Tanisha terbangun dengan rasa asing dan sakit yang teramat sangat di bagian bawah perutnya. Setelah sebagian kesadarannya terkumpul, Tanisha dapat mencium bau antiseptik dan seketika tahu dia berada di mana sekarang. Namun teka-teki tentang siapa yang membawanya kemari masih terus berlanjut di dalam kepala.
Tanisha mencoba untuk bangun tapi rasa sakit di bagian bawah perutnya kian menjadi sehingga dirinya kembali ambruk ke belakang. Kepalanya menengok ke arah jendela dan didapatinya matahari yang sudah meninggi.
Pukul berapa sekarang?
Berapa lama dirinya ada di sini dan tidak sadarkan diri?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus bermunculan diikuti dengan pertanyaan lain yang semakin membuat pening kepala.
Derit pintu menandakan seseorang masuk membuat Tanisha menolehkan pandangannya pada sosok yang kini muncul di balik pintu tersebut.
"Udah bangun, Dek?"
Sosok Dirandra masuk lantas kembali menutup pintu. Cowok itu kini duduk di samping ranjang yang Tanisha tempati.
"Lo yang bawa gue ke sini?"
Dirandra menggeleng setelah terdiam beberapa detik. Kening Tanisha dikerutkan oleh tanya yang tak terucap.
"Jorell yang bawa lo kemari."
Tanisha memejamkan mata, di kepalanya mulai terbentuk sugesti negatif yang begitu panjang.
"Renan tahu gue ada di sini?"
Dirandra mengangguk. Sepasang telapak tangan Tanisha mengerat di balik selimut. Dia sungguhan tidak ingin berpikir buruk sekarang tapi jiwanya semakin tidak tenang.
"Dokter bilang lo udah bisa pulang besok."
Tanisha tak ingin mendengarkan hal itu. Dia bahkan tidak peduli apakah dirinya akan dirawat lebih lama atau tidak. Apa yang menjadi fokusnya sekarang adalah kebenaran dari keadaannya.
"Gue kenapa, Bang?"
"Cuma kecapean. Lo nggak usah khawatir."
"Bohong. Gue tahu lo bohong, Bang."
Tanisha menatap Dirandra tajam. Saat ini sesakit apapun kejujuran, Tanisha akan lebih menerima itu daripada dia harus dibohongi.
"Bang!" Desak Tanisha ketika Dirandra tak kunjung menjawab pertanyaannya.
"Dira!"
"Lo keguguran."
Satu kalimat dari Dirandra sontak meluluh lantakkan kekuatan yang sedari tadi coba Tanisha bangun untuk menerima kenyataan. Jantungnya serasa turun ke perutnya dan isi kepala Tanisha berhamburan ke mana-mana.
"Siapa yang ngelakuin ini ke lo, Dek?"
"Renan tahu?"
"Jadi Renan?"
Tanisha menggeleng.
"Lo nggak perlu tahu. Jawab aja, Renan tahu?"
"Gue bahkan udah pukulin dia kemaren malem."
"Kemaren?"
"Lo nggak sadarin diri dari kemaren."
Rasanya Tanisha seperti ingin pingsan lagi saat mendengar setiap jawaban Dirandra.
"Terus Renan?"
"Pulang. Dia nggak kesini lagi."
"Bukan Renan. Lo nggak seharusnya mukulin Renan."
"Cha..."
Sama seperti Tanisha. Dirandra pun tercengang dengan situasi mereka sekarang. Sepasang bola mata sehitam arangnya menatap nanar pada Tanisha.
"Siapa? Siapa yang lakuin itu ke lo, Cha?"
Tanisha bisa mendengar kehancuran dari nada bicara Dirandra. Hatinya pun terasa sakit dan perih.
"Bukan urusan lo."
"Cha!"
"Gue mau pulang."
"Apa? Nggak. Besok lo baru boleh pulang!"
"Lo nggak ada hak buat ngatur gue!"
"Ada! Gue selalu ada hak buat ngatur lo karena..."
"Karena lo udah janji sama Carissa?"
Tanisha memotong pekikan Dirandra dan balas menatap nyalang pada cowok jangkung itu. Perlahan emosi Dirandra surut, cowok itu selalu tahu caranya mengendalikan emosi jika berhadapan dengannya.
