Dari sekian banyak hal yang terjadi di hidupnya, mungkin satu-satunya hal yang masih Jorell sangat sayangkan adalah pindah dan pergi jauh dari Tanisha yang akhirnya merubah hubungan di antara mereka berdua. Jorell ingat sesaat mereka mendarat di bandara Singapura, ponselnya yang baru saja ia nyalakan kembali langsung diberondong dengan banyak pemberitahuan pesan dan panggilan tak terjawab dari satu nama yang sama.
Tanisha.
Jorell lekas menghubungi kembali Tanisha tapi cewek itu tak mengangkat panggilannya hingga ia kembali lagi ke Jakarta dua tahun kemudian dan mereka bertemu lagi di universitas yang sama.
Tapi Tanisha tak lagi seperti yang ia kenal dulu. Atau mungkin Tanishalah yang tak ingin lagi mengenal dirinya. Memang salahnya pergi tanpa memberitahu Tanisha lebih dulu. Namun kepergiannya juga begitu mendadak dan tak mungkin ia menolak keinginan Papanya untuk ikut pindah ke Singapura.
Saat itu Mama harus menjalani pengobatan setelah operasi pengangkatan rahim yang beberapa waktu sebelumnya dilakukan. Papa yang kebetulan dipindah tugas ke Singapura mengajaknya dan Mama ikut serta sekalian melanjutkan pengobatan Mama di sana
Dua tahun kembali ternyata keadaan tak lagi sama seperti yang Jorell harap. Tanishanya yang lugu dan manis dulu kini tak lagi terlihat seperti itu. Cewek itu lebih menutup dirinya, bersikap dingin dan urakan. Jorell bahkan terkejut mendapati di hari pertama ospek mereka Tanisha berani membalas dengan lebih kasar semua sarkasme dari kakak tingkat yang ditunjukan kepada cewek itu karena telat datang dan tidak membawa apa yang mereka suruh.
Jorell menyusuri jalanan perumahan yang dulu keluarganya tempati. Di komplek perumahan ini pula ia bertemu dengan Tanisha saat mereka masih berusia lima tahun. Mereka sudsh bersahabat sejak taman kanak-kanak. Jorell nyaris mengenal Tanisha seperti mengenal dirinya sendiri.
Hingga membuat Jorell sendiri heran kenapa Tanisha bisa berubah sebegitu drastis dalam waktu kurang dari dua tahun. Tak banyak yang bisa Jorell lakukan karena Tanisha cenderung selalu menghindar tiap kali Jorell mengajaknya berbicara.
Jorell berhenti di depan rumah lamanya yang kini sudah jadi milik orang lain. Rumahnya dulu hanya berbeda jalan dengan rumah Tanisha. Tak jauh dari rumahnya ada taman yang terletak di persimpangan menuju rumahnya. Jorell ingat dia dan Tanisha bertemu pertama kali di tempat itu. Lalu ternyata mereka satu sekolah hingga sekarang.
Tanisha dulu sangat senang bermain ayunan dan dia yang akan mendorong ayunan itu untuk Tanisha. Atau cewek itu akan bermain prosotan dan Jorell akan dengan senang menunggu Tanisha di bawah prosotan itu.
Ketika mereka menginjak bangku SMP dan sudah mulai puber, mereka mengganti kegiatan main dengan nongkrong di depan minimarket yang ada di depan komplek perumahan. Bermain gim dengan gawai masing-masing atau mengobrol ringan seputar kegiatan sekolah mereka yang kadang lebih banyak diisi kekonyolan teman-teman mereka.
Tak terasa langkah telah membawa Jorell ke jalan rumah Tanisha berada. Sepintas ingatan hadir di dalam kepala.
Sekitar dua bulan sebelum kepergiannya, Jorell pernah menemukan Tanisha yang duduk di depan pagar rumah cewek itu tengah malam. Jorell sempat ragu jika itu memang Tanisha, tapi seragam sekolah yang masih dikenakan gadis yang duduk di depan pagar itu membuat Jorell yakin jika gadis itu adalah Tanisha.
Jorell bergegas menghampiri Tanisha yang duduk di tanah dengan dagu yang ditumpukan di lututnya yang tertekuk. Rambut panjangnya yang tergerai menutupi wajah cewek itu.
"Cha, lo ngapain di sini malem-malem gini?"
Jorell sempat melihat ekspresi terkejut di wajah Tanisha sebelum cewek itu kembali pada wajah tanpa ekspresinya. Sepasang keping hitam Tanisha berkedip beberapa kali dengan begitu cantik. Jorell terpana lagi oleh keindahan cewek itu untuk yang kesekian kali.
"Cha, ngapain lo di sini?"
Tanisha tersenyum lalu menjawab, "Gue kekunci, Jo."
Seketika kening Jorell kerut merut sementara matanya memicing, tak percaya pada ucapan Tanisha. Jorell menengok ke sela pagar dan mendapati pos satpam di rumah Tanisha menyala lampunya. Ia juga sempat melihat bayangan satpam rumah keluarga Arsyadinata itu tadi.
Jorell kembali menunduk, menatap pada Tanisha yang masih menatapnya dengan sepasang keping hitam itu yang hampa. Jorell tahu ada yang tidak beres di sini tapi dia tidak mungkin langsung bertanya kepada Tanisha. Jorell sangat tahu cewek itu tak mudah untuk terbuka sekalipun padanya, teman yang menemani Tanisha sedari kecil.
"Ikut gue pulang aja yuk, Cha!"
Sepasang kepinh hitam Tanisha kembali membeliak, terkejut untuk beberapa detik. Lantas cewek itu menggeleng kerasa seraya menguatkan penolakannya dengan berkata, "Nggak usah, Jo. Bentar lagi juga Mama sama Papa balik. Gue udah telepon mereka tadi sebelom lo ke sini."
Jorell sungguhan makin curiga. Mana mungkin semua penghuni rumah itu pergi dan Tanisha tidak tahu akan hal itu.
"Terus Kak Risa dimana?"
"Nginep di rumah temennya. Tadi dia pamit smaa gue."
"Satpam rumah lo?"
"Pulang kampung."
"Mbak Rina juga?"
Cewek itu pun mengangguk. Dengih napas Jorell terembus kasar. Cowok itu berjongkok di depan Tanisha membuat tinggi mereka sejajar sekarang. Samar dan singkat, Jorell sempat melihat ada lebam yang sudah mulai membiru di leher Tanisha. Pun gelagat cewek itu yang lekas mencoba menutupi hal itu dengan menarik riap-riap rambutnya ke depan.
"Ikut gue pulang aja, ya?"
"Nggak, Jo. Nggak usah."
"Lo udah makan belum?"
Tanisha mengangguk tapi tiga detik kemudian suara perut Tanisha terdengar di kesunyian. Mereka saling bertatapan, Jorell tertawa kala Tanisha menunduk malu.
"Nyebelin banget sih, lo!" Sentak Tanisha sebal pada Jorell yang masih belum berhenti tertawa.
"Ayo ikut gue. Gue beliin lo makan."
"Gue nggak lapar, Jo!"
"Itu perut lo bunyi lagi."
Tanisha cemberut karena Jorell masih belum berhenti menggodanya dan menertawai dirinya. Tanisha memang lapar, tapi meninggalkan tempat ini tentu akan menimbulkan masalah yanh lebih besar dan lebih panas dari neraka.
"Udah deh sana pulang! Nggak baik anak kecil keluyuran malam-malam. Diculik Wewe Gombel hilang perjaka lo nanti."
Jorell gemas sekali dengan Tanisha. Tangannya pun terulur untuk mengacak puncak kepala Tanisha yang membuat cewek itu memanggil namanya dengan nada penuh kekesalan.
"Cha, lo yakin nggak mau ikut gue pulang? Bahaya kalo lo nungguin bonyok di sini sendirian."
"Bicik banget deh. Udah pulang aja sana!"
"Kalo nggak mau ikut gue pulang, gue temenin nunggu deh."
"Nggak perlu, Jorell. Paling lima belas menit lagi bonyok sampai kok. Udah sana lo pulang!"
"Ya udah gue pulang. Nanti lo kabarin, ya?"
Hal yang tidak Tanisha tahu, malam itu Jorell menunggui Tanisha semalaman tanpa terlihat oleh cewek itu. Tanisha baru masuk ke dalam rumah saat subuh tiba dan betapa terkejutnya Jorell ketika melihat ibu cewek itu yang membukakan sendiri pintu pagar rumah itu. Tanisha masuk dengan kepala menunduk seraya kedua tangannya meremas tali tas punggung yang masih dipakainya.
"Sebenernya apa yang terjadi sama lo, Cha?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Serotonin
RomanceBagi Renan Fausta Adiwilaga, cinta hanya ada dalam fiksi dan cerita dongeng. Bahagia hanyalah kata, Renan adalah kegelapan yang memakai jubah cahaya. Sejak perceraian orang tuanya, yang Renan tahu tentang sebuah hubungan hanyalah sebuah omong kosong...