Jilid 1/39

2.4K 22 0
                                    

Bagi mereka yang bukan pedagang keliling dan yang tak pernah melakukan perjalanan melintasi Tembok Besar, pastilah menyangka bahwa kekuasaan Kerajaan Ceng yang dipegang oleh bangsa Mancu tentu berhenti sampai di Tembok Besar itu saja. Padahal sesungguhnya tidaklah demikian.

Bangsa Mancu sendiri adalah bangsa yang tinggal jauh di utara yang sangat dingin, di daerah yang keras dan kejam, dan di luar Tembok Besar masih terdapat daerah yang sangat luas. Di sebelah utara Tembok Besar masih ada Propinsi Liaoning dan Jilin yang berbatasan dengan Korea, daerah Mancuria sendiri yang luas, kemudian masih terdapat pula daerah Mongolia Dalam atau Mongol, dan daerah Mongolia yang lebih luas.

Akan tetapi, setelah melewati Tembok Besar memang merupakan daerah yang liar serta kejam, dengan tidak terhitung banyaknya bukit di antara padang pasir yang luas dan merupakan lautan pasir yang ganas.

Padang pasir seperti ini memang ganas, dan bahkan kadang-kadang kejam sekali. Dari tulang-tulang kuda, onta, bahkan manusia yang terdapat berserakan di sana sini dapat diketahui bahwa lautan pasir itu sudah banyak menelan korban. Mayat manusia dan bangkai binatang yang tewas dalam perjalanan melintasi lautan pasir dibiarkan saja berserakan, membusuk dimakan terik panas matahari, atau pun digerogoti anjing-anjing serigala dan binatang buas lainnya, dibiarkan tinggal tulang-tulangnya saja yang lama-lama mengering.

Lautan pasir yang kelihatan tak bertepi itu memang kejam, juga mengandung kesunyian yang mendatangkan suasana menyeramkan penuh keajaiban. Bayangkan saja betapa mengerikan tersesat di lautan pasir seperti itu, di mana tidak dapat ditemukan setetes pun air, sebatang rumput pasir. Yang ada hanya pasir di mana-mana, panas dan silau, tidak diketahui lagi mana utara dan mana selatan. Belum lagi kalau datang badai yang membuat pasir bergulung-gulung dan seakan berombak seperti air di lautan, menelan apa saja yang menghalang di depan.

Para pedagang yang melakukan perjalanan dan kemudian tersesat, kehabisan air minum, kelelahan dan terjebak di dalam lautan pasir tanpa mengetahui ke arah mana mereka harus menuju, saking takut dan ngerinya, banyak di antara mereka yang dapat melihat pemandangan-pemandangan khayal yang aneh-aneh.

Ada yang melihat air terjun dengan air yang melimpah-limpah dan segar sejuk, akan tetapi ketika mereka menghampiri, yang ada hanya pasir belaka! Ada yang melihat anak sungai dengan airnya yang segar, atau melihat kebun dengan pohon-pohon menghijau dan buah-buah yang sudah masak, dan sebagainya. Akan tetapi, semua itu hanyalah bayangan khayal belaka, yang timbul karena alangkah besarnya keinginan hati mereka mengharapkan air, pohon dan sebagainya yang amat mereka butuhkan itu.

Di tengah-tengah salah satu di antara padang-padang pasir yang amat luas itu, terdapat sebuah gedung istana kuno, lengkap dengan kebun yang cukup luas, dengan pohon-pohon buah yang subur, dan sayur-sayuran, bahkan tumbuh pula gandum di ladang. Terdapat pula sumber air tidak jauh dari istana kuno itu. Sungguh merupakan suatu keadaan yang ajaib. Andai kata ada orang tersesat sampai ke daerah itu lalu melihat bangunan istana berikut perkebunannya yang subur itu, tentu dia akan mengira bahwa dia pun hanya melihat pemandangan khayal belaka.

Akan tetapi tidaklah demikian sesungguhnya. Bangunan itu memang sebuah bangunan istana yang besar, pernah di jaman dulu bangunan ini merupakan istana peristirahatan dari seorang raja-diraja, seorang kaisar besar yang bukan lain adalah Kaisar Jenghis Khan dari Kerajaan Mongol.

Akan tetapi, puluhan tahun yang lalu, istana itu dihuni oleh seorang sakti yang aneh, yang di dunia persilatan tingkat tinggi dikenal sebagai tokoh dongeng yang bernama Dewa Bongkok. Nama Dewa Bongkok yang menjadi penghuni Istana Gurun Pasir ini tidak kalah terkenalnya dan dianggap sebagai setengah dongeng saja, seperti halnya Pendekar Super Sakti penghuni Pulau Es! Setelah Dewa Bongkok meninggal dunia, kini yang menjadi penghuni istana Gurun Pasir itu adalah muridnya yang bernama Kao Kok Cu, yang di dunia persilatan dikenal sebagai Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir!

Nama besar Pendekar Naga Sakti ini pernah menggemparkan dunia persilatan, dan dia tidak kalah terkenalnya dibandingkan mendiang gurunya. Kini Kao Kok Cu telah menjadi seorang kakek yang tua renta, tinggal di dalam istana kuno itu berdua saja dengan isterinya.

Isterinya bukanlah wanita sembarangan, melainkan seorang pendekar wanita yang juga pernah menggemparkan dunia persilatan. Namanya Wan Ceng, dan ketika kecil pernah tinggal di Kerajaan Bhutan, jauh di barat bahkan menjadi saudara angkat Puteri Syanti Dewi dari Bhutan sehingga ia memperoleh nama julukan Candra Dewi.

Wan Ceng juga memiliki kesaktian dan kini ia dalam usia tujuh puluh dua tahun tinggal bersama suaminya di Istana Gurun Pasir. Mereka berdua hidup di situ tanpa pelayan, hanya berdua saja, mengerjakan ladang dan kebun sendiri yang hasilnya jauh lebih dari pada cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Sebagian besar dari waktu luang mereka dipergunakan untuk bersemedhi dan bertapa.

Keadaan sepasang suami isteri ini tidak dapat disamakan dengan keadaan para pertapa yang sengaja mengasingkan diri dari dunia ramai, pergi bertapa dengan suatu pamrih tertentu.

Orang pergi meninggalkan dunia ramai untuk bertapa di puncak bukit yang sunyi, di dalam goa yang sederhana, hanya mengenakan cawat saja, hanya makan seadanya, menyiksa diri menahan haus dan lapar, tentu mempunyai suatu tujuan tertentu. Tujuan inilah pamrih, dan semua pamrih, baik yang terbuka mau pun terselubung, tentu selalu menjangkau suatu keadaan yang menyenangkan.

Walau pun pamrih mendapatkan keadaan yang menyenangkan ini diperhalus dengan sebutan muluk, tetap saja merupakan pamrih demi kesenangan diri. Mungkin dia akan mengatakan bahwa dia bertapa untuk mencari kesempurnaan hidup, mencari Tuhan, mencari kebahagiaan, dan sebagainya. Namun pencariannya itu sendiri membuktikan bahwa dia menginginkan sesuatu yang dianggapnya akan mendatangkan kesenangan dalam bentuk kedamaian, kebahagiaan, dan lain sebutan lagi
.

Sepasang suami isteri itu tidak mencari apa-apa. Istana Gurun Pasir itu memang milik mereka, peninggalan dari Dewa Bongkok kepada muridnya, yaitu kakek Kao Kok Cu. Mereka berdua memang amat senang tinggal di tempat sunyi itu, bukan untuk mencari sesuatu atau menjadikan tempat yang sunyi itu sebagai pelarian dari dunia ramai. Sama sekali tidak. Mereka memang merasa senang tinggal di tempat yang penuh keheningan itu dan merasa berbahagia.

Akan tetapi, pada hari itu, Istana Gurun Pasir tidaklah setenang biasanya. Dari dalam gedung istana tua itu kini terdengar suara gelak tawa dan percakapan yang diselingi suara ketawa gembira. Kiranya suami isteri tua itu kedatangan seorang tamu yang sama sekali tidak pernah mereka sangka-sangka.

Tamu itu bukan seorang asing. Dia seorang hwesio yang bernama Tiong Khi Hwesio, usianya juga sudah tujuh puluh dua tahun dan tentu saja kunjungan hwesio ini disambut gembira oleh kakek dan nenek itu, terutama sekali nenek itu karena hwesio ini bukan lain adalah saudara tirinya sendiri, seayah berlainan ibu.

Pada waktu mudanya, Tiong Khi Hwesio adalah seorang pendekar sakti yang pernah menggemparkan dunia kang-ouw dengan julukan yang mengerikan, yaitu Si Jari Maut! Dia menikah dengan Syanti Dewi, puteri Kerajaan Bhutan dan sampai tua dia tinggal di kerajaan kecil itu. Setelah isterinya meninggal dunia, dia hampir gila karena duka. Akan tetapi, pertemuannya dengan seorang pendeta tua menyadarkannya dan mulai saat itu, Wan Tek Hoat, demikian namanya, lalu menggundul rambut kepala dan mengenakan jubah, menjadi seorang hwesio yang berkelana.

Mereka bertiga bercakap-cakap sambil makan sederhana dengan sayuran segar yang dimasak sendiri oleh nenek Wan Ceng. Kemudian mereka bertiga keluar dari istana itu dan duduk di serambi depan sambil bercakap-cakap. Kao Kok Cu yang dahulu berjuluk Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir itu, walau pun usianya sudah hampir delapan puluh tahun masih nampak gagah penuh semangat.

Lengan kirinya yang buntung itu tak membuatnya terlihat mengerikan, bahkan membuat dirinya nampak lebih berwibawa. Wajahnya yang tampan membayangkan kelembutan, sinar matanya mencorong seperti mata naga namun juga membayangkan kelembutan dan kesabaran. Melihat sepintas lalu, takkan ada orang mengira bahwa kakek tua renta yang lengan kirinya buntung ini memiliki kesaktian yang amat hebat.

Dua macam ilmu simpanannya, yaitu Sin-liong Hok-te, jurus pasangan kuda-kuda yang membuat tubuhnya seperti mendekam di atas tanah bagaikan seekor naga, kemudian dapat menimbulkan tenaga dahsyat yang mukjijat, dan Ilmu Silat Sin-liong Ciang-hoat, jarang dapat ditandingi di dunia persilatan.

Isterinya, nenek Wan Ceng, meski pun usianya juga sudah tua sekali, masih nampak sehat. Mukanya tidak penuh keriput dan kulit muka itu masih halus kemerahan saking sehatnya, walau pun giginya telah ompong dan rambut di kepala telah putih semua.

Nenek ini pun memiliki ilmu simpanan yang khas, yaitu Ban-tok-ciang. Kalau dia sudah mengerahkan tenaga memainkan ilmu silat ini, kedua tangannya mengandung selaksa racun (ban-tok) yang amat dahsyat dan berbahaya bagi lawan. Dan juga pedangnya, Ban-tok-kiam, merupakan pusaka yang mengerikan.

Ada pun tamu itu, Tiong Khi Hwesio, biar pun sudah setua nenek itu, namun tubuhnya masih tegap, jalannya masih tegak. Jubahnya kuning bersih, matanya tajam berkilat dan mulutnya selalu tersenyum sinis. Kakek yang dulunya pernah berjuluk Toat-beng-ci (Si Jari Maut) ini mempunyai berbagai ilmu silat simpanan seperti Pat-mo Sin-kun, Pat-sian Sin-kun, dan memiliki ilmu sinkang (tenaga sakti) yang diberi nama Tenaga Inti Bumi. Juga pedangnya, Cui-beng-kiam, adalah sebuah pedang pusaka yang ampuh sekali.

Sebetulnya baru beberapa bulan yang lalu, Tiong Khi Hwesio berjumpa dengan kakek dan nenek itu ketika mereka semua menghadiri pernikahan Pendekar Suling Naga yang bernama Sim Houw, dengan Can Bi Lan, gadis yang pernah mendapat bimbingan ilmu silat dalam waktu singkat dari kakek dan nenek ini sehingga dapat dibilang gadis itu murid mereka. Pernikahan itu diadakan di rumah Pendekar Kao Cin Liong, yaitu putera tunggal suami isteri dari Istana Gurun Pasir ini.

Akan tetapi karena pertemuan itu terjadi di dalam sebuah pesta di mana hadir banyak tamu, mereka merasa kurang leluasa bercakap-cakap. Siapa kira, tahu-tahu kini hwesio tua itu muncul di istana mereka, tentu saja kakek dan nenek itu menjadi gembira bukan main.

"Tek Hoat, sungguh aku girang bukan main bahwa engkau sudi datang berkunjung pada kami. Pertemuan dalam usia yang amat tua ini sungguh mendatangkan kenangan ketika masih muda, dan menggembirakan sekali. Terima kasih, Tek Hoat."

Nenek itu memang selalu menyebut saudara tirinya dengan nama kecilnya saja, tidak peduli bahwa sekarang saudara tirinya itu sudah menjadi seorang hwesio tua, seorang pendeta!

Tiong Khi Hwesio tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, bertemu dan bercakap-cakap denganmu membuat orang sama sekali lupa bahwa ia telah menjadi tua bangka, Wan Ceng. Sikap dan kata-katamu seakan tidak pernah berubah, aku melihatmu seperti melihat engkau ketika masih gadis, ha-ha-ha!"

Kao Kok Cu juga turut tersenyum. Kemudian dia yang biasa bersikap serius, berkata dengan halus namun meyakinkan, "Memang, waktu berjalan dengan cepatnya dan tahu-tahu kita semua telah menjadi tua, sudah masak untuk meninggalkan dunia ini. Akan tetapi, pernahkah kita menyelidiki pada diri sendiri, kebaikan dan kegunaan apa saja yang pernah kita lakukan untuk mengisi kehidupan kita yang tidak berapa panjang ini?"

Ucapan ini membuat Wan Ceng dan Tiong Khi Hwesio termenung sampai beberapa lama. Mereka terbenam dalam lamunan masing-masing. Kemudian Tiong Khi Hwesio berkata.

"Omitohud Kao-taihap, ucapanmu itu menggugah semua kenangan lama dan pinceng melihat betapa selama hidup pinceng itu, jauh lebih banyak dukanya dari pada sukanya dan perbuatan pinceng jauh lebih banyak buruknya dari pada baiknya. Perbuatan buruk itu pinceng lakukan karena ada dorongan nafsu, sedangkan perbuatan baik pun pinceng lakukan dengan menyembunyikan pamrih demi keuntungan diri pribadi. Omitohud, kalau dikaji benar, tidak ada baiknya perbuatan pinceng."

"Aihh, jangan kau berkata demikian, Tek Hoat. Aku tahu bahwa apa pun yang terjadi, engkau berjiwa pendekar yang gagah perkasa. Kalau tidak demikian, mana mungkin enci Syanti Dewi sampai tergila-gila dan jatuh cinta kepadamu? Engkau memang terlalu merendahkan diri sendiri," kata Wan Ceng. "Banyaklah sudah kegagahan kau lakukan karena memang watakmu yang gagah perkasa, seperti seorang pendekar sejati, tanpa pamrih."

"Tapi... tapi... kalau pinceng ingat sekarang, semua perbuatan itu pinceng lakukan demi cinta pinceng kepada mendiang isteriku, Syanti Dewi. Andai kata tidak ada Syanti Dewi, tidak ada cintaku terhadapnya... ahh, tidak tahulah aku, apa yang akan terjadi dengan diriku..." Tiong Khi Hwesio nampak termangu.

Kao Kok Cu menarik napas panjang. "Memang demikian keadaannya. Kita tidak pernah bebas. Perbuatan kita tidak pernah bebas dari pada pamrih. Karena ikatan-ikatan maka kita selalu berbuat dengan adanya pamrih di belakang perbuatan itu, membuat semua perbuatan kita palsu adanya. Betapa pun baiknya suatu perbuatan itu menyembunyikan pamrih, maka perbuatan itu adalah suatu kejahatan pula, karena perbuatan itu hanya menjadi semacam cara untuk mendapatkan hasil yang kita kehendaki."

Tiong Khi Hwesio juga menarik napas panjang. "Omitohud, bijaksana sekali ucapanmu itu, Kok-taihiap. Akan tetapi, bagaimana mungkin perbuatan kita tidak menyembunyikan pamrih?"

"Bukankah pamrih itu muncul dari ikatan kepada sesuatu? Ikatan inilah yang menjadi pamrih dalam perbuatan kita. Karena itu, satu-satunya kebenaran adalah kebebasan! Sebelum bebas dari semua ikatan, tak mungkin perbuatan kita benar, dalam arti yang sedalam-dalamnya. Kita harus berani bebas, harus berani sendirian, sebab bersendirian ini merupakan kenyataan hidup. Masing-masing dari kita membawa kehidupan sendiri-sendiri dan akan mengakhiri kehidupan ini sendiri-sendiri pula. Kita takut bersendirian, melihat kenyataan betapa kita ini masing-masing kosong, lemah tidak berarti, maka timbullah rasa takut dan kita lalu mencari pegangan, mencari ikatan sebanyaknya agar si aku tidak kehilangan pijakan. Kita memperbanyak ikatan yang kita anggap mampu mendatangkan kekuatan dan mendatangkan hiburan, seperti orang takut terhadap setan lalu mencari banyak teman. Padahal, ikatan-ikatan ini pangkal semua kesengsaraan."

Wan Ceng yang sejak tadi mendengarkan, mengerutkan alis. Sudah sering ia bercakap-cakap dengan suaminya tentang hal ini, namun masih juga merasa sukar untuk dapat menangkap maknanya yang tepat. Sekarang ada Tiong Khi Hwesio di situ, maka dia mengajukan bantahannya lagi agar dapat lebih mudah menyelidiki dan mengerti.

"Akan tetapi, kalau kita membiarkan diri bebas dari ikatan, lalu mana ada cinta? Apakah kita harus bersikap tak peduli, apakah kita harus meniadakan kewajiban-kewajiban dan hidup dengan sikap acuh dan masa bodoh?"

Suaminya tersenyum, senyum penuh kasih yang selalu ditujukan pada isterinya. Sudah sering isterinya membantah seperti ini, dan dia tahu bahwa isterinya masih juga belum mengerti benar dan kini hendak minta dukungan Tiong Khi Hwesio terhadap sanggahan atau bantahannya itu.

"Benar sekali, Kao-taihiap, seperti apa yang dikemukakan isterimu. Agaknya kebebasan seperti ini, seperti yang kau katakan tadi, berlawanan dengan tugas-tugas dalam hidup ini, seperti kewajiban terhadap keluarga, masyarakat, pemerintah dan lain sebagainya. Bukankah jika sudah bebas dari segalanya seperti itu, kita lalu menjadi acuh dan hidup seperti boneka saja?"

Kao Kok Cu tersenyum dengan penuh kesabaran. Ia tahu betapa sukarnya mempelajari hidup, betapa sukarnya membuka mata melihat kenyataan hidup seperti apa adanya. Dia sendiri pun baru-baru ini saja, dalam usia tua renta, dapat melihat kenyataan ini dengan waspada.

"Marilah kita selidiki bersama. Semua perbuatan kita ini merupakan pencerminan dari keadaan batin, bukan? Kalau batin tidak bebas, perbuatan pun tidak akan bebas dari pamrih. Karena itu, yang dimaksudkan dengan kebebasan di sini bukanlah kebebasan lahiriah. Lahiriah, kita tidak mungkin bebas. Kita adalah bagian dari masyarakat, bagian dari bangsa dan negara dengan segala macam adat istiadat dan hukumnya. Kita secara lahiriah tidak mungkin bebas dari semua itu, dari kewajiban terhadap keluarga, terhadap pemerintah, terhadap pekerjaan, terhadap teman, masyarakat dan sebagainya. Akan tetapi, haruskah batin juga terikat? Tak dapatkah secara lahiriah kita mempunyai, akan tetapi batin tidak ikut memiliki? Hanya batin yang bebas saja yang akan dapat mengenal cinta kasih, bukan cinta nafsu yang mengikat."

Tiong Khi Hwesio dan Wan Ceng mendengarkan, terdiam dan seperti terpesona karena mereka pun dapat melihat kenyataan melalui petunjuk ini.

"Sekarang aku mulai bisa melihat," kata Wan Ceng mengangguk-angguk. "Bebas bukan berarti bebas semau gua, karena semau gua merupakan tindakan lahiriah, tindakan badan yang penuh nafsu, tindakan pikiran yang selalu ingin enak sendiri. Bebas batin mendatangkan cinta kasih, dan perbuatan yang didasari cinta kasih tentu tidak akan menyeleweng dari pada kebenaran."

"Omitohud...!"Tiong Khi Hwesio memuji sambil merangkapkan kedua tangan di depan dada. "Betapa bahagianya hati pinceng, betapa beruntungnya pinceng dan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih yang telah menuntun pinceng untuk berkunjung ke sini sehingga sempat berbincang-bincang dengan kalian berdua. Pinceng mengalami sendiri akan buruknya ikatan. Pinceng terikat lahir batin dengan Syanti Dewi sehingga ketika isteriku itu meninggal dunia, pinceng seperti orang gila karena kehilangan!"

"Ikatan selalu mendatangkan duka dan kehilangan. Yang bisa kehilangan hanya mereka yang memiliki. Kalau batin tidak memiliki apa-apa, bagaimana bisa kehilangan? Itulah namanya bebas batiniah, biar pun lahiriah terikat kaki tangan dan lehernya oleh segala macam kewajiban hidup."

"Wah-wah, terima kasih!" Tiong Khi Hwesio bangkit dengan wajah cerah dan gembira sekali. "Tetapi, mengapa kita tenggelam ke dalam hal-hal yang begini serius? Pinceng ingin sekali melihat-lihat lautan pasir yang maha luas ini. Kabarnya di padang pasir sering terjadi keanehan-keanehan, nampak kekuasaan alam yang maha hebat. Maukah kalian mengantar pinceng melihat-lihat dan menunjukkan segala kehebatan itu kepada pinceng?"

Kao Kok Cu dan Wan Ceng juga bangkit sambil tertawa dan mereka bertiga lalu pergi meninggalkan istana itu, menuju ke selatan karena istana itu menghadap ke timur, ke arah Mongol dari mana Kaisar Jenghis Khan berasal.....

KISAH SI BANGAU PUTIH (seri ke 13 Bu Kek Siansu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang