16

2.4K 245 21
                                    

Setelah kepergian Jonathan, Dimitri duduk terdiam di tepi ranjang untuk beberapa waktu meresapi kejadian itu. Hatinya menjadi terlalu sakit seiring  Jonathan yang mencampakannya, meninggalkan dirinya karena pengakuan gila yang ia berikan. Akhirnya kesadaran mulai menghampiri dan menjadikan ia beranjak dari sana, pergi meninggalkan kamar Jonathan yang kini sudah tertata baik.

Dimitri melaju begitu lambat dengan mobilnya, temaram lampu menjadi pemandu untuk dia mencari Jonathan. Rasa bersalah menaungi ke manapun melangkah, raut wajahnya menjadi sedih dan semakin gelap.

Ia memutuskan untuk menelepon Jonathan, meskipun sangat tahu jika laki-laki itu pasti akan menolak panggilannya, atau lebih parahnya ponsel miliknya tidak aktif. Pada saat itulah kegagalan datang padanya, ketika panggilan yang ia buat selalu dialihkan.

Tidak menjadikan itu sebagai hal yang sulit bagi Dimitri, memilih untuk kembali pulang ke rumahnya. Ia harus menyiapkan untuk aktivitasnya besok, kelas pagi di universitas tidak akan bisa menunggu.

Saat melewati sebuah jembatan besar, ia melihat seseorang dengan postur yang menarik siapapun untuk mendekat. Seorang yang ia sangat rindukan dari dasar hatinya sedang berdiri di salah satu sisi, menyandarkan seluruh bobot tubuhnya pada lengan kanan di bawah dagu, pandangan mata tertuju lurus di depan dengan bayang-bayang kosong yang tidak dapat terlukiskan.

Melihat siluet dari kejauhan dengan kesedihan yang begitu melekat padanya membuat Dimitri dengan cepat mendekat, menyusuri jalan kecil di samping jembatan untuk memperpendek jarak di antara mereka.

Jonathan sangat mengerti siapa yang sedang mendekatinya, aura menyebalkan segera tercium dari kedua lubang hidungnya, menyebarkan ketidaksukaan di dalam tubuh, ia merinding untuk sepersekian detik.

"Akan menjadi sangat tidak baik jika seseorang berdiri di tepi jembatan dengan angin malam yang begitu kencang, bukan?" Dimitri berbicara, suaranya sedikit ditekan menyebabkan terdengar lebih berat dan mendominasi.

Jonathan tidak menoleh, arah tatapan matanya masih terjaga untuk lurus, "Aku memiliki daya tahan tubuh yang baik, maka aku tidak perlu mengkhawatirkan diriku sendiri," ujarnya.

"Tidakkah kau terlihat menjadi lebih keras kepala?"

"Ya! Aku memang keras kepala, tetapi setidaknya aku bukan orang idiot."

Dimitri menjadi lebih sensitif, ia tidak ingin terkesan naif, "Siapa yang kau maksud dengan orang idiot?"

Jonathan dengan tawa sinisnya menjawab, "Adakah orang lain selain kita berdua di sini, dan apakah sedang membicarakan seseorang di antara kita? Jika iya, maka kau tahu siapa orangnya!"

Bunyi gertak gigi terdengar dari mulut Dimitri, kedua tangannya mengepal hingga hampir memutih, "Maka jika itu maumu, aku tidak akan peduli lagi. Berdirilah di sini hingga kau menjadi patung es!"

Pada saat itu sedang berhembus angin sangat dingin, karena memasuki musim hujan. Dimitri dengan ketulusan hatinya ingin membawa Jonathan untuk pulang, namun laki-laki itu lebih mempertahankan harga dirinya sampai mati, maka ia berubah untuk tidak peduli.

"Dengarkan aku; jika aku, Dimitri, menjadi tidak peduli denganmu, maka aku benar-benar tidak akan memperhatikanmu dan menganggap dirimu adalah orang luar yang satu kalipun tidak pernah bertemu!"

***

Jonathan kembali ke rumah ketika matahari hampir terbit, melihat kamarnya yang sudah rapi dan bersih maka meradanglah hatinya. Tergores sakit yang begitu dalam hingga ia menjadi sedih. Wajahnya berubah gelap.

Ia berbaring malas, menunggu beberapa jam lagi untuk dirinya pergi ke universitas, kelas pagi untuk hari ini. Namun, terasa kedua matanya yang lebih berat untuk menutup, karena hampir sepanjang malam ia terjaga, maka dengan segera diputuskan untuk dirinya tidur.

Lascivious • I [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang