Tiga tahun yang lalu...
"Eh Bang, ngelamun aja. Kak Risanya lama ya?" Dirandra menatap pada remaja tiga SMA yang berdiri di hadapannya. Wajah gadis itu kotor oleh tanah dan Dirandra melihat lututnya terluka.
"Berantem lagi lo, Cha?" Tanisha hanya menyengir hingga hidungnya berkerut pada Dirandra.
"Anak cewek jangan suka berantem deh, Cha. Nanti kalo wajah kamu codetan gimana?"
"Oplas 'kan bisa, Bang," balasnya sambil tertawa. Tanisha lalu duduk di kursi yang bersebelahan dengan Dirandra dan meneguk segelas sirup rasa jeruk yang dibuatkan Mbak Rina untuk Dira tanpa permisi.
"Punya gue tuh."
"Haus, Bang. Baru sumo gue tadi."
"Badan kecil gitu pantesnya WCW, Cha. Sumo terlalu tinggi levelnya buat lo."
"Abang nyebelin deh!" Tanisha pura-pura kesal pada Dira untuk mendapati tangan pria itu mengacak rambutnya hingga berantakan dan ia menjerit karena hal itu.
"Bersihin dulu tuh lutut lo, Cha. Nanti infeksi," ucap Dira yang hanya ditanggapi Tanisha yang mengikuti arah pandang Dira pada luka di lututnya dengan tanpa peduli.
"Nanti."
"Jangan nanti-nanti."
"Iya, bawel. Mau kencan ya, Bang? Asik ya yang pacaran. Eh udah jadi pacar lo belum tuh kakak gue?" Tanisha melihat pada Dira dengan jenaka. Dia tahu pasti kalau kakaknya masih belum menerima permintaan Dira untuk jadi pacarnya.
"Belum. Kemaren gue tembak lagi meleset lagi," jawab Dira yang pura-pura terlihat lesu. Tanisha menanggapi jawaban Dira dengan tawa yang keras.
"Impoten kali lo?"
"Sialan!" Dira menepuk lengan Tanisha pelan dan gadis itu kembali tertawa. Hal itu tak pelak ikut membuat Dira tertawa.
"Ya habisnya tembakan lo meleset mulu. Uler lo bukan dari spesies yang bagus kali, Bang!" Lalu Dira menjewer telinga kanan Tanisha dan gadis itu memekik meminta Dira untuk melepasnya.
"Ampun, Bang. Ampun!"
"Lo ada saran apa tips apa gitu buat bikin tembakan gue kali ini gak meleset? Hampir enam bulan gue deketin kakak lo masih belom dapet juga."
"Itu namanya lo kualat, Bang. Karma buat lo yang suka main celupin burung ke lobang buaya."
"Si kampret mulutnya minta dikasih cabe!" Tanisha lagi-lagi tertawa atas kekesalan Dira yang berhasil digodanya. Gadis itu tertawa hingga memegangi perutnya.
"Puas ketawanya?" Tanisha mengaduh lalu kembali menyambar sirup rasa jeruk milik Dira dan meneguknya hingga habis.
"Beliin kakak gue pabrik Alpenlible nanti gue jamin lo bisa langsung ngajak dia ke KUA." Dira menjentikkan telunjuk dan ibu jarinya menyetujui perkataan Tanisha. Dari dalam terdengar derap langkah yang terburu dan keduanya tahu itu Carissa.
"Dira, aku bikin kamu nunggu lama, ya? Tadi aku nyari flasdisk aku yang mau aku serahin ke temen aku nanti. Kamu nggak apa 'kan kalau nanti kita ketemu sama temen aku dulu buat ngasih flasdisk ini? Lho, Cha, udah pulang? Muka kamu kenapa? Kamu berantem lagi?" Carissa baru menyadari keberadaan Tanisha di samping Dira dan langsung memberondong adiknya dengan pertanyaan. Mata bulatnya memindai penampilan adiknya yang kotor dan berantakan juga luka pada lutut kanan Tanisha yang coba disembunyikan.
"Berapa kali kakak harus bilang ke kamu sih, Cha? Jangan bikin masalah terus-terusan." Nada suara Carissa terdengar frustasi. Seolah dia telah bosan dengan kelakuan Tanisha yang susah diatur dan urakan.
Tanisha mengepal tangannya pada keliman rok seragam abu-abunya dan Dira juga menangkap rahang remaja tiga SMA itu mengetat. Tawa dan keceriaan yang tadi berderai saat mereka bercanda langsung hilang digantikan dengan kesenduan. Entah mengapa Dira merasa tidak suka melihat kakak beradik ini melakukan hal ini.