"Cha, please," mohon Dirandra. Ia tak ingin dibantah dan kembali membentak Tanisha hanya agar cewek itu tak lagi membangkangnya.
"Berenti, Bang. Lo harus berenti mulai dari sekarang."
"Cha!"
"Bukan salah lo sepenuhnya Kak Rissa jadi kaya gitu. Gue mohon sama lo, Bang. Lepasin perasaan lo kek Kak Rissa. Mulai idup lo lagi tanpa ada Kak Rissa di dalamnya. Jangan hancurin idup lo sendiri dengan ngurusin gue atas nama janji bodoh lo ke Kak Rissa."
***
Pada akhirnya Dirandra hanya bisa mengikuti kemauan Tanisha. Dia sudah terbiasa luluh pada cewek yang kini duduk di jok sebelahnya. Meski hanya diisi dengan diam, setidaknya kali ini Tanisha tak melempar caci maki untuk mengusirnya.
"Lo yakin mau pulang?"
Tanisha tak menjawab apapun. Lampu lalu lintas di depan masih menyala merah, penghitung waktu berada di angka dua puluh delapan.
"Cha?"
"Anterin gue ke tempat Mamanya Renan."
Andra seketika menoleh. Bahkan wajah Tanisha masih pucat dan sesekali cewek itu akan meringis ketika bergerak.
"Kalo lo nggak mau anter gue bisa ke sana sendiri."
Andra mencegah Tanisha yang hendak turun dengan segera menekan tombol central lock yang tadi lupa untuk ia tekan saat mulai berkendara. Tanisha memang tak pernah sekalipun ragu untuk berbuat nekat.
***
Dirandra baru pertama kali ini bertemu dengan ibu Renan. Dia pikir Renan mendapatkan wajah seperempat bulenya dari ayah cowok itu, ternyata Renan jauh lebih mirip dengan ibunya meski dia juga belum pernah melihat bagaimana rupa ayah Renan.
"Maaf karena Tante harus meninggalkan kalian di sini. Ada urusan mendadak di rumah sakit."
Erina tampak terburu-buru. Saat mereka datang, Erina sepertinya sedang bersiap untuk pergi. Sejenak Dirandra dibuat tertegun dengan bahasa Indonesia Erina yang masih bercampur aksen Britania itu.
"Nggak apa-apa, Tante. Tanisha juga cuma sebentar kok," balas Tanisha. Melihat bagaimana Tanisha yang akrab dengan Erina membuat Dirandra bertanya-tanya tentang kedekatan dua wanita itu.
"Renan nggak ke sini, Tante?"
"Dia tidak pernah mau kemari kalau tidak ada kamu," balas Erina. Andra memerhatikan bagaimana ekspresi Tanisha tak sedikitpun berubah. Cewek itu mempunyai pengendalian emosi yang luar biasa.
"Kamu temui Kakak kamu di dalam. Sepertinya tadi dia sudah bangun. Tante harus berangkat sekarang."
"Hati-hati, Tante."
Dirandra seketika kehilangan kata juga konsentrasinya begitu mendengar Erina menyebut Carissa ada di sini sekarang. Tanpa disadarinya kini Tanisha sudah melangkah ke sebuah kamar yang terletak di depan ruang televisi.
Begitu pintu dibuka, sosok yang begitu ia rindukan eksistensinya itu kini tengah duduk dengan posisi membelakangi pintu. Tak perlu sosok itu menoleh pun Dirandra sudah tahu betul punggung kecil itu adalah milik wanita yang begitu ia cintai dan rindukan setengah mati. Punggung yang selama beberapa tahun ini hanya bisa ia lihat dari kejauhan.
"Rissa..." panggil Andra lirih. Carissa menoleh dengan gerakan lambat, pun langkah Dirandra yang pelan-pelan tapi pasti menuju pada Carissa.
"Rissa..."
"Dira?"
"Iya, sayang. Ini aku. Ini aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Serotonin
RomanceBagi Renan Fausta Adiwilaga, cinta hanya ada dalam fiksi dan cerita dongeng. Bahagia hanyalah kata, Renan adalah kegelapan yang memakai jubah cahaya. Sejak perceraian orang tuanya, yang Renan tahu tentang sebuah hubungan hanyalah sebuah omong kosong...