Tanisha menutup pintu toilet dengan keras hingga menimbulkan bunyi yang begitu kencang. Emosinya sedang berada di puncak. Jika ia tidak menjauh dari keramaian, bisa saja dia membuat keributan lain.
Dirogohnya tas yang ia pakai untuk mencari obat penenang yang selalu ia bawa kemanapun. Tapi sial, botol itu sudah kosong dan tubuhnya juga sedang dalam pengaruh alkohol semalam.
"Shit!"
Tanisha memegang kepalanya yang tiba-tiba terasa pening. Dia mengambil waktu untuk menarik napas dalam berkali-kali. Psikaternya bilang itu akan membantu Tanisha mengurangi stress yang ada sehingga Tanisha bisa menghindari penggunaan obat penenang.
"Anjing!"
Tapi tidak bisa. Tanisha tak pernah bisa menahan kemarahannya tiap kali berhadapan dengan Dirandra. Apa yang dilakukan pria itu padanya dan sang kakak adalah sebuah dosa besar yang tak termaafkan.
Ponselnya yang ada di dalam tas berbunyi. Membuat Tanisha kembali mengumpat lagi sebelum mengrenyit saat nama Mbak Rina muncul di layar.
"Ada apa, Mbak?"
"Non Icha, pulang, Non. Pulang sekarang."
Suara Mbak Rina yang terdengar seperti sedang menahan tangis membuat Tanisha menahan napas. Ada apa lagi?
"Ada apa, Mbak?" Tanyanya mencoba menekan stress yang semakin naik.
"Non Carissa ngamuk lagi, Non Icha. Mbak takut Non Carissa kenapa-napa, Non. Non Icha pulang, ya?"
"Iya, Mbak. Aku pulang sekarang."
Tanisha menutup panggilan telepon Mbak Rina dan bergegas untuk pulang. Pikirannya semakin berantakan. Biarpun kakaknya suka mengamuk, tapi kalau sampai Mbak Rina memintanya untuk pulang pasti ada pemicu yang membuat amukan Carissa tidak bisa diatasi oleh Mbak Rina.
"Cha, mau ke mana? Buru-buru amat!"
"Jorell."
Tangannya ditangkap oleh Jorell yang sepertinya hendak menuju ke kantin. Kantik anak fakultas ilmu komunikasi dan fakultas teknik dan ilmu komputer memang dijadikan satu karena gedungnya yang bersebelahan.
"Mau kemana? Ngantin, ayok!"
"Nggak bisa, Rell. Gue buru-buru."
"Mau ke mana? Gue anterin."
"Nggak usah...," Tanisha menjeda ucapannya saat satu ide terlintas dalam pikiran.
"Gue pinjem mobil lo aja. Lo bawa mobil, 'kan?" Jorell mengangguk.
"Gue pinjem!"
"Iya, tapi lo mau kemana, cinta? Gue anterin deh, lo keliatan panik banget gue takut lo kenapa-napa kalau nyetir sendirian. Pasti ugal-ugalan di jalan ntar," Jorell mencoba bertanya lagi tapi Tanisha tidak menjawab sesuai keinginan pria itu.
"Udah cepetan jangan banyak bacot! Gue buru-buru, Rell."
"Iya, iya, cinta." Jorell merogoh sakunya dan mengeluarkan kunci mobil. Tanisha menyambar saja kunci mobil yang belum secara resmi diserahkan Jorell padanya.
"Thanks. Nanti lo pulang sama Renan aja, ya? Bye, Jo!"
***
Mobil Jorell yang dikendarainya telah sampai di rumah empat puluh menit kemudian. Tanisha sudah berusaha sampai secepat mungkin tapi kemacetan Jakarta selalu tak dapat dihindari. Tanisha turun dan berjalan ke pintu dengan cepat.
"Non."
"Gimana, Mbak? Kak Risa masih ngamuk?"
"Masih, Non. Maafin Mbak sudah bikin Non Icha khawatir gini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Serotonin
RomanceBagi Renan Fausta Adiwilaga, cinta hanya ada dalam fiksi dan cerita dongeng. Bahagia hanyalah kata, Renan adalah kegelapan yang memakai jubah cahaya. Sejak perceraian orang tuanya, yang Renan tahu tentang sebuah hubungan hanyalah sebuah omong kosong...