Hari itu, Renan berniat menonton Java Jazz Festival 2016 yang diadakan di daerah Kemayoran. Dua tiket sudah ada di tangannya, satu untuknya dan satu untuk temannya, Jorell. Tapi si kampret Jorell itu tidak bisa datang karena alasan klasik.
"Sorry bro, gue ada urusan keluarga," katanya saat Renan menelpon Jorell untuk memastikan kalau mereka jadi menonton konser malam ini. Renan mana percaya kalau Jorell hadir dalam acara keluarga. Sedang membuat keluarga baru Renan percaya.
"Jorell kampret! Gue jadi kaya jomblo pengelana di tengah lautan mi burung dara." Renan merasa dongkol setengah mati. Niatnya mengajak Jorell supaya temannya itu bisa menemani kejombloannya di malam Minggu ini. Tahunya malah si Jorell pergi sendiri dan meninggalkan Renan bersama tiket Jorell yang tak terpakai.
"Dira, balikin tiket gue!" Lalu Renan mendengar suara teriakan seorang gadis dari sebelah kanannya. Gadis itu terlihat sedang menelpon dan nada keras penuh emosi serta umpatan mengalir seperti sungai dari belah bibirnya yang berpoles gincu berwarna magenta.
"Gue nggak mau tahu! Balikin tiket gue sekarang, anjing!"
"Nggak usah lo cari-cari Carissa lagi! Karena gue nggak akan ngebiarin lo buat ketemu dia."
"Nggak usah playing victim deh lo. Gue sama Carissa nggak butuh semua rasa penyesalan lo itu. Mending lo pergi jauh-jauh dari hidup Carissa karena dia udah bahagia sama hidupnya sekarang."
Terlihat gadis itu mematikan sambungan telponnya dengan emosi yang masih membakar ubun-ubunnya. Renan tak tahu, tiba-tiba saja dia sudah ada di dekat gadis itu. Saat melihat wajah jelita itu, Renan seperti ditarik oleh gravitasi yang begitu kuat. Picisan sekali dia.
"Hi," sapanya. Gadis itu tampak terlonjak saat Renan menepuk pundaknya. Mata yang menggunakan lensa berwarna abu-abu itu menatapnya dengan curiga.
"Eum, hi. Tadi gue denger tiket lo hilang, ya?" Padahal tadi dia dengarnya bukan begitu. Gadis itu tak menjawab. Masih menatap Renan dengan pandangan yang sama.
"Gini... gue ada tiket yang nggak kepake. Tadinya gue mau nonton sama temen gue. Eh, ternyata dia ada acara keluarga. Daripada mubazir mending lo pake aja."
Tai. Tai bener lo, Re. Sok kenal sok deket banget lo, maki Renan. Mukanya sudah memerah andai keadaan di luar JIExpo tidak terlalu terang. Tidak biasanya dia menjadi begitu sok kenal pada orang asing. Apalagi Renan menawarkan tiket masuk yang bisa saja diartikan sebagai ajakan untuk nonton bareng.
"Gue nggak ada maksud lain. Beneran! Daripada mubazir kan mending lo pake karena lo kehilangan tiket lo."
"Thanks."
Cewek itu mengambil tiket yang disodorkan Renan. Tatapannya masih sama, masih penuh curiga. Membuat Renan untuk pertama kalinya selama ia hidup merasa kikuk. Renan memang bukan tipe playboy yang suka main cewek macam Jorell atau Andra. Tapi biasanya, para cewek itu yang datang ke Renan duluan. Ini pertama kalinya Renan mendekati cewek atas inisiatif sendiri.
"Ah, gue Renan," ucapnya sambil menyodorkan tangan bermaksud untuk berkenalan.
"Gue tau kok." Jawaban cewek itu membuat Renan bingung sampai keningnya berkerut-kerut.
"Lo temannya Jorell, 'kan?" Lanjutnya.
"Lo kenal Jorell?"
Dalam hati Renan, dia sudah berpikir yang tidak-tidak. Cewek ini pasti bekas gebetannya si Jorell. Pasti seenggaknya pernah dipake sekali sama si kampret. Anjir, gue dapat bekasnya si kampret dong.
"Gue inget pernah liat wajah lo waktu nyamperin si kampret di Fakultas Tekhnik. Bukannya kalo nggak salah lo harusnya nonton bareng si kampret ya?"
Cewek ini memanggil Jorell pakai sebutan kampret. Artinya kalau bukan gadis ini pernah jalan sama Jorell ya hubungan mereka lebih dari itu. Pasalnya, Renan tahu kalau semua cewek yang dekat dengan Jorell akan memanggil pria itu dengan sebutan yang sangat picisan.
"Jorell bilang dia ada urusan keluarga. Makanya ini tiketnya jadi mubazir."
"Bohong banget kalo si kampret bilang ada urusan keluarga. Iya sih ada, tapi setahu gue Tante Vina sama Om Bima udah pergi ke Surabaya dari tiga hari yang lalu."
"Wah, gue dibohongin dong? Emang sialan itu si kampret. Gue sih emang udah ngeduga kalo dia bohong. Ya kali, bikin keluarga sama gebetannya baru gue percaya."
Kata-katanya membuat cewek itu tertawa. Untuk pertama kali lainnya dalam hidup, Renan tak menyangka kalau ada manusia yang memiliki senyum dan tawa seindah itu. Mungkin inilah definisi bidadari turun ke bumi.
"Oh, iya... dia lagi deket sama si Amelia. Semok sih, tapi gue gak suka sama itu anak. Gayanya selangit banget gara-gara dideketin Jorell. Nggak tahu aja dia cuma dijadiin koleksinya si kampret," katanya oanjang lebar. Ada perasaan menyenangkan yang merambat dalam dada Renan saat mendengar suara lembut gadis di depannya ini.
"Lo sendiri?"
"Iya."
"Mau bareng aja? Kebetulan gue juga sendiri. Nggak asik banget gue berasa jomblo pengelana di tengah lautan mi burung dara."
Gadis itu kembali tertawa. Apalagi ketika Renan memutarkan pandangannya pada sekitar yang memang isinya love birds semua.
"Boleh. Oh, iya. Gue Tanisha."
***
Itu adalah saat pertama Renan bertemu dengan Tanisha. Melalui musik Jazz. Renan yang sebenarnya lebih menyukai blues rock saat itu tertarik untuk menonton festival musik jazz internasional itu karena Jorell yang berceloteh terus menerus tentang festival itu.
Meski kesal dengan temannya itu, Renan juga sedikit berterimakasih karena ketidakhadiran Jorell membuat ia bisa kenal dan jalan bersama Tanisha.
Tanisha gadis yang menyenangkan. Dan esok lusanya baru Renan ketahui kalau Tanisha adalah teman masa kecil Jorell. Juga cinta pertama cowok itu. Cinta sehidup tapi tak mau diajak semati sama Jorell.
Waktu itu Jorell menentangnya yang ingin mendekati Tanisha dengan mentah-mentah. Jorell ngamuk dan mencak-mencak tak karuan.
"Nggak bisa! Lo boleh deketin semua cewek di kampus bahkan se Indonesia. Tapi jangan Tanisha. My love of my life."
Jorell bahkan beralasan kalau selama ini dia dekat dengan banyak gadis untuk membuat Tanisha melirik padanya. What the fuck! Alibinya membuat Renan mual.
Renan tak peduli. Dia tetap melancarkan aksinya untuk mendekati Tanisha karena Renan merasakan apa itu bahagia ketika bersama dengan gadis itu. Segala tingkah konyol dan inosennya membuat Renan merasa candu.
Dia senang ketika Tanisha tertawa, dia senang mendengar celotehan Tanisha yang begitu konyol. Dia senang memerhatikan Tanisha melakukan hal-hal kecil dan tak penting.
Renan adalah anak broken home. Ibunya yang berdarah Inggris bercerai dengan ayahnya yang berdarah Indonesia sejak Renan berusia sepuluh tahun. Setiap hari hidup Renan bagai di neraka saat ayah dan ibunya yang jarang ada di rumah itu selalu saja bertengkar dan memaki satu sama lain.
Peristiwa itu membuat Renan sangsi untuk menjalin sebuah hubungan. Bahkan sampai sekarang. Tapi dengan Tanisha terasa berbeda, Renan benar-benar merasa bahagia bukanlah sebuah kata dan omong kosong semata. Tanisha membawa hal yang Renan anggap tabu dalam hidupnya menjadi sebuah kenyataan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serotonin
RomanceBagi Renan Fausta Adiwilaga, cinta hanya ada dalam fiksi dan cerita dongeng. Bahagia hanyalah kata, Renan adalah kegelapan yang memakai jubah cahaya. Sejak perceraian orang tuanya, yang Renan tahu tentang sebuah hubungan hanyalah sebuah omong kosong...