13 | -DI BALKON-

71 2 0
                                    

Aku mengerjapkan mata. Berusaha untuk mengembalikan kesadaran sepenuhnya. Lalu terduduk sambil menatap tembok putih dengan cahaya yang remang.

Aku mengibaskan tangan di sekitar kepalaku. Berusaha untuk mengusir nyamuk yang dengungnya berhasil membangunkanku di waktu sebelum subuh ini.

Aku menghela nafas. Lalu memutuskan untuk bangkit dan keluar mencari udara yang lebih segar. Meninggalkan nyamuk yang membuat kulitku bentol-bentol.

Aku membuka pintu, seketika mataku di suguhi pemandangan kota dalam malam hari. Aku berjalan mendekati pinggir balkon yang berada di lantai dua ini, kemudian bersandar di tepiannya, menghadap langsung ke arah kota.

Aku menautkan semua jari tanganku. Lalu memejamkan mata merasakan hembusan angin dini hari yang lumayan menyejukkan, masih belum banyak tercampur dengan polusi.

Aku membuka mata, lalu memandang ke langit. Di sana bulan terlihat bulat sempurna. Memancarkan cahaya yang dia dapat dari matahari. Mataku mencari-cari keberadaan bintang. Namun aku hanya menemukan beberapa, tak begitu banyak. Mungkin tertutup awan, atau bahkan kabut polusi.

Satu pesawat dengan lampu yang berkedip terlihat terbang melintas di langit malam. Melihatnya, yang terlintas pertama kali olehku adalah kata pergi. Meski sepenuhnya tidak hanya pergi, mungkin ada yang kembali. Aku tersenyum, tak tau karena apa.

Aku mengalihkan pandangan setelah cahaya berkedip dari lampu pesawat itu hilang. Menatap ke arah kota yang tak pernah tidur. Terlihat titik-titik cahaya lampu jalan atau teras rumah yang menyala.

Mataku memandang jauh ke arah bangunan yang menjulang tinggi di antara rumah-rumah yang saling berhimpitan. Pernah aku sesekali bermimpi untuk berada di puncak bangunan itu. Siapa tau aku bisa menyentuh langit. Berbincang dengan bulan, menanyakan bagaimana perasaannya berada di langit itu sendirian.

Atau aku bisa menatap kumpulan titik-titik cahaya lampu di kota ini. Sepertinya sangat indah. Mungkin seperti ratusan bintang yang berada di langit, yang sekarang ini tidak bisa aku lihat.

Jika tidak, aku bisa merasakan hembusan angin yang begitu kencang menerpa tubuhku seakan bisa membawaku untuk terbang bersisian dengan pesawat. Lalu aku akan menyapa para penumpang yang sedang berpergian itu.

Aku tersenyum geli. Mimpiku seperti anak kecil saja.

Aku memeluk tubuhku, lalu mengeratkannya. Angin kembali berhembus menerpaku yang hanya memakai kaos dengan lengan sebahu dan celana selutut saja. Lumayan dingin. Tapi tak apa, setidaknya membuat mataku bertambah segar. Karena teringat aku bahkan belum membasuh muka sejak bangun tadi.

Aku bergerak untuk naik dan duduk di pembatas balkon. Setelah berhasil, aku menggoyangkan kakiku maju dan mundur. Lalu kembali menatap apa saja yang bisa aku tatap.

Sayup-sayup aku mendengar suara kendaraan yang sesekali melintas di jalan. Aku pandangi arah jalan yang jauh dari tempatku sekarang. Tak terlihat karena tertutup atap-atap rumah penduduk.

Aku kembali menutup mata. Suasana saat ini sangat menyenangkan. Tenang rasanya. Tak ada kebisingan yang memekak telinga. Udara juga masih bersih, belum tercampur banyak polusi. Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan.

Aku membuka mata dan menegakkan tubuhku begitu mendengar suara sirine ambulance yang begitu melengking. Kakiku berhenti bergerak dan badanku juga menegang. Setiap kali aku mendengar suara itu, rasanya seperti ada sesak yang menyakitkan. Meski aku tak tau apa yang terjadi. Tapi, pasti ada kejadian yang tidak diinginkan yang menjadi penyebab suara itu berbunyi.

Aku kembali memejamkan lalu merapalkan doa di dalam hati untuk kebaikan seseorang yang aku tak tau siapa, seseorang yang sedang berurusan dengan suara itu. Setelahnya aku kembali menatap apa saja yang bisa aku tatap.

Pikiranku kini menerawang tentang hidupku yang terdampar di tanah asing ini. Tanah yang mempertemukanku dengan orang-orang asing yang kini berevolusi menjadi teman yang perlahan mengeratkan ikatan kekeluargaan. Aku menolehkan kepala ke belakang, menatap ruangan remang dari pintu yang aku buka tadi. Tersenyum kepada orang-orang asing itu yang kini masih terlelap, terlihat pahatan lelah di wajah mereka.

Aku mengembalikan posisi kepalaku seperti tadi. Aku menghembuskan nafas kasar. Aku juga sama lelah seperti mereka. Namun aku mencoba untuk tak merasa, seperti mereka juga. Kita harus sama-sama berjuang teman. Berjuang jauh disini. Jauh dari keluarga, jauh dari rumah yang membuat kita nyaman.

Tanpa sadar satu bulir air mata luruh ke pipiku. Kehangatan keluarga dan kenyamanan rumah sendiri. Tak bisa dipungkiri. Aku sangat rindu.

Aku menundukkan kepalaku, membiarkan bulir-bulir air mata itu luruh begitu saja. Merasakan rindu yang menusuk berkali-kali. Menahan lelah yang begitu terasa.

Ternyata aku tak hanya harus menanggung lelah, tetapi juga menanggung rindu. Bisakah aku bertahan?

Kumandang adzan subuh terdengar dari pengeras suara masjid kompleks perumahan yang ada di sebelah. Aku menghapus kasar air mata yang masih tersisa. Berapa lama aku tertunduk menangis seperti ini?

Aku turun dari pembatas balkon. Menatap pemandangan kota dengan titik-titik cahaya lampu sekali lagi. Lalu tersenyum kecil. Memejamkan mata sekali lagi. Merasakan angin yang berhembus sekali lagi. Berusaha menghilangkan perasaan yang baru saja aku rasa. Lalu beranjak dari balkon untuk melakukan rutinitas membosankan hari ini.

-uw-

An :
Ini requestan dari temen. Minta cerita yang di balkon gitu. Padahal minta udah dari lama, tapi baru ada ide kemarin😂

Semoga aja suka yaaa😊

Happy reading semuanyaaa😚😚

Voment nya jangan lupa😁


UlwaAnindita

Tanpa NamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang