Renan tak tahu kalau perbuatannya telah menyakiti Tanisha sebegitu dalam. Dia tak bermaksud pergi meninggalkan Tanisha. Dia juga tak bermaksud menyakiti gadis itu. Dia pergi karena suatu hal dan sialnya dia bahkan tak bisa memberitahu Tanisha karena kepergiannya juga begitu mendadak.
Renan terus mencoba menghubungi Tanisha. Dia kehilangan gadisnya karena Tanisha berlari setelah mendorongnya hingga jatuh.
"Sial! Kamu dimana, Tanisha?" Sungguh Renan tak bisa merasa tenang. Kantuk telah meninggalkan kelopak matanya karena kini pemikiran tentang Tanisha memenuhi kepalanya hingga meluber.
Dua puluh menit yang lalu sesuatu terjadi di antara mereka. Tanisha yang kemarahannya masih membara membuat kesadaran gadis itu seperti batu yang terkikis erosi air hujan. Kedua keping hitamnya yang kali ini tak tertutup lensa kontak menatapnya dengan kehampaan dan kesedihan yang mengabut. Namun Tanisha tidak menangis.
Tanisha tak pernah menangis.
"Ada cewek lain ya 'kan, Re? Lo punya seseorang yang baru." Kata-kata Tanisha membuat kening Renan berkerut. Renan merasa Tanisha sudah benar-benar kehilangan kewarasannya. Perkataan gadis itu membuat kemarahan Renan kembali. Renan tak menyangka Tanisha berpikir seburuk itu tentang dirinya.
"Kamu ngomong apa sih, Ta? Nggak ada. Nggak akan pernah ada," balas Renan keras. Tanisha masih menatapnya dengan kekosongan yang sama lalu gadis itu tertawa dengan sinis.
"Bullshit!" umpat Tanisha. Renan tak suka mendengar Tanisha mengumpat.
"Jaga ucapan kamu, Ta! Aku nggak suka kamu ngomong begini ke aku." Tanisha tertawa lagi atas responnya yang penuh emosi. Dia tak bisa mengerti Tanisha. Tanisha sangat sulit dibaca dan dimengerti.
"Apa karena itu, Re? Apa karena gue nggak pernah ngasih hal yang biasanya orang yang berpacaran lakuin, makanya lo mencari cewek lain yang bisa kasih lo hal itu?" Renan tak tahu lagi harus berkata apa. Dipikiran Tanisha, Renan adalah pria yang sebrengsek itu. Sedangkan Tanisha sendiri tahu jika memang Renan ingin, dia bisa melakukannya kapan saja. Tapi tidak, Renan memilih bertahan dan menunggu Tanisha.
Namun Tanisha menganggapnya sebinatang itu.
Sialan.
"Cukup, Tanisha! Sekarang masuk!"
"Nggak. Gue nggak mau masuk!"
"Aku bilang masuk, Tanisha!"
"Lo nggak ada hak nyuruh gue ini itu lagi, Renan!" Bentakan Tanisha membuat isi kepala Renan meluber oleh emosi. Setiap ujung-ujung syaraf kewarasannya kini tengah memercik api. Renan meraih dan meremas tangan Tanisha dengan erat. Kemarahan di matanya mencoba membakar sepasang keping hitam di mata Tanisha namun gadis itu masih menatapnya dengan kabut hitam yang sama.
"Kalau aku bilang masuk, kamu harus masuk, Tanisha!" Renan menarik Tanisha dengan semua dominasi dan amarah yang membakar jiwanya. Pria itu bahkan menulikan telinga atas pekikan dan erangan sakit Tanisha yang gadis itu ungkapkan disertai umpatan.
"Are you insane?" Bentak Tanisha keras. Gadis itu menyentak tangan Renan dengan kasar namun Renan sudah berhasil membawanya masuk ke dalam apartemen pria itu. Dada Tanisha naik turun oleh napasnya yang bercampur emosi. Dia tidak bisa berpikir jernih dengan pengaruh alkohol dan kemarahan yang menghabisi nyaris seluruh akal sehat yang ia miliki.
Renan begitu terkejut ketika Tanisha mendorongnya dengan sebuah ciuman yang keras dan terburu. Pria itu tidak siap sedangkan Tanisha tampak sangat tergesa dan marah. Renan berjalan mundur dengan langkah yang berantakan mengikuti langkah Tanisha. Tubuh besarnya jatuh di sofa dengan keras dan ia tak dapat lagi menahan jantungnya untuk tetap diam di tempat saat Tanisha naik ke atas pangkuannya lalu kembali menciumnya dengan penuh tekanan.
Keterkejutan Renan belum usai. Setelah ciuman kasar dan menuntut itu Tanisha membawa tangannya untuk menggenggam salah satu dada Tanisha sedang tangan gadis itu mulai mengangkat keliman kaos oblong abunya ke atas untuk mempertemukan kulit mereka.
"Kalau memang ini cara pisah yang kamu mau, Re. Aku akan berikan itu buat kamu."
Renan melihat tangisan di mata Tanisha tapi gadis itu tak menangis sama sekali. Ada seribu atau mungkin jutaan sayatan luka di dalam sepasang keping hitam itu yang membuat Renan bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Namun Tanisha seperti enggan membiarkan Renan mencari tahu, konsentrasinya pecah berkeping saat bibir kecil Tanisha sampai di pusarnya. Menggali sebuah hasrat yang telah begitu lama Renan pendam.
