Tiga hari yang lalu...
"Kamu adalah yang paling pantas untuk Renan. Jangan pernah meninggalkan Renan karena Renan akan sangat terluka. Dan melihat Renan terluka akan membuat Tante mati dengan perlahan. Jika kamu butuh seseorang untuk disalahkan maka salahkan saja Tante. Tante adalah orang yang telah membuat Renan menjadi seperti itu.
"Tapi kamu... Tante tidak pernah melihat dia tersenyum sangat lebar lagi sampai dia datang kepada Tante dan bercerita jika dia menemukan seorang gadis yang sangat tergila-gila dengan musik jazz."
"Maafkan Tante karena Tante melimpahkan semua beban ini pada kamu. Tante yang egois."
Tanisha memandang pada mata Erinna yang kini sudah penuh dengan air mata. Ia tidak mengerti dengan maksud Erinna tapi dia sudah dapat sedikit membawa pemikirannya pada kondisi Renan beberapa hari ini.
Sejak kemarin tadi juga bertanya-tanya pada luka memanjang di pipi Erinna yang tampak seperti sebuah goresan yang disengaja.
"Tante adalah penyebab Renan menjadi seperti itu."
"Tante..."
"Andai Tante tidak meninggalkan Renan, mungkin dia akan hidup dengan baik bersama orang-orang yang dicintai dan mencintainya. Dia tidak perlu lagi meragukan bahwa dia berharga dan layak untuk dicintai."
Tanisha merasa bingung, bukan karena aksen British yang masih tercampur pada cara bicara Erinna tapi pada inti dari percakapan ini.
Ada apa dengan Renan?
"Tante, ada apa?" Sejak Renan dibawa masuk ke IGD Tanisha telah sepenuhnya berhenti menangis meskipun sebenarnya dia masih menginginkan hal itu untuk melepas ketakutannya sekarang.
"Renan... sejak kecil dia berbeda. Dia... seperti Papanya."
"Maksud, Tante?" Tanisha merasa dia seperti orang bodoh sekarang. Dia terus memandang pada Erinna yang menunduk dan saling memainkan jemarinya.
"Tante... ada apa sebenernya?"
"Tanisha..." Erinna mengangkat kepalanya hingga kini mereka saling berpandangan tepat di kedua pasang mata masing-masing. "Jangan pernah meninggalkan Renan, Tante mohon kepada kamu. Cintai dia dan tetaplah disisinya. Karena jika kamu pergi kamu akan terluka, jika kamu terluka Renan... Renan mungkin akan mengakhiri semuanya sekaligus."
Pada saat itu Tanisha hanya tahu bahwa dia sedang terjebak di pintu neraka yang lainnya.
***
Satu minggu kemudian Renan sudah keluar dari rumah sakit dan luka pada kaki Tanisha juga sudah sembuh. Mereka masih belum masuk kuliah karena kepala Renan yang terpaksa dicukur habis untuk bisa dijahit dan kaki Tanisha yang dipaksa oleh Renan agar tidak banyak bergerak.
Sekarang mereka berada di apartemen Renan. Tanisha akan menginap di sini karena dia berpikir tak ada gunanya dia pulang. Dirandra menelponnya semalam jika keberadaan Carissa masih belum ditemukan. Tanisha merasa benar-benar putus asa sekarang.
"Hei..." Tanisha bergeming ketika Renan memanggilnya. Pandangannya sendu menatap pada lantai putih di bawah kakinya. Dia bisa merasakan kasur yang bergerak ketika Renan duduk di sampingnya dan merangkul pundaknya.
"Hei... hei... tayo. Hei tayo." Tanisha otomatis tertawa meski hanya berbunyi kekehan yang nyaris hilang dalam hening.
"Apaan sih, Re?"
"Kamu yang apaan. Kenapa ngelamun? Ada apa?"
Renan menarik kedua pundak Tanisha agar menghadap kepadanya. "Ada apa, pacarku? Kenapa muka kamu ditekuk kaya lembar jawab ujian aku gitu? Nanti kesaing sama Mbak Rina lho."
"Nyerah aku kalo sama Mbak Rina, Re. Dia janda dan lebih berpengalaman. Bisa apa aku ngelawan dia, Re?" Sekarang Renan yang tertawa. Renannya sudah mulai kembali. Dia bisa dengan mudah tertawa bersama Renan dan ini sedikit mengiburnya.
"Kenapa, Tanisha? Kamu sudah janji pada aku kalau kamu akan menceritakan apapun itu yang ada di kepala kamu termasuk sekarang."
Tapi terkadang hal ini masih terjadi dan membuat hubungan mereka tak lagi sama di mata Tanisha. Renan terkadang masih menakutinya dengan perubahan sikap pria itu yang terlalu tiba-tiba.
"Re..."
"Kenapa?" Tanya pria itu dengan suara dan aaura gelap yang begitu mendominasi. Tanisha menarik napasnya, memandang Renan tepat di mata pria itu lalu mengecup bibirnya ringan.
"Kamu begini lagi." Dan Tanisha pun meminta Renan untuk tak lagi seperti ini. Ia akan selalu mengingatkan Renan ketika keanehan pria itu mulai kambuh lagi.
Renan menariknya ke dalam pelukan pria itu dan Tanisha merasakan tubuh Renan yang kembali bergetar.
"Aku cuma takut kalau kamu akan pergi lagi. Lihat kamu terluka dan mencoba melukai diri, rasanya aku mau mati aja."
"Rere nggak boleh gitu."
"Kamu yang nggak boleh gitu. Ta, aku nggak bisa dan nggak mau kehilangan kamu. Kamu milik aku. Menjaga kamu adalah kewajiban aku."
Mereka terdiam selama beberapa saat. Tanisha menikmati belaian lembut tangan besar Renan di belakang kepalanya dan Tanisha menikmati suara detak jantung Renan yang riuh seperti genderang perang.
"Re?"
"Kenapa?"
"Sakit nggak di sini?" Renan merunduk untuk bisa menatap Tanisha yang mendongak menatapnya dengan sangat polos dan tangan gadis itu yang mengelus dadanya.
"Geli. Dan enak. Terusin ngelusnya."
"Idih modus banget!" Renan tertawa lalu kembali memeluk Tanisha, menenggelamkan wajah Tanisha di dadanya.
"Keras ya?"
"Apa?"
"Dada aku."
"Iya. Bisa buat telenan kalau Mbak Rina mau motong sayu. Jodoh banget ya kalian? R sama R."
Renan tertawa lagi dan menggoyang-goyangkan tubuh mereka berdua ke kanan dan ke kiri.
"Tapi aku maunya sama kamu. Jadi RT. Rumah Tangga."
"Rere, ada-ada aja kamu."
"Kamu kenapa? Ayo cerita sebelum aku paksa kamu buat cerita."
"Kak Rissa... Dira bilang Kak Rissa masih belum ketemu. Aku takut, Re. Aku nggak tahu harus gimana."
Renan tak berkata apa-apa. Pria itu hanya mengelusi belakang kepalanya lagi untuk menenangkan dirinya. Renan juga membiarkannya membasahi bagian dada kaos pria itu dengan air matanya yang kembali lancang keluar meski coba ia tahan.
"Nangis aja, sayang. Habisin semuanya supaya kamu lega."
"Aku nggak seharusnya nangis, Re. Kak Rissa bilang aku nggak boleh nangis supaya Mama nggak makin marah sama aku."
"Aku bukan Mama kamu. Aku nggak akan marah meski kamu mau nangis sampai ingus kamu kemana-mana. Dan aku bukan kakak kamu yang akan menyuruh kamu menahan tangisan kamu. Menangislah kalau memang kamu mau dan perlu. Menangis bukan berarti kamu lemah. Menangis bukan berarti kamu menyerah. Terkadang kita memang perlu menangis supaya hati kita lega dan kita bisa menghadapai masalah kita dengan hati yang lebih lapang untuk menerima semuanya."
Tanisha mengeratkan pelukannya pada Renan dan kembali menangis kali ini dengan lebih keras. Entah bagaimana dia bisa sangat mudah meluapkan emosinya. Mungkin karena Renan selalu berkata seperti itu. Mungkin karena Renan selalu tampak bisa menerima dia apa adanya.
"Aku ini udah hancur, Re. Sebaik apapun kamu kepada aku, aku nggak akan pernah bisa diperbaiki."
KAMU SEDANG MEMBACA
Serotonin
RomansaBagi Renan Fausta Adiwilaga, cinta hanya ada dalam fiksi dan cerita dongeng. Bahagia hanyalah kata, Renan adalah kegelapan yang memakai jubah cahaya. Sejak perceraian orang tuanya, yang Renan tahu tentang sebuah hubungan hanyalah sebuah omong kosong...