"Masalah, ya? Buat Kakak, Mama sama Papa aku ini cuma masalah ya, 'kan? Aku selalu bermasalah di mata kalian semua."
Lalu Tanisha masuk begitu saja meninggalkan mereka berdua. Dira menatap Carissa yang memandang sedih pada punggung Tanisha yang semakin menjauh lalu menghilang. Ada serpihan kaca yang hendak berubah jadi air mata yang deras di dalam mata bulat Carissa.
***
Tanisha menutup pintu kamarnya dan segera menguncinya. Masalah. Dia adalah masalah. Mama bilang dia adalah masalah. Sekarang Carissa juga mengatakan hal yang sama. Dilemparnya tas sekolah secara sembarangan lalu Tanisha berjalan menuju meja riasnya yang memiliki kaca besar. Tanisha membuka ikatan dasinya yang kali ini ia ikat dengan benar dan erat tapi tak ada seorang pun yang menyadari hal ini.
Dua kancing teratas kemeja putih seragam OSISnya ia buka dan di sana terdapat lebam akibat cekikan. Lebam itu berwarna biru yang gelap dan bagaimana bisa semua orang menganggap kalau dia adalah masalahnya?
Dia memang bertengkar dengan salah satu temannya di sekolah tadi tapi itu terjadi bukan tanpa alasan. Tanisha sering diserang oleh teman sekolahnya namun bahkan tak ada seorang pun yang tahu karena Tanisha tak pernah mengatakannya pada siapapun.
Biasanya Tanisha tak memberikan perlawanan yang berarti. Terkadang dia akan membiarkan anak-anak itu menyerangnya dan menunggu hingga mereka selesai. Terkadang saat ia muak ia akan membalasnya tapi hal itu justru akan jadi bumerang saat orang tuanya atau Carissa dipanggil ke sekolah.
Dia adalah masalah.
Semua orang mengatakan hal yang sama.
"Keluarga lo tuh bermasalah! Pantes kalau lo jadi biang masalah!" Kata-kata temannya akan selalu Tanisha ingat.
Ia teringat pada suatu pagi ia pernah melabrak pacar teman dekatnya yang mengiriminya pesan tak bermoral malam sebelumnya. Namun temannya tak terima dengan tuduhan Tanisha pada pacarnya itu dan justru mengatakan hal yang sebaliknya.
"Gue yakin bukan cowok gue yang keganjenan. Gue udah curiga kalo lo tuh pagar makan tanaman, Cha. Lo selalu gangguin hubungan gue sama Nicko karena memang lo ngincer dia sejak awal ya, 'kan?"
"Nggak gitu, Gin. Gue pernah bilang sama lo kalau gue pernah lihat Nicko jalan sama dua cewek berbeda selain lo. Dan sekarang lo lihat kelakuan pacar lo yang ngirimin hal nggak pantes ke gue! Dia nggak baik buat lo, Gina."
"Cukup, Cha! Gue percaya kalo Nicko nggak bakal mulai kalau lo nggak mancing dia lebih dulu."
"Apa?"
"Nggak ada api kalau nggak ada yang nyulut, Tanisha. Ya memang sih, buah memang jatuh nggak terlalu jauh dari pohonnya. Kaya lo dan nyokab lo yang selalu bisa godain cowok orang."
Saat itu Tanisha marah tentu saja, dia berteriak dan menyerang Gina dengan membabi buta. Namun bukan belaan, Tanisha mendapati mata-mata itu memandangnya dengan penuh hina. Tanisha merasa sangat kecil dengan pandangan itu. Ia bertanya-tanya apa yang ia tidak tahu dan semua orang tahu tentang ibunya?
Berbekal dari hal itu esoknya Tanisha yang saat itu masih kelas dua SMA membolos sekolah untuk pertama kalinya hanya untuk mendapati sang ibu berpergian bersama pria lain yang bukan ayahnya. Sejak saat itu Tanisha memilih menutup diri dari semua orang. Dia tak tahu kenapa hidupnya semakim rumit. Dia masih terlalu kecil untuk mengerti kenapa Mama selalu marah padanya dan menyebutnya sebagai sumber masalah. Dia masih terlalu muda untuk tahu kenapa teman-temannya menganggapnya sebagai biang masalah untuk kesalahan yang diperbuat Mamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serotonin
RomanceBagi Renan Fausta Adiwilaga, cinta hanya ada dalam fiksi dan cerita dongeng. Bahagia hanyalah kata, Renan adalah kegelapan yang memakai jubah cahaya. Sejak perceraian orang tuanya, yang Renan tahu tentang sebuah hubungan hanyalah sebuah omong kosong...