"Ta, berhenti!" Renan mungkin menginginkan ini. Sangat menginginkannya. Tapi dia tidak ingin hal itu terjadi dengan cara seperti ini. Tidak dengan kata perpisahan yang sempat Tanisha katakan atau kemarahan yang menghanguskan akal sehat gadis itu. Renan mencoba menarik Tanisha untuk menjauh tapi gadis itu sangat keras kepala. Tanisha membuat kewarasan Renan menipis dengan begitu cepat. Sentuhannya adalah magis, mantra yang bekerja dengan sangat cepat.
Renan terlena, terbuai oleh manisnya dosa yang ditanam Tanisha pada kulitnya dengan kecupam yang begitu membakar. Tangannya menarik Tanisha untuk kembali naik ke atas pangkuannya lalu Renan menatap pada keping hitam itu yang masih saja kosong. Ada kesadaran yang jatuh sederas air terjun di atas kepala Renan.
"Berhenti. Bukan ini yang kamu mau. Bukan ini yang aku mau," gumam Renan. Ia melihat ekspreksi Tanisha yang kosong mulai terisi oleh kebingungan. Pandangan gadis itu bergerak kemana saja. Napasnya juga memburu seperti orang yang sedang panik dan kacau, membuat Renan terpengaruh dengan hal itu.
Lalu tiba-tiba Tanisha bangun dengan cepat dan meninggalkan Renan tanpa kata. Renan mencoba untuk mengejar Tanisha tapi dia kesusahan dengan pakaiannya yang berantakan. Dia berhasil menangkap Tanisha saat gadis itu mencapai pintu namun Tanisha mendorongnya begitu kuat hingga ia terjatuh ke lantai. Pintu tertutup dengan sangat keras karena Tanisha berlari dan ia tak bisa lagi mengejar gadis itu.
***
Saat mendapat telepon dari Jorell yang mengatakan kalau Tanisha mengatakan hal yang aneh pada pemuda itu, Dirandra tak memedulikan lagi hitam putih yang sedang dikerjakannya dan langsung meluncur ke jalanan untuk mencari Tanisha. Dirandra segera menyuruh orang-orangnya untuk mencari keberadaan Tanisha dan menekankan setiap katanya agar mereka semua dapat menemukan Tanisha dengan segera. Sampai kemudian ponselnya berdering untuk pertama kalinya setelah beberapa tahun dengan nama Tanisha sebagai pemanggil.
"Lo dimana, dek?"
"Dimana Renan?"
Tidak ada sapaan atau basa-basi. Dirandra sadar diri untuk hal ini. Tak ada alasan bagi Tanisha untuk bersikap baik padanya sekalipun gadis itu datang padanya untuk meminta tolong.
"Di apartemennya. Lo dimana sekarang, dek? Abang jemput, ya?" Tapi Tanisha memutus sambungan telepon mereka dan ketika Dirandra mencoba menghubunginya lagi, Tanisha tak sekalipun menjawab.
Dirandra menunggu di depan bangunan komplek apartemen Renan dan melihat Tanisha datang dengan sebuah taksi. Tanisha berjalan dengan sempoyongan dan seperti yang Dirandra duga gadis itu mabuk lagi. Ia mengerti Tanisha membutuhkan waktu untuk berbicara dengan Renan jadi ia membiarkan Tanisha menemui Renan sendiri dan Dirandra bersumpah setelah ini ia akan menghabisi Renan karena telah membuat Tanisha sakit. Dia baru mengetahui kalau Renan menghilang dari Tanisha selama tiga hari ini dan ternyata Tanisha jatuh sakit karena hal itu.
Empat puluh menit kemudian Tanisha keluar dari apartemen Renan dengan berlari. Dirandra segera mengikuti kemana Tanisha pergi. Sampai pada persimpangan gadis itu kembali menghentikan sebuah taksi. Mobilnya melaju dengan kecepatan konstan di belakang taksi yang dinaiki Tanisha. Lalu taksi itu berhenti di sebuah minimarket dua puluh empat jam dan Tanisha turun untuk membeli sebotol air mineral. Dirandra masih memerhatikan gadis itu dari dalam mobil hingga akhirnya Tanisha memilih duduk di trotoar tak jauh dari minimarket dan menyandarkan kepalanya pada tiang listrik.
Dirandra keluar dari mobilnya dan menghampiri Tanisha yang menatap kosong pada jalanan yang sepi. Perasaannya hancur berkeping melihat hal itu. Dia adalah salahsatu rasa sakit yang dirasakan Tanisha. Namun janjinya pada Carissa untuk melindungi Tanisha membuatnya tak bisa meninggalkan Tanisha seperti apa yang gadis itu mau. Dirandra duduk di dekat Tanisha dengan jarak sekitar tiga puluh centi. Tanisha akan marah jika ia berani terlalu dekat.
"Minum air yang banyak biar kepalanya nggak pusing." Tanisha menurut dan meminum air mineral yang diberikan Dirandra hingga habis setengah.
"Gue capek, Bang. Gue capek. Gue capek sama hidup gue."
KAMU SEDANG MEMBACA
Serotonin
RomanceBagi Renan Fausta Adiwilaga, cinta hanya ada dalam fiksi dan cerita dongeng. Bahagia hanyalah kata, Renan adalah kegelapan yang memakai jubah cahaya. Sejak perceraian orang tuanya, yang Renan tahu tentang sebuah hubungan hanyalah sebuah omong kosong...