SATU

3.4K 395 54
                                    

Tanisha Galiena Arsyadinata memiliki beberapa hal yang membuatnya menjadi pusat kebencian semua gadis prodi manapun di Fakultas Ilmu Komunikasi kampus mereka. Bahkan bisa dikatakan seluruh kampus ketika Tanisha adalah pacar dari Renan Fausta Adiwilaga, memiliki kecantikan paripurna, pandai bergaul dengan para pria, kaya dan kesayangan dosen pula.

Tanisha adalah paket lengkap untuk dijadikan bahan iri dengki bagi semua orang.

Pacarnya Renan Fausta Adiwilaga.

Teman masa kecilnya Jorell Conary Haidar.

Bodyguardnya Dirandra Adlan Altamis.

Sahabatnya adalah model papan atas, Adsila Clareeta Jasmeen.

Betapa sempurna hidup Tanisha jika orang memandang luarnya saja. Tanpa tahu bahwa Tanisha menahan amarah yang besar setiap harinya. 

"Ada apa, Mbak?" Tanyanya pada asisten rumah tangganya yang berdiri di depan kamar kakaknya dengan wajah yang panik luar biasa. Tanisha sedang bersiap-siap untuk ke kampus karena ia ada kuliah pagi dan Renan akan segera datang menjemput ketika ia mendengar suara histeris pecah dari kamar kakaknya.

"Non Carissa ngamuk lagi, Non."

Hal ini nyaris terjadi setiap hari. Membuat Tanisha rasanya selalu berat untuk meninggalkan rumah. Tanisha mengambil alih nampan berisi sarapan Carissa dari Mbak Rani kemudian berkata, "Biar aku aja yang ngurusin Carissa, Mbak lanjutin aja kerjaan Mbak."

Tanisha kemudian masuk perlahan ke dalam kamar kakaknya yang berantakan karena barang-barangnya yang dilempar wanita itu. Diletakkan nampan berisi sarapan di nakas lalu ia menghampiri kakaknya dan memeluknya lembut dari belakang.

"Kakak kenapa?"

Tangis kakaknya perlahan berhenti, meski napasnya masih satu-satu tapi Tanisha tahu bahwa kakaknya sudah mulai tenang kembali.

"Nino...," kata Carissa dengan suara yang mencicit.

"Nino di sini. Kalau kakak teriak-teriak, nanti Nino bisa bangun dan nangis. Tenang ya, kak."

Jauh di dalam dadanya ada rasak sesak yang membelenggu dan sakit karena pukulan yang keras. Setiap kali melihat keadaan kakaknya, Tanisha selalu ingin menangis. Tapi ia tidak pernah bisa. Mungkin kebiasaan menahan tangis setiap kali berhadapan dengan kekacauan di keluarga mereka membuat Tanisha seolah sulit untuk mengungkapkan emosinya sendiri.

"Kakak makan, ya? Biar biasa ngasih makan Nino, ya?" Tanisha membujuk kakaknya yang dibalas Carissa dengan sebuah anggukan. Dengan telaten gadis berusia dua puluh tahun itu menyuapi kakaknya lalu dilanjutkan dengan membantu Carissa meminum obatnya. Setelah itu Tanisha berpamitan kepada kakaknya karena ia harus segera pergi ke kampus. Sesaat setelah Tanisha menutup pintu kamar Carissa, ponsel yang berada di sakunya berdering oleh satu pesan dari Renan.

Rere F.A : aku di bawah, Cinta.

Tanisha tersenyum saat membaca pesan dari Renan. Segera dibalasnya pesan itu sambil berjalan menuju kamarnya untuk menyelesaikan tatanan rambutnya dan mengambil tas.

Tata G.A : bentar, Rangga. Cinta mau lepas roll dulu. Sarapan kamu ada di meja. Makan dulu biar makin tampan, sayangnya aku. Oh iya, jangan godain Mbak Rina lagi, aku nggak sanggup kalo suruh lawan janda semok kaya Mbak Rina.

Dengan Renan, Tanisha tak perlu lagi merasa takut dengan semua rasa sakit yang mendera batinnya setiap saat. Kehadiran Renan akan selalu membuat dirinya lupa bahwa setiap saat dia harus selalu berjuang untuk berdamai dengan semua carut-marut yang terjadi di keluarganya. Baginya, Renan adalah cokelatnya, musik jazznya dan serotoninnya.

***

Renan tersenyum begitu lebar dan merasakan geli yang bermain-main di perutnya membuat kedua sudut bibirnya semakin dekat dengan telinga. Selalu menyenangkan bertukar pesan dengan Tanisha. Pacarnya itu selalu ada saja kelakuannya.

Renan turun dari mobilnya yang terparkir tepat di depan pintu rumah Tanisha. Melangkah dengan cepat ke foyer utama dan segera menekan bel. Gila aja dia suruh ngetuk pintu orang rumahnya Tanisha segede gedung sate.

Tidak berapa lama Mbak Rina membukakan pintu. Asisten rumah tangga keluarga Arsyadinata itu tersenyum ramah padanya dan mempersilakan Renan untuk masuk.

"Non Icha bilang, Mas Renan suruh sarapan dulu. Katanya Non lagi benerin jambul katulistiwanya yang kena injakan pas pembukaan Asian Games."

Renan tertawa menanggapi candaan Mbak Rina yang Renan tahu pasti bahwa candaan itu pasti dikatakan oleh Tanisha. Saat Renan berkata rumah Tanisha sebesar gedung sate, itu memang benar adanya. Ruang tamunya berukuran sepuluh meter, ada sebuah sofa kulit berwarna putih dengan ukiran klasik di kayunya. Di dinding ada sebuah bingkai foto besar yang di dalamnya ada foto keluarga Arsyadinata.

"Mbak, kakaknya Tanisha nggak pernah pulang, ya?" Tanya Renan sambil menarik kursi meja makan. Entah hanya perasaan Renan saja atau memang seperti itu, Mbak Rina tampak terkejut dan bingung saat ia menanyakan keberadaan Carissa, kakaknya Tanisha kepada wanita itu. Renan hanya iseng bertanya, karena selama mereka pacaran ia belum pernah sekalipun bertemu dengan Carissa.

Menurut penuturan Tanisha, kakak pacarnya yang bernama Carissa Milena Arsyadinata itu tengah ada di Australia untuk mengenyam pendidikannya sebagai dokter. Kalau dihitung lewat selisih umur Tanisha dan Carissa, berarti tahun ini adalah tahun keenam kakak dari pacarnya itu bersekolah.

"Iya, Non Carissa 'kan sekolahnya di kedokteran, jadi dia sibuk sana-sini. Dimakan sarapannya, Mas. Mbak bilangin Non Icha kalo Mas Renan udah di ruang makan."

Lalu Renan memerhatikan Mbak Rina yang seperti terburu-buru untuk pergi. Renan mengangkat bahunya, ini bukan urusannya, pikirnya. Sesaat setelah Renan telah selesai dengan sarapannya, Tanisha muncul di ruang makan dengan penampilan gadis itu yang sudah siap untuk berangkat. Rok midi berwarna hitam dan kemeja polos berwarna dusty pink jadi pilihan fashionnya hari ini.

"Cantik sekali pacarnya aku."

Terlihat Tanisha tersenyum kepadanya. Andai dunia tahu kalau senyum Tanisha lebih terang dari matahari.

"Ayo, Re."

***

Renan terus memerhatikan Tanisha yang memandangi ponselnya dengan wajah yang berapi-api. Beberapa kali ia mendengar dengusan napas Tanisha yang kentara sekali kalau pacarnya itu tengah menahan emosi yang sangat besar.

"Kenapa?" tanyanya, tangannya terulur untuk mengelus kepala Tanisha agar gadis itu sedikit tenang. Tanisha tak menjawab. Gadis itu hanya terus memandangi layar ponselnya dengan perasaan kesal yang seakan menggumpal dalam tenggorokan.

"Re...," panggilnya. Renan segera menaruh perhatian pada Tanisha.

"Kamu masih sering main sama Dirandra?"

Renan tampak bingung dengan pertanyaan pacarnya itu. Selama ini Tanisha jelas tahu kalo dirinya dan Dirandra berteman cukup dekat.

"Kenapa emangnya?"

"Nggak apa-apa. Nanya aja, si Andra masih suka nginep di apartemen kamu?"

"Iya, ada apa sih? Kamu ada masalah sama Andra?"

"Nggak ada. Cepetan dikit, Re. Pak Eka kalau masuk kelas kudu on-time banget soalnya."

Renan tak ingin bertanya lebih jauh meski di dalam hatinya dia benar-benar penasaran kenapa Tanisha menanyakan hal tentang Diandra dengan emosi yang membakar kepalanya. Samar-samar Renan mendengar Tanisha mengumpat dan menggenggam erat ponselnya hingga tangan wanita itu memutih.

Ada apa sebenarnya?

SerotoninTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang