SEMBILAN BELAS

1.1K 211 41
                                    

Tanisha memerhatikan Renan yang begitu telaten merawat luka baru pada pergelangan tangan kanannya. Terkadang ia akan meringis dan Renan akan menjadi sangat terkejut serta khawatir. Namun Renan tak berkata apa-apa dan tetap diam saja yang menbuat Tanisha menjadi risih sendiri. Dia tidak terbiasa melihat Renan menjadi pendiam seperti sekarang.

"Aduh!" Dia meringis lagi dengan sengaja padahal gerakan Renan begitu lembut sehingga tak mungkin membuatnya merasa sakit. Renan menatap padanya dengan kekhawatiran yang menggelap di dalam kedua bola matanya. Ia berharap Renan mengatakan sesuatu seperti maaf atau bertanya bagian mana yang terasa sakit tapi pria itu tetap diam dan kembali melanjutkan pekerjaannya.

Tanisha menarik tangannya setelah Renan selesai lantas pria itu membereskan semua peralatan ke dalam kotak P3K. Renan bangun dan pandangan Tanisha masih mengikuti ke mana saja tubuh Renan bergerak. Pria itu masuk ke dalam kamar mandi lalu kembali lagi kepada Tanisha dan mengecup keningnya dengan begitu dalam yang membuat sesuatu di dalam diri Tanisha merasa sangat hangat dan nyaman.

"Tunggu di sini. Aku mau siapin sarapan buat kita berdua." Lalu Renan pergi keluar kamar menyisakan Tanisha sendiri yang masih dirundung seribu tanya tentang sikap Renan. Pria itu jelas marah karena Renan selalu memanggil namanya secara lengkap. Namun yang membuatnya merasa sangat tidak suka adalah ia tak tahu sebesar apa kemarahan Renan padanya hingga membuat pria itu berubah menjadi Renan yang lain.

Beberapa menit kemudian Renan datang dengan nampan berisi dua piring nasi kuning lengkap dengan semua lauknya yang sangat Tanisha suka dan segelas susu. Renan menempatkan nampan itu pada meja yang menjadi satu set dengan sofa hitam di tengah ruangan kamar yang luas ini. Lalu Renan menghampirinya dan menggendongnya menuju sofa.

"Aku bisa jalan sendiri."

"Diam!" Tanisha benar-benar kehilangan kata yang biasanya bisa dia gunakan untuk meredakan amarah Renan. Kali ini Renan tak main-main dengan kemarahannya. Dia duduk dengan patuh ketika Renan menurunkannya di sofa. Renan mengambil piring berisi nasi kuning itu lalu menyendoknya untuk disuapkan pada Tanisha.

"Kamu nggak seharusnya marah sama aku, Re."

Gerakan Renan terhenti di udara, biasanya Tanisha bisa membaca emosi dari ekspresi Renan namun kali ini Tanisha hanya mendapati kegelapan yang pekat menyelubungi Renan.

"Makan."

"Aku nggak mau."

"Makan."

"Aku nggak mau makan dan aku nggak mau kamu paksa-paksa gini terus!" Tanisha membentak Renan dengan keras berharap ia bisa mendapatkan reaksi pria di depannya ini. Namun Renan hanya mengambil napasnya dalam-dalam lalu mengembuskannya tanpa suara.

"Makan."

Entah bagaimana Tanisha mulai merasa takut pada sikap Renan yang tak biasa ini. Ujung-ujung jarinya bergetar hebat dan secara defensif tubuhnya beringsut mundur.

"Kamu nakutin aku, Re."

"Makan."

Renan tak mengatakan kata-kata selain itu dan tatapan pria itu seperti pusaran hitam di lautan yang siap menelan Tanisha hidup-hidup.

"Aku mau pulang," Tanisha menggumam namun Renan tak menanggapi ucapan Tanisha dan kembali menyuruh gadis itu untuk makan. Tanisha akhirnya pasrah dan merebut piring nasi kuning itu dari Renan.

"Aku mau makan sendiri."

***

Sepuluh menit kemudian Tanisha telah menyelesaikan sarapannya dan Renan memberikan segelas susu yang ia buat untuk Tanisha tadi. Gadisnya masih menurut dan meminumnya hingga tandas.

"Punya kamu nggak dimakan?" Tanya Tanisha.

"Kamu mau?" Tanisha menggeleng dan mereka kembali terdiam. Renan memaku tatapannya pada Tanisha dan memperhatikan perubahan yang perlahan terjadi pada gadis itu. Mata Tanisha mulai bergerak sayu dan gadisnya menatap padanya kini dengan kemarahan yang berkobar.

"Apa yang kamu masukin ke makanan aku, Re?"

"Obat penenang," jawab Renan tanpa merasa bersalah sama sekali setelah membuat Tanisha kehilangan kesadarannya sedikit demi sedikit.

"Sialan!" Renan menangkap tubuh Tanisha yang limbung ke depan karena gadis itu terlalu lemas dan mengantuk sekarang.

"Hanya ini cara aku bisa memiliki kamu tanpa harus khawatir kamu akan pergi meninggalkan aku."

"Kamu jahat, Re," gumam Tanisha sebelum akhirnya ia benar-benar jatuh dibuai oleh lelap.

Renan memeluk Tanisha dengan sangat erat seperti bagaimana ketakutan untuk kehilangan gadis itu mendekap jiwanya kini. Dia tak tahu sejak kapan rasa ini hadir, tapi dia sekarang benar-benar sangat takut untuk membayangkan sosok Tanisha yang terbujur kaku dan tak bernyawa.

Pertama kali mendengar dari Dirandra tentang rahasia yang dipendam Tanisha, membuat Renan merasa sangat menyesal dan sangat tidak berguna. Selama ini dia memang tahu Tanisha tidak baik-baik saja, tapi dia tak pernah tahu bahwa penderitaan Tanisha sedalam itu.

"Jangan mengasihani aku, Re. Aku nggak semenderita itu," Tanisha bergumam dalam tidurnya. Gadis itu sedang mencoba melawan efek dari obat penenang yang Renan berikan.

"I'm not. Satu-satunya yang aku kasihani di sini adalah diri aku sendiri. Karena aku tidak bisa melihat apapun itu bayangan di masa depan aku tanpa kamu."

Napas halus Tanisha mulai terdengar. Renan menemukan jika tubuh Tanisha sekarang sangat kurus dibanding dengan saat terakhir kali mereka bertemu.

"Aku tidak bisa membiarkan kamu pergi, Tanisha. Tidak sekarang ataupun nanti."

***

"Kamu tidak bisa terus-menerus memberikan obat penenang kepada Tanisha, Renan! Kamu bisa membuat dia celaka!"

"Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi! Dia selalu berusaha meninggalkan aku setiap kali dia bangun."

"Tapi tidak dengan seperti ini caranya, Renan!"

Tanisha mendengar sayup-sayup teriakan itu saling bersahutan dari luar kamar. Kesadarannya mulai kembali dengan perlahan. Dia menggerakkan tangannya dengan perlahan lalu kakinya dan manarik napas dalam. Setelah tenaganya terkumpul Tanisha mencoba untuk bangun meski lemas masih menguasai.

Satu per satu kakinya ia turunkan dari ranjang dan berjalan dengan tertatih dengan kedua kakinya yang dibalut perban menuju ke sumber suara. Dia mengenali suara seorang pria itu adalah milik Renan tapi ia tak tahu suara wanita yang diajak Renan berdebat.

Pintu yang terbuka sedikit membuat Tanisha mengernyit karena sedari kemarin Renan selalu mengurungnya di dalam kamar.

"Mama tidak ingin kamu melakukan kesalahan, Renan."

"Ma..."

"Mama tahu ketakutan kamu, tapi bukan seperti ini caranya, sayang."

"Apa aku akan menyakiti Tanisha seperti Papa yang menyakiti Mama?"

Tanisha memerhatikan interaksi antara Renan dan ibu pria itu di balik tembok yang menghubungkan ruang tengah dan dapur.

"Aku akan jadi monster seperti Papa. Bukan begitu, Ma?"

"Tidak, Renan. Kamu berbeda. Kamu bukan Papa dan kamu tidak akan menyakiti Tanisha sama sekali."

"Tapi aku melakukan cara yang sama dengan Papa. Aku memberi Tanisha banyak obat penenang agar Tanisha tetap di sini. Aku tidak mau Tanisha pergi, Ma. Aku sangat tidak bisa kehilangan Tanisha."

SerotoninTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang