DUA PULUH EMPAT

1K 179 10
                                    

"Wanita murahan! Apa yang pria itu berikan padamu dan tidak bisa aku berikan?"

"Jaga bicara kamu!"

"Apa kamu bilang?"

"Aku muak. Aku muak dengan semua ini. Kenapa tidak kita hentikan saja? Berhenti untuk saling melukai satu sama lain?"

Adu teriakan itu terhenti oleh sebuah suara tamparan yang memecah hening malam. Di dalam persembunyiannya, Renan kecil menyaksikan bagaimana ayah dan ibunya selalu saling melempar emosi dan caci maki. Dia tidak mengerti kenapa orangtuanya tidak bisa seperti orangtua Leonard, temannya di sekolah yang selalu datang menjemput Leonar bersama lalu mengajak temannya itu membeli banyak mainan. Atau seperti ayah dan ibu Bernard yang selalu membuatkan kue-kue lezat dan manis ketika mereka merayakan sesuatu yang menyenangkan.

Di kesehariannya, Renan selalu diantar jemput oleh supir. Ibunya sibuk bekerja dan ayahnya sibuk dengan perusahaan. Renan tak mengeluh tentang betapa sibuk kedua orangtuanya hingga tidak bisa menemaninya bertanding saat hari ulang tahun sekolah tiba. Atau berkumpul bersama dengan tetangga merayakan hari Thanksgiving. Dia tahu bahwa orangtuanya mencari uang untuk membelikannya banyak sekali mainan.

Namun dari semua itu, yang Renan tak dapat mengerti adalah, kenapa orangtuanya selalu bertengkar? Kenapa Papa selalu memukul Mama? Dan kenapa Mama selalu tidur di bawah kasurnya setelah lelah menangis?

Sampai suatu hari, dia melihat ketika Papa menyeret Mama yang hari itu kembali pulang larut malam. Papa menarik rambut Mama, membuatnya terpaksa mengikuti langkah lebar Papa dengan isak kesakitan yang tertinggal disepanjang keheningan.

Takut-takut Renan mengikuti. Dengan mainan robot Robin di dalam dekapan, dia mengendap-endap di dalam keremangan cahaya. Kaki kecilnya menaiki satu per satu tangga. Semakin ia dekat dengan kamar orangtuanya semakin keras teriakan yang ia dengar.

"Stop it! Please, stop it!" Itu suara Mama. Renan mengintip dari balik celah pintu yang tidak sepenuhnya tertutup. Di sana ia melihat Papa tengah memukul Mama dengan ikat pinggangnya hingga kaki Mama memunculkan banyak sekali bekas kemerahan.

Robot di dalam dekapan Renan terjatuh dan membuat bunyi yang cukup keras. Bergegas Renan berlari untuk sembunyi ketika dia melihat Papa dan Mama tampak menoleh dengan keterkejutan di dua pasang mata mereka.

"Renan..." itu suara Papa. Entah kenapa, pada saat itu Renan merasa benar-benar takut pada Papa. Nada suara yang biasanya Papa gunakan untuk menemukannya saat bermain petak umpet bersama ini terasa berbeda. Seperti ada ancaman dan membuat Renan benar-benar ketakutan sampai dia merasakan sesuatu yang basah di bawah pantatnya.

"Renan, my son. Come out come out wherever you are."

Renan semakin menyembukan dirinya di antara celah dua lemari yang berisi koleksi guci dan piring antik Mama. Tapi entah bagaimana akhirnya Papa bisa menemukannya. Mungkin karena gemeletuk giginya yang begitu keras terdengar atau karena Renan yang mengompol terlalu banyak. Yang jelas, wajah Papa malam itu tak bisa ia kenali sebagai Papanya yang selalu bisa membuat Renan tertawa karena selalu bisa membuat Mama membiarkan Renan menyantap kue coklat.

"Renan..."

***

Renan terbangun dengan sentakan keras dari alam mimpinya. Mimpi itu lagi. Beberapa hari terakhir mimpi yang sudah lama ia kubur jauh di dalam sistem otaknya entah bagaimana kembali ke permukaan. Mengacaukan segala isi pikiran Renan.

Dan membuat Tanisha menjadi ketakutan dan curiga kepadanya.

Dia memiliki alasan kenapa dirinya menjadi seperti sekarang. Setelah semua kehilangan yang terjadi, setelah semua rasa sakit yang dia lalui. Renan tidak bisa merasakan lebih banyak lagi kesedihan ketika seorang yang begitu ia sayangi direnggut dari hidupnya.

Renan mengambil ponselnya dan yang ia dapati untuk kesekian kali hanyalah kekosongan. Tak ada nama Tanisha yang muncul di layar. Hanya pemberitahuan tak penting yang segera Renan hapus dari sistem.

Tiga hari sudah berlalu sejak kepulangan Tanisha ke rumahnya. Kekhawatiran Renan kepada pacarnya itu kian menjadi ketika selama tiga hari ini Tanisha sama sekali tidak bisa dihubungi. Jangankan telepon, pesan singkat saja tak satupun Tanisha kirimkan kepadanya untuk sekadar menghapus gundah karena memikirkan Tanisha yang hilang kabar.

Meski sebenarnya Renan tak perlu semua inisiatif Tanisha untuk memberinya kabar terlebih dahulu karena Renan selalu tahu apa saja yang sedang Tanisha lakukan.

Katakan dia memang sudah gila karena dia menyuruh seseorang untuk selalu mengikuti dan melaporkan semua hal yang dilakukan Tanisha selama beberapa hari ini.

Renan hanya tidak bisa kehilangan gadis itu.

Tidak ketika Renan bisa melindunginya.

Lamunan Renan dihentikan oleh suara bel pintu. Ini pukul lima sore dan Renan bertanya-tanya siapa yang menekan bel pintu. Dia turun dari ranjang, sedikit bercermin untuk merapikan penampilannya yang agak berantakan lalu berjalan dengan malas menuju pintu.

Saat pintu terbuka, Renan mendapati Tanisha berdiri di depan pintunya dengan kesedihan yang menggelapkan parasnya yang jelita.

"Sayang, ada apa?"

Renan mencoba menekan segala amarah yang mulai memercik dan hendak membakar akal sehatnya. Ini adalah yang paling dia takutkan ketika melepas Tanisha untuk pulang ke rumah gadis itu. Tanisha akan kembali sedih dan terluka.

Dibawanya Tanisha untuk masuk dan ia segera memeluk gadisnya itu dengan erat. Perlahan Renan merasakan air mata Tanisha membasahi kaos oblong putih yang dipakainya. Ada sepercik kesenangan yang menghangatkan jiwa ketika mengetahui bahwa perkataan Tanisha tempo hari salah ketika gadisnya ini mengatakan jika ia hanya bisa menangis saat Renan terluka. Sekarang Renan tidak terluka dan Tanisha bisa menangis di dalam pelukannya.

"Kamu bisa cerita sekarang kalau kamu mau."

Renan mengangsurkan secangkir teh hangat yang harum kepada Tanisha. Sedu masih terdengar beberapa kali, bibir gadis itu digigit dengan keras lalu Tanisha kembali menangis.

"Hey, nggak apa kalau kamu belum siap untuk cerita. Aku akan selalu ada di sini buat menunggu kamu siap."

Renan mengelus lembut rambut Tanisha yang tergerai dan terhampar di punggung gadis itu yang kecil dan kurus. Hati Renan selalu terasa begitu sakit ketika mengingat seberapa banyak luka dan beban yang ditanggung pundak kecil itu. Derita di dalam hidupnya tak seberat yang didera oleh Tanisha.

"Kak Rissa..."

"Ada apa dengan kakak kamu?"

"Kak Rissa... Mama masukin Kak Rissa ke rumah sakit jiwa. Aku harus gimana sekarang, Re?"

SerotoninTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang