14 | -JANJI TIDAK JANJI-

62 2 0
                                    

Aku duduk di kursi depan rumahku dengan kaki yang aku ayunkan maju dan mundur. Sambil sesekali menolehkan kepala ke kanan, arah datangnya seseorang yang aku tunggu.

Aku mengetuk-ngetukan semua jari di lututku. Berharap bisa menghilangkan bosan yang datang karena menunggu.

Aku kembali memeriksa jam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Seketika mukaku masam karena aku sudah menunggu melebihi janji yang sudah dibuat.

Aku mencebik kesal. Membenarkan tali tas selempangku. Lalu mengetukkan jari ke lutut lagi.

"Maa... Maaf..." Aku mendengar suara laki-laki yang aku kenal dengan terbata. "Maaf aku telat."

Aku mengangkat kepalaku. Menatap wajahnya yang dipenuhi dengan peluh, bajunya pun sudah berantakan tidak karuan, begitu pula tatanan rambutnya.

"Ban motor aku kempes di deket perempatan sekolah kita dulu, terus aku dorong sampe belokan itu." Dia menunjuk belokan yang dimaksud, aku mengikuti arah yang ditunjuknya. Pantas saja dia datang telat dengan penampilan yang seperti itu.

"Ban motornya masih ditambal, belum selesai." Aku menghela nafas, tersenyum kecil sambil mengangguk.

"Kamu marah?" Dia bertanya dengan nada yang terdengar khawatir, karena dia paham betul aku paling tidak suka dengan kata terlambat.

Aku menggeleng kecil. "Gak kok. Aku gak marah."

"Beneran?" Dia masih bertanya, masih tak yakin dengan jawabanku.

"Iya, beneran." Aku menatapnya lembut, berusaha membuatnya yakin dengan jawabanku. "Nih, buat lap keringat kamu." Aku memberikan tisu yang baru saja aku ambil dari tas selempangku.

"Oh? Makasih." Dia terlihat sedikit terkejut dengan perlakuanku. Mengambil tisu dari tanganku dengan hati-hati. Lalu mengusapkan pada dahi dan wajahnya. "Emmm kamu gak keberatan jalan ke belokan sana? Kayaknya udah selesai nambal ban motornya."

"Ya udah, ayo." Aku langsung beranjak dari dudukku dan berdiri menunggunya yang masih duduk diam tak percaya melihatku. "Kok malah diem? Ayo." Aku menarik tangannya untuk berdiri, dia semakin tak percaya dengan apa yang aku lakukan.

"Oh iya, ayo." Dia tersenyum, dan baru aku sadari kali ini ternyata senyumnya manis, tak terlalu buruk juga.

Tanganku masih memegang pergelangan tangannya, namun berangsur aku menggenggam telapak tangannya yang ternyata begitu dingin. "Kok dingin?"

"Ehh... Aku juga gak tau hehe." Dia menjawab sambil terkekeh kecil. Dengan mata yang masih memandang tangan kami, tak percaya.

Aku ikut terkekeh kecil, aku yakin tangannya dingin karena dia merasa gugup. Sebegitu mengerikannya kah aku?

"Maaf ya, aku telat. Kamu jadi nunggu aku lama. Aku janji gak bakal ngulangin lagi." Dia meminta maaf lagi, dan juga mengucapkan kata yang sungguh membuatku muak.

"Apa kamu masih belum paham sama aku?" Aku bertanya dengan nada yang mulai sedikit kesal.

"Eh apa?" Raut mukanya kini terlihat khawatir, takut dia telah melakukan kesalahan.

Aku menghembuskan nafas, berusaha untuk menekan emosiku agar tidak naik. "Aku gak suka sama janji. Harusnya kamu paham betul akan hal itu."

"Ah ma...maaf." Dia berkata sambil menundukkan kepala, dan menggaruk tengkuknya yang entah gatal atau tidak. Aku tak tau.

"Ya udah deh, aku janji gak bakal janji lagi." Ucapnya.

"Hei? Itu sama aja." Aku menghentikan langkah dan menghentak tanganku yang masih menggenggam tangannya.

"Maaf, sekali lagi aku minta maaf." Dia menundukkan kepalanya, mengucapkan kata maaf lagi.

Aku kembali menghembuskan nafas, sekali lagi mencoba untuk menekan emosi yang mulai merangkak naik. "Iya, aku maafin. Tapi aku gak mau denger kata-kata kayak gitu lagi. Aku lebih suka kamu gak usah ucap janji, daripada banyak janji tapi ujungnya gak pernah dipenuhi."

Dia menganggukan kepala, lalu kembali berjalan sambil sedikit menarik tanganku untuk ikut berjalan bersamanya.

Sepanjang meneruskan perjalanan kami hanya terdiam. Sesekali aku menangkapnya yang curi-curi pandang ke arah genggaman tangan kami, dan aku hanya bisa menahan senyum gemas.

"Kamu tunggu disini sebentar ya, aku mau ambil motorku sekalian bayar." Dia melepaskan genggaman tangan kami setelah kami sampai di depan bengkel tambal ban. Aku hanya mengangguk, menurut.

"Ayo." Tak seberapa lama dia datang dan berhenti di depanku. "Oh iya, ini pake helm." Dia memberikan helm berwarna hitam, yang lalu aku terima dan aku pakai.

"Eh ini gimana? Susah." Aku kesulitan untuk memasang tali pengait helm.

"Belum bisa?" Dia bertanya masih dengan memperhatikanku. Aku hanya menggeleng.

Melihatku masih kesusahan, dia mematikan mesin motor dan turun dari atasnya. "Sini aku bantu. Maaf ya." Tanganku berhenti untuk memasang tali pengait helm itu, berganti dengan dia yang serius memasangkannya.

Aku baru pernah melihat wajahnya dari jarak sedekat ini. Apalagi sekarang wajahnya tengah serius. Ternyata dia sudah sangat berubah dari terakhir kali kami bersama saat di bangku sekolah.

Satu senyuman terbit di wajahku. Ternyata tak ada salahnya aku kembali memberi dia kesempatan.

-uw-

Tanpa NamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang