DELAPAN BELAS

1.1K 216 7
                                    

Tanisha merasa bingung setengah mati dengan apa yang terjadi pada dirinya sekarang. Setelah adegan mandi yang penuh drama keterdiaman Renan yang sangat tidak ia sukai dan ia yang memalu karena tubuhnya begitu rentan disentuh oleh Renan di mana-mana, sekarang ia harus menerima kenyataan bahwa Renannya memang sudah gila.

Tidak.

Renan bukan lagi miliknya.

Mereka sudah putus.

Dia masih disekap dan yang lebih parah dari semua drama pagi ini adalah tangan kanannya terborgol di dipan sementara Renan pergi ke luar untuk membeli makan. Tanisha tidak tahu darimana Renan mendapatkan borgol ini. Bunyi denting terus mengalun karena Tanisha terus memainkan borgol itu berharap suatu keajaiban terjadi dan ia bisa lepas. Soal luka di kakinya, Renan sudah mengganti perban juga mengoleskan salep pada lukanya. Ia mendapat banyak jahitan di telapak kakinya yang beberapa hari lalu menginjak pecahan gelas.

Tanisha kembali bertanya pada dirinya sendiri. Sudah berapa lama dia berada di sini. Kepalanya mengitari ruangan yang begitu asing, mencoba mencari barang pribadinya yang mungkin masih tersisa. Nihil, baik ruangan ini, Renan ataupun dirinya sendiri semuanya terasa asing.

Tubuhnya kembali meringkuk, tenggelam dalam luka lama yang tak pernah bisa ia rasakan sakitnya meski hal itu mengonyak jiwanya hingga jadi serpihan. Kejadian beberapa hari lalu kembali berputar-putar dalam kepalanya.

Carissa kambuh lagi setelah Mama membakar boneka yang Dira berikan kepada kakaknya dan mereka terpaksa harus membawa Carissa ke rumah sakit jiwa. Kepulangan Papa tidak memperbaiki keadaan alih-alih membuatnya menjadi semakin buruk. Papa pulang bersama dengan Om Rendra yang tak lain adalah pasangan yang Papa pilih untuk menemani hidupnya ketimbang Mama.

Carissa mengamuk, pun dengan Mama. Malam itu Tanisha dikunci oleh Mama di luar dan ia mendengar Carissa menjerit dengan sangat kencang. Kekacauan malam itu membuatnya hancur berkeping, ia merasa tak ada lagi harapan atau sesuatu yang cukup berharga untuk ia pertahankan.

Keluarga yang gila dan pacar yang tak berguna.

Tanisha punya seribu alasan untuk meninggalkan dunia yang membenci dan dibencinya ini. Dia tak pernah benar-benar memiliki sesuatu, ketika dipikirnya ia mungkin memiliki Renan sebagai pacar atau Adsila sebagai teman, nyatanya Adsila berteman dengannya karena memang dia tidak berguna. Karena Adsila mencari teman yang tidak sibuk menggunjingi dirinya di belakang.

Tidak ada alasan di berada di sini. Di dunia ini atau di tempat yang asing ini bersama dirinya dan Renan yang sama-sama asing. Tanisha menggerakkan tangannya mencoba untuk meloloskan borgol yang mengunci geraknya itu. Dia mengabaikan jika kini tangannya yang memerah berubah memar dan mulai mengeluarkan darah. Rasa sakit ini bukan seberapa jika dibanding dengan rasa sakit yang ada di dalam hatinya.

***

"Tanisha!" Suara Renan terdengar dari pintu kamar. Pria itu lalu melihat Tanisha yang sedang berusaha melepaskan tangannya dari borgol yang tadi ia pakaikan. Namun panggilannya hanya dihiraukan oleh Tanisha dan menjadi ikut panik ketika melihat darah yang mengalir dari pergelangan tangan gadis itu.

"Tanisha, berhenti!"

"Tanisha!"

"Tanisha!"

Akhirnya Tanisha berhenti setelah Renan mengguncang tubuh gadis itu dan membentaknya dengan sangat keras. Lubang besar dan hampa masih tercipta di kedua keping hitam milik Tanisha.

"Apa yang kamu lakukan?" Renan kembali tak dapat menahan air matanya. Drama pagi tadi masih berlanjut dan sepertinya ia harus kembali mengucapkan selamat tinggal pada ketenangan.

Renan membawa Tanisha ke dalam dekapannya dan merasakan gadisnya menarik napasnya dengan susah payah. Hal itu membuat Renan merasa sakit juga yang akhirnya ia benar-benar mendekap erat Tanisha karena dirinya merasakan ketakutan yang sangat besar itu kembali jatuh di atas kepala.

"Re, kalau kamu mau bikin aku tidur lagi, bisa nggak kamu bikin aku nggak bangun sekalian? Dunia ini sangat membenci aku, Re. Kami asing satu sama lain dan aku udah sangat capek hidup seperti ini."

Renan tak tahu bagaimana harus berkata-kata. Segumpal sesak menyumbat kerongkongan dan ia menjadi susah bernapas.

"Jangan bilang seperti itu."

"Bahkan kamu ninggalin aku."

"Aku nggak bermaksud seperti itu."

"Kamu bohong, Re. Kamu bohong sama aku."

"Tanisha, berhenti."

"Aku capek, Re. Nggak ada yang bisa aku pertahanin lagi. Semuanya udah ninggalin aku. Termasuk kamu."

"Maaf."

"Gaada yang perlu dimaafin di sini, Re. Aku nggak akan mengambil maaf kamu atau meminta maaf kepada kamu. We've done. That's it."

"Tidak. Aku tidak akan membiarkan kamu pergi. Tidak akan." Lalu Renan merasakan Tanisha terkekeh ringan di dadanya. Ia tidak tahu hal lucu apa yang tiba-tina ditertawai oleh Tanisha.

"Cara ngomong kamu berubah. Kamu bukan Renan aku. Kamu orang asing sekarang, Re. Kita terlalu asing."

Setiap perkataan Tanisha membuat isi kepalanya semakin ramai. Bisikan-bisikan tak perlu itu datang secara bertubi-tubi hingga membuat kepala Renan terasa sangat pening.

"Karena aku sangat takut sekarang. Aku sangat takut sampai tak sadar bahwa aku menjadi orang lain untuk kamu. Kamu tahu apa artinya ini?"

"Apa?"

"You're mean a lot for me. Aku mencintai dan menyayangi kamu, Tanisha."

Tanisha melepas sedikit pelukannya dan mendongak kepada Renan dengan kekosongan yang masih sama besarnyaa pada kedua bola mata gadis itu. Dan Renan juga menyadari bahwa wajah Tanisha tidak dihiasi oleh air mata, seperti apa yang Dirandra katakan padanya beberapa hari yang lalu.

"Renan, love is a big bullshit. Don't say that shit to me."

"Kenapa kamu melarang aku seperti itu?"

"Karena aku nggak mengenal apa itu cinta, Re. Kalau kamu menginginkan cinta, kamu nggak akan bisa dapetin itu dari aku. Kalau kamu menginginkan cinta, kamu harus mencari seseorang yang akan mencintai kamu kembali, Re. Someone isn't me.

"Aku udah hancur, Re. Kamu lihat aku sekarang. Bahkan aku gak ngerasain sakit buat luka di pergelangan tangan aku. Sakit yang ada di sini," Tanisha menyentuh dadanya. Renan memerhatikan wajah Tanisha tapi ia tak bisa menemukan ekspresi apapun di sana.

"Di sini harusnya terasa sangat sakit sampai bikin aku nangis yang nggak banget tapi aku nggak bisa, Re. Bahkan untuk mencintai diri aku sendiri aja aku nggak bisa. Bagaimana aku bisa membalas mencintai orang lain?" Lanjutnya. Kata-kata Tanisha menusuk tajam ke dalam dadanya sampai ia tak sadar bahwa Tanisha sedari tadi melihatnya dengan seribu emosi ketika melihat Renan dengan mudahnya menangis untuk gadis itu.

"Aku iri sama kamu sekarang, Re. Kamu bisa nangis bahkan untuk hal nggak penting yang nggak kamu ngerti alasannya apa. Sedangkan aku... aku nggak bisa berbuat apa-apa untuk kesedihan dan luka aku."

SerotoninTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang