Renan berjalan sempoyongan menuju pintu kamarnya karena seseorang menekan bel pintunya secara tidak manusiawi. Ini pukul dua pagi, dan demi Tuhan siapa orang brengsek tak tahu etika yang melakukan hal ini?
"Iya sabar, kampret! Lagian siapa sih malem-malem gini?" Gerutu Renan. Jalannya terseok, rambutnya kusut masai dan kaos oblong abu-abunya miring ke kiri. Renan berjalan dengan kesadaran yang masih bercecer di atas lantai.
Saat membuka pintu, seketika itu Renan langsung dijatuhkan ke bumi tanpa parasut. Matanya membeliak. Renan kehilangan napas dan detak jantungnya untuk beberapa detik. Ia tak menyangka gadis ini berdiri di depan pintu apartemennya sekarang. Keadaannya kacau. Wajah gadis itu lusuh meski memakai make up, dan dari napasnya menguar bau alkohol yang begitu kuat.
"Ternyata bener kata Andra, selama ini lo emang di sini."
Renan masih tak dapat berkata-kata. Hal ini terlalu mengejutkannya. Namun dia menjadi lebih terkejut lagi saat gadis itu melepas cincin titanium bertahtakan batu ruby di jari manis kirinya lalu dengan kasar memberikannya pada Renan.
"Gue balikin semuanya, Re. Semuanya termasuk semua kenangan kita."
Renan sama sekali tak siap menerima benda itu di tangannya sehingga cincin itu jatuh di lantai dan menimbulkan bunyi gemerincing yang cukup keras dalam sunyi. Tubuhnya sedikit limbung karena gadis itu mendorongnya. Namun Renan buru-buru mengumpulkan kembali kesadarannya ketika ia menemukan jika gadis itu sudah berbalik untuk pergi.
"Tanisha!" Renan menangkap sebelah lengan Tanisha namun segera ditepis oleh gadis itu dengan keras. Wajah Tanisha penuh amarah yang membara dan lebih terik dari panas matahari.
Renan tahu dia telah melakukan kesalahan.
"Apa maksudnya ini? Kenapa kamu balikin cincin ini ke aku?" Tanisha menatapnya dengan sinis. Kilatan amarah masih berkobar dengan ujung apinya yang menjilat siap membakar semuanya.
"Nggak ada yang perlu gue atau lo jelasin juga 'kan, Re?" Tanisha membalik pertanyaannya. Renan tak suka ketika Tanisha memainkan permainan teka-teki ini.
"Kamu panggil aku apa tadi?"
"Kenapa, Re? Lo nggak punya hak lagi buat marah ke gue. Oh, ya. Gue yang punya hak lebih besar buat marah ke lo sekarang. Tapi gue nggak bakal buang-buang tenaga gue buat itu. Nggak guna juga malah bikin capek."
Tanisha menepis tangannya lagi. Namun Renan tetap tidak membiarkan gadis itu pergi. Keadaan Tanisha sangat rentan dan berbahaya untuk berkeliaran sendirian dalam keadaan mabuk di pukul dua dini hari.
"Mau kemana kamu?"
"Bukan urusan lo juga kan?" Ucapnya seraya mengedikkan bahu. Renan merasakan amarah mulai memukul keras dadanya karena panggilan Tanisha juga karena gadis ini begitu keras kepala.
"Jangan kekanakan deh, Ta."
"Gue? Kekanakan? Jangan bercanda deh, Re. Udah, ah! Capek gue mau cabut."
"Masuk, Ta! Kamu mabuk dan aku nggak bakal izinin kamu pulang."
Tanisha tertawa dengan keras dan berkata kalau Renan mengatakan omong kosong.
"Siapa yang mabuk, Re? Mana bisa sih aku mabuk? Lagian, aku nggak butuh izin kamu buat pulang, Re. Siapa juga kita?" Tanisha masih menderai tawanya namun Renan melakukan yang sebaliknya. Kemarahan dalam diri Renan menyambar ke setiap sudut otak dan ujung serabut syarafnya.
"Masuk, Tanisha!"
"Apaan sih, Re? Udah gue mau pulang!"
"Aku bilang masuk, Tanisha."
KAMU SEDANG MEMBACA
Serotonin
RomanceBagi Renan Fausta Adiwilaga, cinta hanya ada dalam fiksi dan cerita dongeng. Bahagia hanyalah kata, Renan adalah kegelapan yang memakai jubah cahaya. Sejak perceraian orang tuanya, yang Renan tahu tentang sebuah hubungan hanyalah sebuah omong kosong...