LFB-18

2.7K 364 7
                                    

Pianis

"Jungkook?" Jimin mengusap sayang surai milik Jungkook, kedua tangan Jimin memegang handuk putih untuk mengeringkan rambut basah Jungkook. Jimin membutuhkan perjuangan saat dirinya menyuruh Jungkook untuk mencuci rambutnya di minggu cerah itu. Hari itu hari libur, Jimin dan Mingyu masih betah untuk berdiam diri di gubuk milik Jungkook.

"Iya, kakak?" Jungkook menyahut, tangan kanannya menyentuh-nyentuh kedua pipinya. Ibu jari dan jari telunjuknya membentuk seperti sebuah capit yang ia mainkan pada pipinya sendiri. Sambil sesekali tertawa dan mengamati Jimin yang sedang sibuk mengeringkan rambut Jungkook.

"Kau tidak rindu rumah?" seketika Jungkook menghentikan jarinya. Menatap Jimin lama, mengamati wajah Jimin lewat pantulan cermin di depannya.

Wajah Jungkook menjadi muram, tangan Jimin yang sedari aktif mengeringkan surai Jungkook tiba-tiba juga berhenti. Jungkook menunduk dalam.

"Ya, aku merindukan mereka kak. Yoongi hyung, Taehyung hyung, ibu dan ayah. Kak, apakah mereka mau menerimaku yang idiot seperti aku?" Jimin menggeleng kencang, ia tidak setuju dengan pertanyaan Jungkook.

"Kau tidak idiot, Jungkook. Kau jenius." Jimin kembali mengusapkan handuk ke kepala Jungkook. Mendengar ucapan Jimin, Jungkook mengulas senyumnya.

"Aku tidak mempunyai keberanian, bahkan sekedar untuk menyapa mereka kak, aku terlalu takut untuk mendekat ke rumah keluarga Min. Aku takut jika ibu tak bisa menerimaku, aku takut jika Taehyung hyung akan merasa terganggu dengan kehadiranku. Tetapi aku menginginkannya kak. Menginginkan mereka, apakah aku terlihat serakah?" Jungkook mencurahkan rasa yang ia pendam saat pelariannya dari rumah.

Jungkook merindukan Yoongi, sangat. Tapi ia tak ingin mengecewakan ibunya dan juga Taehyung saat berada di rumah.

"Kau tahu, Jungkook? Kau memang berhati mulia." bukan, itu bukan suara Jimin. Tetapi suara seorang pria yang lebih tua dari mereka.

Mingyu yang sedari tadi merebahkan badannya di sebuah kasur Jungkook, tiba-tiba saja sudah berdiri di dekat Jimin. Mingyu mendengar semuanya, percakapan Jungkook dan Jimin terekam dalam memori Mingyu. Ia juga tidak setuju jika Jungkook adalah anak idiot. Jungkook hanya memerlukan seseorang yang mempunyai kesabaran lebih untuk mengajari Jungkook membaca.

"Kak Mingyu, mendengarnya?" Mingyu mengangguk, kedua tangannya disilangkan di depan dadanya. Menatap Jungkook lama, pandangan matanya tersirat sebuah kesedihan. Entah itu tentang dirinya sendiri yang memang menyedihkan atau tentang Jungkook yang menyimpan kesedihan.

"Kau harus percaya, jika kau mempunyai hal lain untuk dibanggakan, Jungkook. Hidup bukan soal membaca, kau bisa bereksplorasi mengenai hal-hal baru. Jangan terjebak pada ketakutanmu untuk menghadapi ibumu atau Taehyung." Mingyu mengulas senyum manisnya, membuat Jimin kembali menganggumi senyum milik Mingyu, "Karena aku disini, bersamamu. Hingga waktu yang akan memperindah semuanya. Hingga kau mampu untuk kembali dengan keluargamu, hingga kau mau untuk membuka kembali lembaran baru dengan sejarah yang mengagumkan. Yang dapat membuat mereka menganga, menepukkan kedua tangannya atau meneriakkan namamu. Karena disini, aku ingin melihatmu seperti itu, Jungkook. Membuka mata dunia, bahwa seorang dyslexia sepertimu dapat menarik mereka untuk menuju satu titik, kau." Jungkook membulatkan matanya terkejut, sebelumnya tak ada  yang percaya jika Jungkook dapat melakukan hal seperti itu.

Tidak ada yang membuat Jungkook menaruh harapan sebesar itu,
Tidak ada yang percaya jika Jungkook mampu untuk melakukan semua hal.

Mereka menganggap jika Jungkook harus belajar seperti kebanyakan orang pada umumnya.

"Jadi, apakah kau bisa melakukan banyak hal?" tanya Mingyu lagi. Jungkook mengangguk ragu.

"Apa? Selain melukis?"

Mata Jungkook berpendar, memorinya akan Taehyung kembali melesak. Memenuhi hampir kapasitas otak Jungkook.

Seulas senyum Taehyung saat berada jauh di depan jangkauan Jungkook itu membumbung tinggi.

Jungkook ingin melihat senyuman Taehyung seperti itu di depan matanya. Setiap hari, untuk dirinya, untuk Jungkook.

Berputar, random. Memori Jungkook terekam pada sebuah piano yang terletak di sudut rumahnya. Sesosok pria tampan dengan jemari lentiknya sangat lihai bermain diatas tuts piano tersebut.

Alunan melody yang selalu berhasil membuat Jungkook terlena dengan memejamkan kedua matanya dan menikmatinya menjadi salah satu alasan, mengapa Jungkook betah untuk menatap pria itu.

"Jungkook?" panggilan Mingyu kembali membuyarkan pikiran Jungkook.

"N-ne?" keterkejutan Jungkook membuat Mingyu terkekeh pelan. Tangan kekarnya mengusap lengan milik Jungkook.

"Selain melukis, kau bisa apa?" Mingyu mengulangi pertanyaannya. Jungkook menelan salivanya kasar, susah payah rasanya kaku sekali untuk menjawab pertanyaan sederhana dari Mingyu.

"E-eum, p-piano." setelah menjawab itu Jungkook menunduk, malu dengan pengakuannya. Diam-diam Jungkook memang sering memainkan piano, ia ingin seperti Taehyung memukau semua orang dengan sentuhan jemarinya yang berada diatas tuts.

"Woah, benarkah? Kebetulan sekali minggu depan akan ada kompetisi piano. Kau ingin ikut?" Jungkook yang semula menunduk, kini mendongak. Menatap Mingyu dengan tatapan berbinar.

"Aku ingin ikut kak!" jawab Jungkook antusias. Mingyu mengangguk. Sedangkan Jimin yang sedari tadi mengamati mereka akhirnya menghembuskan napas lega.

Setidaknya mereka ada disamping Jungkook. Untuk menguatkan keinginan kecil Jungkook.

Jungkook berdiri dari sana, melangkah untuk mendekati piano yang sempat ia beli karena ingin seperti Taehyung. Jungkook bukan orang yang kaku dengan benda piano, motivasinya adalah Taehyung. Maka dari itu Jungkook menyukai apapun yang berada dalam diri Taehyung. Salah satu alasan mengapa Jungkook enggan untuk menjauh dari Taehyung, karena Taehyung adalah motivasinya.

"Jadi, apa yang bisa kau mainkan, Jungkook?" kedua tangan Jungkook sudah berada diatas piano, mengikuti gerakan lihain Taehyung. Baru pemanasan sebelum ia menjawab pertanyaan dari Mingyu.

"Beethoven, Fur elise." jawab Jungkook mantap, siapa yang tidak tahu dengan nada fenomenal milik Beethoven tersebut?

Taehyung bahkan sering memainkannya, dan lagu itu selalu berhasil membuat Jungkook untuk meneteskan air matanya. Entah karena Taehyung memainkannya dengan perasaan atau memang lagunya yang menyentuh.

Mingyu takjub, ia mengangguk kemudian memberikan isyarat kepada Jungkook untuk memainkan lagu tersebut. Jungkook mengangguk, menghembuskan napasnya, memejamkan matanya, meresapinya lalu memainkan tuts tersebut.

Jimin terpukau, ia bahkan tak mengedipkan matanya dari Jungkook. Begitupun Mingyu yang semakin jatuh dalam pesona jemari milik Jungkook.

Sepertinya hari minggu kala itu akan menjadi sebuah sejarah baru. Terbentuknya seorang pianis baru akan segera dimulai, sosok yang selalu tak dianggap keberadaannya akan menggemparkan dunia. Membuka mata mereka, jika dirinya patut untuk dibanggakan.

Halu,
Berapa dekade aing nggak apdet? :")
Ini niatnya mau di apdet waktu bulan Desember. Muahaha, mau diselesain taon depan. Tapi nggak tau ntar. Semoga dosennya nggak kejem" amat lah ya, biar bisa pegang WP. Wkwk.

Sincerly
-JINNI

Learning From Butterflies Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang