Tanisha menarik selimut untuk menutupi ketelanjangannya yang digerayangi dingin embus angin dalam kamar yang remang itu. Tubuhnya menggigil tapi bukan karena suhu yang mulai turun atau karena mendung yang sebentar lagi akan turunkan hujan.
Tanisha menekuk tubuhnya sekecil mungkin. Menenggelamkan wajahnya pada sepasng lutut yang tertekuk. Tubuhnya mengeluarkan aroma yang ia benci. Bau keringat yang bercampur dengan parfum asing. Aroma kehinaan.
Semuanya jadi semakin berat hari demi hari. Carissa yang masih tak kunjung dapat ia temukan dan kehinaan yang kembali didapatkannya dari orang yang begitu ia benci. Semua rasa sakit ini membuatnya seperti mati dengan perlahan.
Tanisha cukup paham pada konsep kehidupan yang mengatakan tidak semua harap dan ingin bisa terwujudkan. Pun tentang konsep bahwa manusia tidak bisa memilih dari keluarga mana ia dilahirkan. Namun Tanisha sering merasa bahwa semua ini terlalu berat, bukan merasa tidak adil hanya saja semakin lama hal ini semakin tak bisa ia atasi.
Ibu yang membencinya sejak ia lahir, ayah yang ternyata seorang penyuka sesama jenis dan dilecehkan secara seksual berkali-kali oleh simpanan ayahnya. Lantas Carissa, satu-satunya yang ia miliki pun kini entah dimana.
***
Ketika hendak berbalik untuk pergi, Jorell mendengar pintu gerbang di belakangnya terbuka. Derit yang dihasilkan dari gesekan roda pintu dan besi disusul dengan debuman pintu yang ditarik keras.
"Icha?"
Sosok Tanisha yang muncul seketika pintu terbuka membuat Jorell terperanjat. Refleks Jorell melihat pada arloji yang melingkari pergelangan kirinya. Pun Tanisha yang tak kalah terkejut mendapati Jorell yang ada di depan rumahnya.
"Jo..."
"Lo malem-malem gini?" Jorell memindai penampilan Tanisha yang mengenakan celana jins selutut dan kaos oblong warna hitam serta sandal slop bergambar Grizzly Bear. Tanisha yang tak kunjung menjawab membuat Jorell mengalihkan tatapan ke sepasang keping hitam cewek itu.
"Cha?" Panggil Jorell karena Tanisha yang tak kunjung bersuara.
"Gue mau beli pembalut ke minimarket di depan," jawab cewek itu cepat. Jorell tentu tak lantas percaya tapi ia tahu Tanisha tidak suka dicecar dengan banyak pertanyaan.
"Oh... Gue anter, ya? Udah malem gini nggak baik anak gadis secantik barbie kaya lu keluar sendirian."
"Apaan sih, Jo?"
"Ih, si Barbie kalau senyum ngalahin cantiknya ibu peri deh."
"Ada-ada aja lo!"
Jorell mengikuti langkah Tanisha yang mendahuluinya. Seketika Jorell berinisiatif melepas jaket yang dipakainya dan memakaikan itu pada Tanisha.
"Kapan lagi gue bisa mesra-mesraan sama lo tanpa digangguin Renan?"
Tanisha menggeleng seraya tersenyum. Mereka masih berjalan beriringan tanpa adanya obrolan. Jorell memerhatikan Tanisha lagi dan lagi, mencoba mencari tahu apa yang salah dengan cewek itu tapi keterdiaman Tanisha sama sekali tidak memberinya petunjuk.
Jorell membukakan pintu untuk Tanisha masuk ke dalam minimarket dan ia berjalan di belakang mengikuti Tanisha. Seketika kening Jorell berkerut bingung karena Tanisha justru diam di depan lemari pendingin minuman ketimbang segera menuju ke bagian personal care untuk membeli pembalut yang tadi dikatakannya.
"Cha?"
Cewek itu kembali terperanjat. Sepasang keping hitam itu tak bercahaya. Hampa mengisi seluruh binarnya.
"Lo baik?"
Tanisha mengerjap beberapa kali kemudian menjawab, "Emangnya gue kenapa?"
"Lo nggak jadi beli pembalut?" Tanya Jorell lagi saat Tanisha kini justru berjalan menuju kasir. Cewek itu sontak berhenti kemudian berbalik menatap Jorell.
"Gue lupa masih punya sisa di rumah."
"Cha..."
"Hm?"
"Gue ada di sini kalo lo butuh sesuatu."
Entah kenapa Jorell tiba-tiba berkata seperti itu. Ia hanya merasa aneh pada gelagat Tanisha. Entah kenapa firasatnya pada Tanisha jadi tidak baik.
Tanisha tersenyum kemudian berbalik kembali berjalan ke meja kasir tanpa memedulikan Jorell. Usai membayar keduanya keluar dari minimarket dan berjalan pulang.
Perjalanan pulang sama seperti saat mereka berangkat, hanya diisi suara langkah mereka berdua. Jorell sendiri beberapa kali kembali melirik pada Tanisha yang hanya menatap ke depan.
"Cha..."
"Ada apa sih, Jo? Dari tadi lo berentiin gue mulu!"
"Hari itu... Waktu gue telpon lo balik kenapa nggak lo angkat?"
Kening Tanisha berkerut-kerut. Sepasang matanya mengerling kepada Jorell lantas bibirnya mengerucut.
"Kapan sih?"
"Waktu gue berangkat ke Singapore," jawab Jorell gemas.
"Oh... Itu."
"Iya. Kenapa waktu gue telpon lo balik, lo nggak pernah angkat? Gue bikin salah ya sama lo?"
Pandangan dari sepasang keping hitam itu melurung, jari-jari kakinya seolah terlihat lebih menarik daripada wajah Jorell yang menunggu jawabannya.
"Nggak kok. Lo nggak lakuin kesalahan apapun."
"Terus kenapa sejak saat itu lo nggak pernah sekalipun angkat panggilan dari gue? Bahkan sampai sekarang."
Gestur tubuh Tanisha memperlihatkan betapa tidak nyamannya cewek itu dicecar pertanyaan terus menerus oleh Jorell. Sebenarnya Jorell tak ingin terlihat seperti memojokkan Tanisha tapi dia perlu mendengar jawaban dan alasan kenapa Tanisha tiba-tiba membuang eksistensi Jorell dari hidup cewek itu.
"Waktu itu hp gue ilang. Semuanya ilang."
"Bohong!"
Tanisha jelas-jelas berbohong. Nada sambung itu masih ada, diteruskan oleh suara operator yang berkali-kali mengatakan si pemilik nomor sedang tidak bisa menerima panggilan.
Suara decakan terdengar, disusul derai tawa sumbang dari belah bibir Tanisha.
"Jo... Mau gue bilang hal itu seribu kali juga lo nggak bakal percaya ya, 'kan? Jadi semuanya terserah lo."
Tanisha memilih untuk kembali melanjutkan langkah tapi panggilan Jorell menghentikannya lagi.
"Cha... Gue minta maaf. Kalo gue ada salah sama lo, gue minta maaf."
"Gue kan udah bilang sama lo, Jo. Lo nggak salah, lo nggak melakukan kesalahan apapun. Cuma... Untuk maaf, udah terlambat, Jo. Maaf lo udah terlambat dan udah terlambat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Serotonin
RomansaBagi Renan Fausta Adiwilaga, cinta hanya ada dalam fiksi dan cerita dongeng. Bahagia hanyalah kata, Renan adalah kegelapan yang memakai jubah cahaya. Sejak perceraian orang tuanya, yang Renan tahu tentang sebuah hubungan hanyalah sebuah omong kosong...