" Apa tanganmu tidak merasa terbakar?"
Huh? Tumben sekali dia menanyakan hal itu. Tanganku memang sangat dekat dengan api.
" Kau mau merasakannya?"
Dia menggeleng kuat. Mungkin, dia pikir api akan sepanas biasanya meskipun memakai sarung tangan tebal. Padahal, api ini tak panas, hanya hangat.
" Ayolah, ini hangat," bujukku agar dia tak penasaran.
Dia pun mengarahkan tangannya pada api berwarna biru menyala, menempelkan telapak tangan yang terbungkus sarung tangan pada benda menyala itu. Awalnya dia menutup mata. Namun, saat tak merasakan panas menyengat, dia membuka mata dan tersenyum lebar.
" Ini sangat hangat, Kak!" Dia berseru senang.
" Apa kubilang, percayalah pada kakakmu ini."
Adikku masih tersenyum. Keheningan mendera selama beberapa waktu karena memang tidak ada hal yang perlu kami katakan. Salju semakin tebal dan dingin mengalahkan hangatnya api.
Adikku kembali memelukku erat, menatap mataku seakan meminta nyala api yang lebih besar. Aku ragu, aku bisa melakukan itu. Aku takut kalau saja aku melakukan kesalahan dan membuat malapetaka terulang.
Sejujurnya, aku phobia dengan api karena dahulu rumahku dilalap api dalam sekian waktu sampai rumahku menjadi abu. Bahkan, aku pun terkena dampaknya. Diselimuti api yang menyala, hingga membuat luka bakar yang membekas sampai saat ini, meskipun telah pudar seiring waktu berjalan.
" Kak, jangan melamun saja. Buatlah apinya!" kesal adikku dengan menggoyangkan lenganku berkali-kali.
Ah, selama itu aku melamun.
" Ya, tapi berjanjilah jangan takut."
Dia mengangguk, kembali memelukku dan menatap api yang semakin besar dan panas.
" Bagaimana Kakak melakukan itu?"
" Melakukan apa?"
" Membuat api itu," tanyanya penuh rasa penasaran.
" Itu rahasiaku. Anak kecil tidak akan paham," jawabku sekenanya. Yah, memang sebuah kenyataan. Dia tidak akan paham meskipun aku mengajarinya dengan detail.
" Kakak pelit sekali."
" Ini demi dirimu juga."
Dahi adikku berkerut. " Bagaimana bisa? Apa hubungan api itu denganku?"
Aku berpikir sebentar. " Karena..., entahlah, Kakak juga tidak tahu."
Tanganku merasa panas. Salju telah berhenti turun, dan cuaca kembali normal. Hampir satu jam kami di sini dan itu melelahkan. Karena cuaca sudah membaik, aku mematikan api itu dan menggendong adikku. Dia sudah tertidur beberapa menit yang lalu akibat udara dingin yang beradu dengan hangatnya api.
Perjalananku menuju rumah Kakek masih panjang. Itu menurutku karena sudah lama sekali aku tidak ke sana.
Setelah menghabiskan perjalanan di tempat tanpa penghuni, aku memasuki kawasan pedesaan yang diselimuti salju tebal. Mungkin saja di sana baru saja terjadi badai salju ringan.
Aku menyapa orang-orang yang sekiranya ku kenal. Tubuhku pun terasa ringan, lantaran adikku sudah bangun dari tidurnya dan berjalan sendiri di sampingku.
Rumah kakekku masih jauh dan ini sudah mulai malam. Aku bersama adikku menginap di penginapan sederhana berlantai dua. Penginapan ini terbuat dari kayu, sangat nyaman, terkesan di zaman dahulu. Saat pertama kali aku mendatangi kakekku.
Aku dan adikku mendapat tempat di lantai atas. Kami melewati tangga dengan bunyi khas kayu yang bergesekan dengan alas kaki.
Tepat di pintu bernomor 012 tempat kami beristirahat. Kubuka pintu itu, menampilkan kamar yang luas nan rapi.
" Wow, ini hebat!" Adikku terkagum-kagum.
Aku terkekeh ringan. Kurebahkan tubuhku di ranjang putih itu, sembari mengambil jam weker di atas nakas coklat. Aku membuat alarm. Yah, untuk berjaga-jaga.
" Kak, ayo jalan-jalan!" pinta adikku.
" Tidak, ini sudah hampir malam. Diluar juga dingin."
" Tidak papa. Kakak kan bisa membuat api."
" Tidak semudah itu."
Adikku mengerucutkan bibirnya, menarik-narik kausku, berharap aku mengabulkan permintaannya.
" Aku bersikeras menolakmu Nona Kecil."
Aku duduk di atas ranjang, menatap adikku itu.
" Bagaimana jika kau kecelakaan lagi?"
" Hah? Memangnya aku pernah kecelakaan, Kak?"
Aku salah bicara.
" Tidak juga."
Adikku tertawa ringan. Itu aneh, membuatku ingin menghindar saja.
" Kau baik-baik saja?" tanyaku sembari menepuk pipinya lembut.
" Aku baik, Kak. Tentu saja setelah melakukan tugasku."
" Tugas?!?"
Aloha!
Long time no see ...Comeback lagi nih..
Tadi sempet ada masalah, udah 504 kata eh wattpad berhenti. Untungnya aku mah penyabar:v
Alhasil buat lagi. Waktu udah 506 kata, malah gak sengaja mencet hapus history. Kan bikin dagdigdug:(Alhamdulillah sih, partnya balik lagi. Dua duanya. Mantap deh, jadi bingung mau nerusin yang mana, soalnya ada beberapa yang beda. Gak mungkin kan aku hafal detail narasinya.
Jadi yah, aku terusin nih part yang awal. Nanti part ke 2 nya juga bakal aku publish. Biar dipilih mana yang paling oke. Oleh kalian para readers dong pastinya:)
See u next part...
Jadi curhat kan:v
KTH/ Fantasy Lab
Dewi_Delzd
.
.
.
.
.Replika itu kepalsuan dari wujud aslinya.
Replika akan hilang saat yang nyata akan kembali ke dunia.
Replika itu kami yang baru.
Dan yang nyata adalah kami yang dulu.- Replica -
KAMU SEDANG MEMBACA
Replica
FantasyAwan itu membuat kami terjebak dalam dunia tak berpenghuni. Kami sekarat. Namun, pikiran kami masih terus berjalan di dunia nyata. Raga kami telah kosong. Kami digantikan dengan diri kami yang baru. Sebuah Replika. Biasa saja, tapi replika kami pun...