Jilid 16/39

1.1K 13 0
                                    

Sementara itu, Li Sian diajak bercakap-cakap di sebelah dalam, diterima dengan ramah dan hormat oleh Siangkoan Lohan dan puteranya, dijamu dan di dalam percakapan itu, pihak tuan rumah mulai menanamkan bibit-bibit permusuhan dan sakit hati terhadap Kerajaan Mancu yang telah membasmi keluarga Pouw.

"Kaum penjajah Mancu memang keterlaluan sekali," demikian antara lain Siangkoan Lohan berkata, "Bayangkan saja. Pihak kami, Tiat-liong-pang, kurang bagaimana dahulu membantu mereka dan kami telah mengorbankan segalanya untuk membantu mereka. Tetapi ternyata mereka itu merupakan bangsa yang tidak mengenal budi dan mudah melupakan jasa orang. Ayahmu sendiri, nona Pouw, adalah seorang di antara pembesar tinggi yang setia dan baik. Akan tetapi apa jadinya? Keluarga ayahmu dibasmi hanya karena ayahmu berani menentang Hou Seng, padahal ayahmu menentang Hou Seng justru untuk menyelamatkan negara dan kerajaan!"

Sedikit demi sedikit hati Li Sian dibakar. Akan tetapi gadis ini masih ragu-ragu. Gurunya selalu memberi wejangan supaya ia tidak menyimpan dendam terhadap siapa pun juga, dan hidup sebagai seorang pendekar harus bebas dari api dendam karena dendam akan melenyapkan pertimbangan adil. Seorang pendekar harus bertindak adil, membela kebenaran dan keadilan tanpa pilih bulu. Sebaliknya dendam membutakan mata akan kebenaran dan keadilan, semata-mata hanya untuk melampiaskan nafsu dendam saja.

"Saya masih bingung, Paman. Saya ingin sekali berjumpa dengan kakak sulung saya, oleh karena itu saya mohon bantuan Paman, sukalah membantu saya mencari di mana adanya kakak saya itu bertugas supaya saya dapat bertemu dengan anggota keluarga yang tinggal satu-satunya itu."

"Tentu, tentu sekali, Nona. Kami akan membantumu dan sementara ini, tinggallah di sini sebagai tamu kehormatan, ahhh, tidak, sebagai anggota keluarga kami sendiri, sebagai keponakanku!" kata Siangkoan Lohan dengan ramah sekali.

Li Sian merasa terharu. Kakek ini dan puteranya sungguh baik, menerimanya demikian ramahnya, bahkan menganggapnya sebagai anggota keluarga. Dia pun bangkit berdiri dan memberi hormat.

"Paman sungguh melimpahkan banyak budi kebaikan kepada saya, entah bagaimana saya akan mampu membalasnya. Akan tetapi, harap Paman jangan menyebut saya nona, membuat saya merasa kikuk saja, Paman."

Siangkoan Lohan tertawa. "Ha-ha-ha, baiklah, Li Sian, baiklah. Mulai sekarang engkau kuanggap keponakanku sendiri, karena mendiang ayahmu dulu amat cocok denganku, seperti saudara pula. Nah, anak Liong, engkau mendengar sendiri. Sekarang, engkau harus bersikap seperti seorang kakak terhadap Li Sian."

Siangkoan Liong bangkit berdiri, dan sambil tersenyum membalas penghormatan Li Sian. "Aku merasa girang sekali dapat menjadi kakak misanmu, Sian-moi (adik Sian)."

Kedua pipi Li Sian berubah agak merah mendengar sebutan Sian-moi itu, akan tetapi, kalau ia dianggap sebagai keponakan dari Siangkoan Lohan, sudah sepatutnya pemuda itu menyebutnya adik.

"Terima kasih atas kebaikanmu, Liong-toako (kakak Liong)," jawabnya.

Mereka lalu duduk kembali dan melanjutkan makan minum. Semenjak hari itu, Li Sian memperoleh sebuah kamar di rumah besar itu serta diperlakukan sebagai seorang tamu terhormat. Bahkan pada waktu ia diperkenalkan kepada para murid Tiat-liong-pang, juga kepada Sin-kiam Mo-li, semua orang tak berani bersikap kurang ajar padanya, maklum bahwa gadis itu selain lihai sekali, juga diterima sebagai keponakan Siangkoan Lohan. Bahkan Li Sian ikut pula dalam latihan perang-perangan itu, membantu Sin-kiam Mo-li untuk mempertahankan 'benteng kota raja' yang diserbu oleh pasukan yang dipimpin oleh Toat-beng Kiam-ong.

Setelah latihan itu selesai, Li Sian diperkenalkan kepada para sekutu yang lain, kepada Toat-beng Kiam-ong, kepada Agakai kepala suku Mongol, dan kepada Song Ciangkun, tangan kanan Coa Tai-ciangkun yang menjadi komandan pasukan pemerintah yang bertugas jaga di utara. Song Ciangkun inilah yang berjanji kepadanya untuk menyelidiki di mana adanya Pouw Ciang Hin, kakak sulung Li Sian sehingga gadis ini merasa gembira sekali.

Hubungannya dengan Siangkoan Liong juga akrab sekali karena pemuda itu memang pandai mengambil hati, ramah, sopan dan memiliki pengertian yang mendalam tentang sastra dan silat. Bahkan pemuda itu, untuk melakukan penyelidikan, beberapa kali telah mengajak gadis itu berlatih silat. Dengan lega dia mendapat kenyataan bahwa betapa pun lihai Li Sian, akan tetapi dia mampu mengatasi gadis itu walau pun selisihnya tidak berapa jauh!

Sebaliknya, Li Sian kagum sekali akan pengertian pemuda itu mengenai sastra dan tentang pengetahuan lain yang membuat dia merasa bodoh ketinggalan dan dia dapat banyak belajar dari pemuda itu. Dalam ilmu silat, ia pun dapat melihat bahwa Siangkoan Liong ini bahkan jauh lebih lihai dari Sin-kiam Mo-li, dan sungguh pun belum pernah mereka mengadu ilmu untuk menentukan siapa yang lebih unggul, namun dia sendiri merasa bahwa agaknya tidak akan mudah baginya untuk dapat menang menandingi ilmu kepandaian pemuda yang tampan itu. Tidaklah mengherankan kalau hati Li Sian mulai terpikat.....

KISAH SI BANGAU PUTIH (seri ke 13 Bu Kek Siansu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang