TUJUH BELAS

1.1K 223 14
                                    

Tiga hari yang lalu...

Renan dengan panik membawa Tanisha ke rumah sakit terdekat. Butuh waktu enam menit untuk membelah jalanan pada jam-jam kerja yang memang tidak terlalu padat. Sesampainya di sana beberapa petugas IGD langsung menangani keadaan Tanisha. Dua orang perawat membersihkan darah dan luka di tubuh Tanisha sementara seorang dokter memeriksa tanda vital Tanisha melalui mata dan detak jantung gadis itu.

Lantas Tanisha dibawa ke ruang inap setelah semua pemeriksaan itu selesai namun Tanisha masih belum juga sadarkan diri. Renan mengambil waktu itu untuk mengabari Mbak Rina dan asisten rumah tangga Tanisha itu terdengar sedih dan panik. Namun Renan meminta Mbak Rina untuk tetap berada di rumah menjaga Carissa. Mbak Rina terdiam untuk beberapa saat sebelum mengiyakan permintaan Renan. Ia tahu Mbak Rina pasti terkejut dan bingung bagaimana Renan bisa tahu tentang Carissa.

Ketika Renan kembali lagi ke dalam kamar rawat Tanisha, ia tak dapat menemukan gadis itu di atas ranjangnya. Renan memanggil nama Tanisha beberapa kali namun tak ada jawaban. Degup jantungnya mulai berulah dan rasa panik yang pekat mengganggu konsentrasi otak. Renan memasuki kamar mandi dan ia melihat Tanisha yang sedang melukai lengan gadis itu sendiri.

"Tanisha!" Renan secepat mungkin melangkah untuk dapat menghentikan perbuatan gadis itu. Renan merebut pisau buah yang Tanisha gunakan untuk melukai dirinya sendiri. Kemarahan berkobar di dalam diri Renan bercampur dengan rasa takut yang Renan sendiri tak tahu kenapa ia bisa merasa setakut ini. Renan seolah merasa setiap otot dan syarafnya lumpuh oleh ketakukan yang menyusup pada sistem tubuhnya.

Tapi Tanisha tak mudah melepaskan pisau itu. Bahkan tangan Renan ikut terluka dan ketika Renan berhasil menggapai pisau itu mata mereka saling bertemu. Ranan tak bisa menemukan Tanisha meski gadis itu kini berada di dalam matanya. Air mata luruh dengan begitu mudah, terasa panas membasahi pipinya. Lantas Renan mendekap Tanisha begitu erat di dalam dadanya. Getaran yang besar membuat tubuhnya menggigil begitu hebat.

Hari-hari melelahkan itu terus berjalan hingga esok berganti lusa. Renan kini nyaris sama kacaunya dengan Tanisha. Ingatan buruk di masalalunya mulai terkuak dan mencekik jalur pernapasannya. Renan tak bisa meninggalkan Tanisha sama sekali sekarang ketika setiap kali Renan pergi Tanisha akan menggunakan kesempatan itu untuk kembali melukai diri.

"Ma..." Renan memanggil mamanya dengan suara parau. Kini mereka telah berada di apartemen Renan yang lainnya yang berada di daerah Kebayoran Baru setelah Renan memarahi seluruh paramedis yang menangani Tanisha karena mereka mengatakan seharusnya Renan membawa Tanisha ke rumah sakit jiwa.

Tanishanya tidak seperti itu.

Tanishanya akan segera sembuh sebentar lagi dan mereka akan kembali bersama.

"Dia akan baik-baik saja, Re," ujar mama seraya tangan lembut wanita itu terus mengelus rahang anaknya yang sangat ia rindukan.

"Aku takut, Ma." Erinna Candragitha tersenyum pada anaknya yang telah tumbuh dewasa dan begitu tampan.

"Dia cantik," ucap Erinna.

"Ya. Dia cantik sekali."

"Dan kamu sangat jahat karena kamu hanya menceritakan kepada Mama betapa cantiknya dia selama dua tahun ini tanpa mempertemukan Mama dengan pacar kamu." Renan tersenyum pada Erinna seraya tangannya menyentuh sebuah bekas luka memanjang di pipi sang mama.

"Apa orang cantik akan selalu terluka, Ma? Seperti Mama yang terluka oleh Papa, Tanisha terluka karena aku, Ma. Aku monster seperti Papa."

Erinna memandang tepat pada mata coklat kayu cendana yang begitu mirip dengan seseorang yang pernah menyinggahi seluruh isi hatinya. "Apa kamu sangat mencintainya, Re?"

"Apa aku tampak seperti tidak mencintainya, Ma? Ketika sekarang aku tidak bisa memikirkan apapun karena takut sesuatu terjadi pada Tanisha. Bagaimana kalau aku kehilangan dia seperti aku harus kehilangan Mama?" Bola mata Renan bergerak ke segala arah. Ada kegelapan pekat yang menyelubungi jiwa Renan dan membawanya menjauh.

"Renan!"

"Aku takut, Ma."

"Renan!"

"Aku sangat mencintai Tanisha tapi Tanisha selalu seperti tidak peduli pada aku."

"Renan!"

"Kadang aku ingin melepas gadis itu, Ma. Tapi semakin aku ingin, semakin aku tidak bisa."

"Renan!"

"Itu sebabnya aku menghindari Tanisha ketika aku bertemu dengan Papa. Aku tidak pernah ingin Tanisha terluka karena ini membuat aku sangat takut, Ma."

"Tapi aku justru berakhir menyakitinya. Aku... aku monster, Ma."

Erinna memeluk anak lelakinya dengan erat dan terus menggumam bahwa tidak akan ada sesuatu yang buruk yang akan terjadi pada Tanisha ataupun Renan.

"Maafkan Mama untuk pilihan yang Mama pilih hingga harus membuat kamu terluka, Re."

***

"Apa kamu hanya akan berdiri di sana tanpa melakukan apapun, Tanisha?"

"Aku bisa sendiri. Kamu bisa pergi."

"Ya, dan mungkin kamu akan memecahkan kaca untuk melukai diri kamu lagi atau menjedotkan kepala kamu ke dinding. Mandi. Sekarang."

Tanisha tak mengerti dengan apa yang terjadi pada Renan. Dia tak bisa mengingat apapun kecuali ketika dia terbangun, ia akan melihat Renan yang sedang melakukan sesuatu pada infus di tangan kanannya lalu ia akan tertidur kembali.

"Dan apakah kamu tidak mau melepas baju kamu saat mandi, Tanisha?"

Tanisha sekonyong-konyong menoleh pada Renan. Bertanya-tanya kepada dirinya sendiri apakah Renan sedang sangat tidak waras karena menyuruh dirinya untuk telanjang di depan pria itu.

"Jangan gila, Re."

"Kalau kamu merasa malu, well selama tiga hari ini aku sudah melihat seluruh badan kamu karena aku adalah satu-satunya orang di sini yang bisa memandikan kamu."

"Buka baju kamu, Tanisha, dan cepat mandi. Atau kamu mau aku yang memandikan kamu?"

Akhirnya dengan kesal dan wajah yang memerah hingga ke telinga Tanisha melepas kaos oblong merah milik Renan yang dipakaikan padanya beserta boxer milik pria itu. Tapi Tanisha tak mau melepas celana dalamnya karena ia benar-benar merasa malu dan marah berada dalam keadaan yang begitu rentan di depan Renan.

Dengan tangan yang gemetar Tanisha memutar keran pada suhu hangat. Lalu ia merasakan lengan memeluknya dengan sangat erat dan bibir pria itu ada di puncak kepalanya.

"Aku memang si brengsek, Ta. Tapi aku tidak akan menjadi brengsek untuk kamu. Kamu yang marah sama aku adalah hal yang tak pernah aku inginkan. Kehilangan kamu, aku tidak tahu bagaimana harus melewati rasa sakit itu sendirian."

SerotoninTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang