekali menyesap kopi hitam hangat yang di buatnya. Dia menghela nafas panjang tanpa sadar.

Melihat langit biru yang mengingatkannya pada seseorang yang telah lama dia abaikan. Dia tersenyum kecil, namun kecut yang dia rasa. Mengingat kembali peristiwa-peristiwa lalu yang dia lalui dengan menunggu dan menghabiskan waktu hanya untuk satu orang yang kemudian dia abaikan.

Dia kembali menyesap kopi hitam yang dibuatnya. Pahit. Sama dengan rasa hatinya saat ini. Tak mengira bahwa keputusannya untuk pergi ternyata tak semudah saat dia memikirkannya. Hari-hari yang dulu dilalui duduk berdua, kini harus dia jalani berdiri seorang diri.

Dia terkekeh kecil menertawakan kebodohannya. "Tak semudah yang aku kira ternyata. Jika begini, lebih baik aku menunggu dan duduk sendirian di cafe hanya untuk melihat satu orang asing yang melintas di trotoar seberang jalan." Dia terkekeh kecil sekali lagi.

Dia merogoh benda pipih kecil yang terselip di kantung jaket tebalnya. Menggenggam tanpa niat untuk menggunakan benda itu. Menatap layarnya dengan tatapan datar. Ada sebersit niat untuk mencoba menghubungi seseorang yang menjadi alasan untuknya pergi. Namun seketika buyar mengingat rasa kecewa yang sudah terlanjur membekas.

"Setelah sekian lama, apakah kamu masih tak berani berbicara denganku?" Dia berbicara pada pantulan dirinya sendiri yang terlihat di layar, kemudian terkekeh kecil. "Kamu masih sama saja." Dia berdecih dan memasukkan membali benda pipih itu ke dalam sakunya. Menyesap sekali lagi kopi yang semakin dingin, mengikuti udara yang juga semakin dingin.

Matahari mulai memasuki waktu senja. Warna jingga tersebar di langit cerah sore itu. Seorang laki-laki melihat pemandangan menakjubkan itu dari gedung kantor di pusat kota. Membiarkan cahaya jingga mengenai wajahnya.

Dia memejamkan mata, menghirup udara dalam ruangan kerjanya. Aroma lavender, cukup untuk menenangkan pikirannya dari setumpuk pekerjaan yang harus dia selesaikan.

Dia tersenyum kecut. "Lavender memang menenangkan pikiranku. Tapi tidak dengan hatiku." Dia menghembuskan nafas panjang, berbalik dan kembali duduk di kursi kerjanya.

Dia mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja. Menghidupkannya dan tersenyum kecil. "Jam segini seharusnya aku berjalan di trotoar itu kan?" tanyanya pada diri sendiri.

Jarinya bergerak membuka aplikasi penyimpanan nomor telefon. Gerakannya berhenti ketika dia berhasil menemukan satu nama yang telah memutuskan pergi dari hidupnya.

Ditatapnya lama nama itu. Jarinya bergerak untuk menghubungi nama tersebut, namun seketika terhenti ketika dia tersadar apa yang sudah dia lakukan. Dia mematikan layar dan meletakkan ponsel itu dengan kasar.
Rasa bersalah masih saja memenuhi dirinya walaupun dia yakin pasti orang itu telah memaafkannya, namun dia masih yakin rasa kecewa di hatinya tak bisa terhapuskan.

Dia mengacak rambutnya frustasi. Berteriak tak memperdulikan pandangan karyawannya. Lalu tertunduk lesu menyesali apa yang sudah dia lakukan. "Maaf." Dia bergumam lirih yang hanya bisa terdengar olehnya sendiri.

-uw-

Tanpa NamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang