"Nggak usah deket-deket!" Tanisha berucap galak ketika Dira hendak mendekati gadis itu yang duduk dengan tatapan kosongnya. Dira hanya ingin memberikan air minum untuk Tanisha agar gadis itu bisa sedikit meredakan pengaruh alkohol yang dirasakannya.
"Minum air yang banyak biar kepalanya nggak pusing," ujar Dira seraya menyodorkan sebotol air mineral ke depan Tanisha. Gadis itu menurut lalu meminum air minum yang Dira berikan hingga habis setengah.
"Lo kenapa lagi, Cha?"
"Bukan urusan lo!" Dira menarik napasnya dalam-dalam. Meski dia marah dengan sikap Tanisha padanya, ia tetap tidak bisa mengungkapkan kemarahan itu. Kebencian Tanisha padanya lebih besar dan beralasan.
"Fine. Tapi boleh gue minta sama lo buat nggak mabuk-mabukan lagi? Jangan rusak hidup lo, Cha. Carissa nyuruh gue buat jagain lo tapi kalau lo sendiri rusak tubuh dan hidup lo terus-terusan gini apa artinya usaha gue buat jagain lo dan penuhin janji gue ke Carissa? Nggak ada artinya, Cha!" Dira mungkin sudah benar-benar terlihat frustasi. Dia mungkin mengenal Tanisha lebih banyak daripada keluarga gadis itu atau Renan mengenal Tanisha. Dia tahu bagaimana hidup Tanisha dan Dira tak punya banyak kalimat untuk dikatakan tentang Tanisha.
Kacau dan sulit ditolong.
Hanya dua hal itu yang bisa mendeskripsikan Tanisha.
"Bacot!" Dan selalu seperti itu jawaban dari Tanisha. Mereka terdiam untuk beberapa waktu yang sedikit panjang sampai akhirnya Tanisha kembali membuka suara.
"Berhenti sok baik dan sok peduli sama gue. Hidup gue makin berantakan gara-gara lo dan lo ngerti itu dengan baik."
Dira tak bisa menjawab apapun. Perkataan Tanisha memang benar, dia adalah salah satu sumber dari masalah yang memporak-porandakan kehidupan Tanisha yang memang sudah berantakan sejak awal menjadi lebih tak berbentuk lagi. Dira bahkan tak bisa mengatakan permintaan maafnya.
"Gue capek, Bang. Gue capek sama hidup gue. Gue capek dan sakit. Gue pengen lari tapi kekacauan yang lo buat bikin gue harus bertahan di neraka ini." Kepala Tanisha masih bersandar pada tiang listrik begitu pula dengan pandangannya yang masih sekosong hamparan laut lepas. Dirandra masih tak bisa berkata-kata. Penyesalan yang dirasakannya tak pernah cukup untuk menebus derita yang didera oleh Tanisha dan Carissa.
"Gue tahu lo udah tahu kalo selama ini gue sembunyiin Kak Rissa di rumah. Gue lihat lo beberapa kali nyelinap ke halaman belakang cuma buat ketemu sama Kak Rissa."
"Dia nggak baik, Bang. Karena lo."
Dirandra benar-benar kehilangan setiap katanya. Aksara itu berkumpul dan membekukan ujung lidah. Sesuatu yang besar dan berat menimpa dada. Ulu hatinya sedang diiris oleh pisau yang tajam.
"Tiap kali Mama ditinggalin pacar barunya dia akan limpahin kemarahannya ke Kak Rissa. Hari ini gue kena tampar Mama gara-gara lindungin Kak Rissa yang ngamuk karena Mama ngebakar boneka yang lo kasih buat dia."
"Nino..." satu kata yang akhirnya keluar dari mulut Dira membuat Tanisha tertawa dengan skeptis. Sebuah sarkasme yang menohok jantung Dira dengan tombak yang tajam.
"Lo inget ternyata. Kenapa sih lo nggak sekalian bunuh Kak Rissa saat itu? Kenapa lo cuma bunuh anak yang nggak pernah lo inginin itu? Setidaknya kalo lo bunuh keduanya saat itu, lo buat gue ngerti apa yang harus gue lakuin. Bunuh diri apa ngebunuh lo, Bang."
Tanisha menarik napasnya dengan susah payah, terlihat sekali gadis itu memikul sebuah beban yang sangat berat di atas punggungnya yang kecil. Dira hanya bisa semakin mengeratkan kepalan tangannya juga mengigit bibirnya keras-keras ketika air matanya dengan lancang jatuh berderai di atas tanah.
"Papa udah nggak pulang selama dua bulan ini. Setiap hari yang gue lakuin adalah nenangin Kak Rissa dan satu-satunya hal yang bisa Mama lakuin cuma merusak ketenangan Kak Rissa yang udah susah payah gue usahain."
"Gue nggak ngerti lagi, Bang. Gue nggak bisa mikir sekarang. Mungkin udah lebih dari seratus kali gue mikir buat mati. But still, Kak Rissa masih jadi arti rumah buat gue meski sekarang rumah yang setidaknya dulu memberi gue sedikit ketenangan udah berubah kaya neraka juga."
"Di sini..." Tanisha menyentuh dadanya dan meremas kaos hitam yang ia pakai dengan erat. "Di sini rasanya sakit. Harusnya. Tapi gue nggak bisa rasain apapun dan itu bikin gue frustasi. Gue ingin berhenti."
"Lo tahu? Setiap kali pikiran buat mati itu datang, satu-satunya yang gue pikirin cuma Kak Rissa. Gue merasa bertanggung jawab atas hidup gue juga Kak Rissa karena gue sadar dari dulu cuma Kak Rissa yang selalu jagain gue. Cuma Kak Rissa yang bikin gue merasa kalau gue ini masih manusia yang butuh kasih sayang diantara semua hal nggak manusiawi yang Mama lakuin ke gue."
"Janji lo ke Kak Risa buat jagain gue... bisa lo penuhin sekarang? Jangan pernah muncul lagi di depan gue. Itu satu-satunya cara lo bisa jagain gue, bukan dengan suruh detektif-detektif mahal lo buat buntutin ke mana saja gue pergi. Pergi dari hidup gue dan Kak Rissa, itu satu-satunya cara lo jagain gue. Jagain kewarasan gue. Karena kalau lo masih muncul di depan gue, mungkin besok lo bakal denger berita kematian gue dan Kak Rissa."
"Lupain janji bodoh lo ke Kak Rissa, Bang. Cari kebahagiaan lo. Lo pantas bahagia dengan kehidupan lo dan gue pantas buat punya kebencian segede gunung buat lo."
***
Subuh sudah datang dan Renan masih belum kembali tidur. Dia sudah mencari Tanisha kemanapun tapi gadisnya itu tidak berada dimana-mana. Dia juga mendatangi rumah Tanisha tapi Tanisha belum juga pulang. Renan merasa pusing. Ada rasa bersalah yang terus berputar di dalam perutnya dan membuat ia merasa mual karena seolah cairan empedunya telah naik ke mulut.
Saat sedang bercumbu dengan kegelisahannya, Renan mendengar bel pintu apartemennya ditelan berkali-kali dengan tidak sabar. Dengan cepat Renan melangkah karena mungkin saja itu Tanisha yang datang kembali dengan kemarahan dan mabuknya yang semakin parah.
Sial!
Renan benar-benar akan marah dan menghukum Tanisha karena merusak dirinya sendiri.
Namun begitu membuka pintu, Renan mendapati Dirandra berdiri di depan pintu apartemennya dengan kemarahan sebesar dan sepanas neraka alih-alih Tanisha. Renan sangat tidak siap ketika Dirandra mendorongnya masuk dengan sebuah pukulan keras yang membuatnya jatuh ke lantai.
"Brengsek!" Umpat pria yang lebih tua dua tahun darinya itu. Dirandra menduduki tubuhnya dan menarik potongan leher dari kaos oblong yang Renan kenakan lalu kembali menyerang Renan dengan beberapa pukulan keras bertubi-tubi. Renan jelas tak bisa menghindar atau berpikir apa alasan Dirandra datang ke apartemennya dengan sekawah penuh amarah yang membakar kewarasan pria itu hingga jadi abu.
"Andra, stop!" Renan berhasil menghentikan pukulan Dirandra yang tak jelas alasannya itu dengan mengerahkan seluruh tenaganya untuk membalik posisi. Tapi Dirandra memberontak dan kembali menindih Renan lalu melayangkan satu pukulan yang kali ini dipukulkan pria itu pada lantai di belakang kepala Renan.
"Kalau lo cuma bisa nyakitin Tanisha, gue saranin lo pergi dari hidup Tanisha buat selamanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Serotonin
RomanceBagi Renan Fausta Adiwilaga, cinta hanya ada dalam fiksi dan cerita dongeng. Bahagia hanyalah kata, Renan adalah kegelapan yang memakai jubah cahaya. Sejak perceraian orang tuanya, yang Renan tahu tentang sebuah hubungan hanyalah sebuah omong kosong...