DUA PULUH TIGA

1.3K 203 9
                                    

"Kepala kamu nggak pusing, Re?"

"Pusing."

"Yaudah makanya berhenti, Ganteng. Mending kita pesen makan aja."

"Pusing aku soalnya kamu imut banget gitu pakai kaos aku. Mau menerkam tapi belum halal. Jadi pusing, 'kan?"

Tanisha tidak bisa lagi membalas perkataan Renan karena dirinya sibuk menyembunyikan wajahnya yang memalu. Mereka sedang berada di dapur apartemen Renan dan pria itu sekarang sedang akan memotong wortel untuk membuat sup ayam. Tapi Tanisha merasa aneh saat memerhatikan Renan yang tidak kunjung bergerak untuk memotong wortel dalam genggamannya.

"Ada apa, Re?" Tanisha berkata sembari menyentuh lengan Renan dan pria itu tampak terkejut serta linglung.

"Kenapa?" Tanya Renan. Tanisha mengerutkan keningnya untuk sesaat sebelum tersenyum kepada Renan.

"Sini. Biar aku aja yang potongin." Tanisha turun dari meja konter tempatnya duduk memandang Renan yang sedang mencoba memasak untuk mereka berdua tapi Renan mendorongnya untuk kembali duduk.

"Tetep duduk di sana."

Ada sesuatu di dalam diri Tanisha yang merasakan ketidaksiapan atas perubahan diri Renan sekarang. Mau tak mau Tanisha mengakui bahwa ia merasa terintimidasi oleh Renan alih-alih merasakan kenyamanan seperti dulu.

"Aku mau bantuin kamu."

"Duduk."

Tidak ada yang bisa Tanisha lakukan untuk membantah Renan. Seharian ini saat dirinya membantah maka mereka akan berakhir dalam sebuah pertengkaran lalu Renan akan masuk ke dalam kamar mandi dan terdengar suara gaduh dari sana. Atau jika tidak Renan akan menguncinya di dalam kamar pria itu lalu Renan pergi entah ke mana.

Hal ini tak pelak membuat Tanisha merasa sedikit takut dan curiga. Selama ini Renan selalu terasa hangat dan membuatnya tenang seperti kopi seduh.

Renan memotong wortel dengan perlahan dan hal itu tak lepas dari perhatian Tanisha. Pria itu terlihat begitu berhati-hati dan sangat fokus. Tanisha juga melihat pelipis Renan mulai berkeringat.

Ada apa sebenarnya?

"Re..."

"Ya?" Renan langsung menatapnya, Tanisha menyadari tatapan Renan sekarang berbeda dengan tatapan Renan saat memotong wortel tadi.

"Aku nggak mau makan ayam. Kita makan sup buntut aja, ya?"

***

Satu minggu kemudian Tanisha memutuskan untuk kembali ke rumahnya. Selain karena dia yang mengkhawatirkan Carissa yang masih belum juga bisa ditemukan, dia juga merasa Renan semakin aneh padanya. Renan sangat posesif cenderung obsesif. Segala hal tentang dirinya seolah jadi prioritas di atas prioritas pria itu sendiri.

Dua hari yang lalu mereka bertengkar hebat karena Tanisha yang meminta untuk pulang. Renan tidak mengizinkan dan pria itu marah besar.

"Aku harus pulang, Re."

"Tidak. Kamu tetap di sini."

"Aku nggak bisa terus-terusan di sini, Re. Aku harus pulang."

"Aku tidak akan mengizinkan kamu."

Dan sifat Renan yang asing itu kembali lagi, membuat Tanisha lagi-lagi berpikir apa yang sebenarnya sudah terjadi.

"Aku nggak perlu izin kamu buat pulang, Renan."

"Tidak. Kamu tidak akan keluar dari tempat ini tanpa seizin aku."

"Lo udah sinting ya, Re?" Tanisha sudah tidak bisa menahan lagi kemarahan yang mengabut di dalam kepalanya. Ia bahkan tidak peduli setelah ini Renan akan marah padanya lebih besar lagi.

"Apa kamu bilang?"

"Aku harus pulang, Re. Carissa masih belum ketemu dan nggak ada alasan lagi buat aku tetap di sini."

"Orang-orang aku sedang mencari kakak kamu."

Tanisha menatap Renan dengan seribu nuansa emosi di dalam binar keping hitamnya. Ada bisikan yang menyusup lewat setiap pembuluh di kulit kepalanya dan itu membuatnya pening.

"Apa kamu bilang?"

"Orang-orang aku akan segera menemukan kakak kamu. Jadi aku minta kamu tetap di sini sampai mereka menemukan kakak kamu." Renan berujar seraya tangannya mencoba meraih Tanisha tapi gadis itu mundur dua langkah yang membuat Renan merasa bingung.

"Kenapa?" Pertanyaan pria itu seperti sebuah retorika.

"Aku mau pulang."

"Tidak."

"Renan, aku harus pulang." Tanisha akan terus memaksa Renan untuk memulangkannya meski pria itu menolaknya hingga seribu kali. Dia membutuhkan waktu untuk bisa menelaah sikap Renan sekarang. Dia perlu ruang untuk berpikir sendirian.

***

"Lo yakin, Cha? Perasaan lo doang kali." Adsila yang ia minta untuk menemuinya agar ia bisa meluapkan sedikit pikiran yang mengganggunya sekarang sedang menatap penuh ragu padanya.

"Ngapain sih gue bohong, Sil? Gue nggak tahu kenapa Renan jadi aneh gitu."

"Okay, jadi maksud lo Renan sekarang jadi aneh karena dia posesif banget sama lo, gitu?" Tanisha mengangguk tapi Adsila makin memicing kepadanya.

"Biasanya juga gitu kan? Wajarlah cowok posesif sama pacarnya. Tanda cinta itu."

"Berapa kali gue harus bilang ke lo kalau sikap Renan kali ini tuh beda seratus delapan puluh derajat dari Renan yang biasanya?" Tanisha tampak benar-benar frustasi sekarang karena bercerita kepada Adsila ternyata tak memberikan penyelesaian apapun alih-alih membuatnya semakin tidak karuan.

"Tbh, sis. Lo yang jadi aneh duluan. Gue tahu gue jarang ada di deket lo, tapi pas terakhir kali kita ketemu," Adsila mulai menghitung hari ia tak lagi bertemu Tanisha dengan jarinya. "Sekitar tiga minggu yang lalu. Buset!" Dan gadis itu tiba-tiba terkaget.

"Gue ada temen ngulang kuliah nih tahun depan!" Lalu tertawa. Tanisha naik pitam karena Adsila yang selalu saja salah fokus ketika diajak mengobrol.

"Monyet, nggak usah salah fokus. Mau bilang apa lo tadi?" Adsila menghentikan tawanya lalu meraih orange juice dan menyedotnya.

"Lo sadar nggak sih tingkah lo tiga minggu yang lalu itu random banget?"

Tanisha mengingat-ingat apa yang terjadi tiga minggu yang lalu. Hari itu sangat kacau dan berantakan.

"Tapi Renan nggak seharusnya gitu ke gue, Sil."

"Tentu aja Renan bisa gitu ke lo, sis." Adsila membenarkan duduknya menjadi lebih tegak dan kedua tangan gadis itu bertumpu di atas meja.

"Gini... hari ketika lo pingsan gue menelpon Renan dan pas gue ada di parkiran Renan tiba-tiba nelpon gue sambil teriak nanyain keberadaan lo. Pas gue datengin lagi ke klinik ternyata gue lihat lo lagi dibopong sama Renan dan tangan serta kaki lo berdarah-darah.

"Gue tahu sebagai temen gue nggak guna banget karena sering ninggalin lo. Tapi, wajar bagi Renan jadi kaya gitu ketika dia melihat lo sekarat di depan dia."

Tanisha memikirkan kalimat Adsila dengan baik. Dia mencoba berpikir sebaik mungkin jika Renan memang hanya sangat khawatir kepadanya tapi hal itu tak cukup bisa membuat hiruk pikuk di dalam kepalanya tenang.

"Gue tahu gue salah, Sil. Tapi Renan... dia akan melukai dirinya sendiri setiap kali kita marahan atau memasukkan sesuatu ke tubuh gue sampe bikin gue nggak bisa apa-apa. Sila, gue bahkan nggak bisa mengenali Renan yang sekarang. Gue takut dan gue... gue nggak bisa berpikir."

SerotoninTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang