"Ha....lo?" Aku mengucapkannya dengan suara yang pelan, sangat pelan.
Akhirnya, setelah begitu banyak panggilan yang tak dijawab olehnya, dia menjawab panggilan dariku meski pada deringan terakhir.
"Kamu di sana kan?" Tanyaku memastikan karena tak ada balasan sama sekali dari seberang sana. Bahkan suara hembusan nafas pun tak terdengar. Tak ada suara sama sekali yang aku dengar.
"Tak apa jika kamu tak mau berbicara. Aku tau kamu pasti bisa mendengar suaraku." Aku tersenyum kecut meski seseorang di seberang sana tak bisa melihatnya, ini hanya untuk sedikit menghibur diriku. Tapi entah kenapa, rasanya sangat sesak dan menyakitkan.
"Tolong dengarkan aku." Ucapku memohon. "Mungkin ini menjadi yang terakhir. Jadi tolong, dengarkan aku." Aku masih memohon, meskipun aku tau setiap kata yang aku ucapkan sudah tak pantas untuk didengarkan lagi.
Aku memejamkan mata, seketika semua yang kulakukan kembali berputar di ingatan. Aku mengingat dengan jelas bagaimana wajah kecewanya. Bagaimana dia pergi dengan seluruh luka yang aku torehkan. Bagaimana raut menyesalnya karena pernah mempercayakan hatinya untukku.
Semua kenangan itu kini menancapkan rasa bersalah yang semakin dalam pada diriku.
Aku menarik nafas dalam, mengisi paru-paruku dengan oksigen sebanyak mungkin. Berharap dengan seperti itu rasa sakit yang menusuk juga terusir pergi. Tapi yang ada, rasanya semakin menusuk.
"Maaf." Ucapku sambil menundukkan kepala dalam. Satu tanganku yang terbebas menekan dadaku kuat, rasa sesak ini begitu menyakitiku. Apalagi dia, pasti dia merasakan sakit yang lebih dalam lagi.
"Maaf. Maaf. Maaf." Aku mengucapkan kata maaf berulang-ulang. Sebanyak apapun aku mengucapkannya, rasanya masih belum cukup untuk menebus kesalahan yang telah aku perbuat. Aku menekan dadaku semakin kuat, rasanya sesak ini terus bertambah saja.
"Aku minta maaf." Ucapku lagi dengan nada penuh kesakitan atas segala penyesalan.
"Terlambat." Aku membulatkan mata begitu mendengar suara dari seberang sana. Suara yang sangat aku kenal. Suara yang biasa aku dengar dengan riang. Suara yang biasa membuat hati menghangat jika aku mendengarnya, walau hanya sebatas gumaman.
Dia berbicara hanya satu kata. Satu kata yang dingin. Mampu membuat aku bertambah sesak berkali kali. Tapi tak apa, aku harus menerima semua sikapnya saat ini sebagai balasan atas semua yang aku lakukan.
"Aku tau." Aku tersenyum kecut. "Aku juga tak meminta kamu untuk memaafkanku. Aku tau kesalahanku tak pantas mendapatkan maaf darimu."
Dia kembali hanya diam, tak menjawab perkataanku.
Ahh jika seperti ini, lebih baik dia berbicara. Mengeluarkan semua kekesalan, kekecewaan, kemarahan, semuanya. Walaupun itu menyakitkan untukku, aku akan menerima semua perkataannya yang memang pantas dia luapkan untukku. Itu lebih baik daripada dia diam dan mengacuhkan aku seperti ini, ini lebih menyakitkan.
"Kamu sudah makan?" Aku tau, aku sudah tak pantas untuk menanyakan ini padanya. Tapi untuk yang terakhir kali, tak apa kan?
Tak ada balasan dari seberang, dan aku juga tak butuh balasannya sekarang. Terlalu berharap namanya jika aku masih menginginkan balasan darinya. Dia mau mendengarkan aku saja, itu sudah suatu kemustahilan yang menjadi nyata.
"Jangan telat makan lagi, apalagi sampai lupa makan. Kamu harus baik-baik saja."
Rasanya aku seperti menusukkan jarum ke diriku sendiri. Dengan mudahnya aku mengatakan dia harus baik-baik saja, tapi nyatanya aku yang membuat dia tak baik-baik saja. Haha lucu.
"Jangan tidur terlalu larut malam."
Oke, sekarang aku menusukkan jarum ke diriku sendiri untuk yang kedua kalinya. Bahkan sekarang sudah dini hari.
"Berhenti." Dia membali bersuara disaat aku sudah membuka mulutku untuk berbicara lagi. Dengan nada suara yang tak kalah dingin dengan yang sebelumnya.
"Berhenti pura-pura perhatian padaku." Aku merasakan ribuan jarum tiba-tiba menusuk diriku begitu mendengar kalimatnya yang sangat dingin itu. Semua penyesalan sekarang seakan bertumbuk begitu tinggi di atas kepala dan pundakku.
Hanya kata seperti itu saja, tapi berhasil membuat hatiku merasakan sesak dan sakit yang begitu dalam. Lalu bagaimana jika dia mengatakan semua kemarahannya padaku? Masih mampukah aku mendengarnya? Tapi memang, itu semua pantas aku dapatkan.
"Aku menyayangimu." Ucapku lirih.
Aku tau, sangat tidak pantas aku mengatakan kalimat itu sekarang. Setelah semuanya, kalimat itu kini hanya penghibur hati yang membuat bertambah sakit. Tak ada bunga-bunga indah yang bermekaran. Yang ada semua bunga yang tumbuh itu ditebang habis. Menyisakan kekacauan dan keperihan.
Hening begitu lama setelah aku mengatakan dua kata itu. Aku membisu, tak ada lagi yang ingin aku katakan selain itu. Dan dia hanya diam, memang tak ada kewajiban untuk dia menanggapi apa yang aku katakan.
Tut... Tut... Tut...
Aku menurunkan ponsel dari telingaku dengan gerakan yang sangat perlahan. Dia memutuskan sambungan tanpa kata-kata perpisahan, tapi segenapnya kita telah berpisah. Dia pergi, sesungguhnya pergi. Meninggalkanku dengan semua rasa penyesalan, karena telah membuatnya pergi.
-uw-
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanpa Nama
Short StoryKumpulan cerpen hasil imajinasi tak berbentuk yang datang silih berganti, kemudian berlalu begitu saja :v *** Cerita yang ada pada setiap part itu cerita yang berbeda dan tidak ada sangkut pautnya antara part satu dengan part yang lainnya. Sengaja t...